Konflik Agraria, Kapan Akan Berakhir?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Konflik Agraria, Kapan Akan Berakhir?

 Apt. Eva Sanjaya

(Komunitas Tinta Pelopor)

 

Sepanjang 2023, konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia masih kerap terjadi. Penyelesaiannya yang berlarut-larut masih menjadi PR di negeri ini. Seluruh pihak, khususnya pemerintah, harus menunjukkan sikap atau kemauan politik yang kuat untuk benar-benar menyelesaikan konflik agraria yang telah mengakar selama puluhan tahun ini.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengungkapkan, di Jabodetabek, konflik agraria menjadi kasus hukum terbanyak yang diadukan selama setahun ini. Total yang diadvokasi mencapai 115 kasus. Konflik agraria yang terkategori isu permukiman masyarakat urban mencapai 236 kasus (tribunnews.com, 15-12-2023).

Dalam catatan akhir tahun 2022 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang diluncurkan di Jakarta, Senin (9/1/2023) menyoroti tentang konflik agraria yang dialami masyarakat, khususnya petani hingga berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah sepanjang 2022. Berdasarkan catatan KPA, 212 konflik agraria terjadi sepanjang 2022 atau meningkat 4 kasus dibandingkan tahun 2021 dengan jumlah 207 konflik.

Jika dilihat dari wilayahnya, lima provinsi dengan konflik agraria tertinggi adalah Jawa Barat (25), Sumatera Utara (22), Jawa Timur (13), Kalimantan Barat (13), dan Sulawesi Selatan (12). Sumatera Utara juga menjadi wilayah dengan konflik agraria terluas mencapai 215.404 hektar. (kompas.com, 9/1/2024).

Konflik agraria sering berkelindan dengan perampasan ruang hidup. Konflik agraria identik dengan penguasaan dan perebutan SDA, berupa tanah yang dijadikan sebagai sarana produksi. Menikmati ruang hidup merupakan hak bagi setiap manusia selama tidak merugikan orang lain. Akan tetapi, percaturan kekuasaan di negeri ini terkadang menjadikan penyelenggaraan negara tidak berkemanusiaan dan berkeadilan, menjadikan ruang hidup masuk dalam tata kelola dua kepentingan, yaitu penguasa dan pemilik modal.

Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menyatakan, setidaknya ada tiga catatan penyebab konflik agraria di negeri ini. Pertama, sistem administrasi pertanahan yang amburadul sehingga kepastian hukum atas hak tanah sangat rendah. Kedua, maraknya praktik korupsi dan penyalahgunaan jabatan dalam administrasi penetapan status hak tanah, baik hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan sebagainya. Kondisi ini memunculkan praktik mafia pertanahan yang melibatkan pejabat pertanahan, pemerintah, dan pengusaha. Ketiga, penegakan hukum lemah terkait masalah pertanahan. Lalu lahirlah dampak turunan, yakni sertifikat ganda, penguasaan lahan secara sepihak oleh korporasi, serta penggusuran tanah-tanah rakyat yang dimiliki secara sah untuk kepentingan oligarki. (Media Umat).

Nyatanya pula, dalam sistem demokrasi, konflik agraria tumbuh subur bak jamur di musim hujan. “Pelayanan” penguasa pada oligarki tampak pada pemberian hak guna usaha (HGU) yang sangat luas, bahkan mencakup hak masyarakat adat dan petani yang telah lebih dahulu berhak atas tanah tersebut. Lantas, manakah peran negara dalam melindungi rakyatnya?

Konflik agraria satu keniscayaaan dalam sistem demokrasi kapitalisme. Apalagi kebebasan kepemilikan menjadi salah satu hak yang diakui. Sistem ini memungkinkan pengusaha atau pemilik modal berkuasa menentukan kebijakan negara yang menguntungkan kelompoknya. Inilah realitas akibat penerapan sistem demikrasi kapitalisme. Manusia, dengan mudah dan leluasanya membuat dan mengubah UU sesuka hatinya demi memuluskan investasi. Sedangkan digelarnya karpet merah untuk investasi hakikatnya menunjukkan penguasaan atau dominasi pemilik modal atas penguasa. Sungguh ngeri ! Demokrasi sungguh ilusi. Berharap pada sistem ini hanya akan menjadi kacung di negeri sendiri. Kekuasaan hanya untuk para oligarki. Sistem ini harus segera diakhiri. Agar kerusakan segera berhenti.

Islam memiliki konsep kepemilikan yang jelas, dan menjadikan negara sebagai pelindung dan pengurus rakyatnya. Islam mewajibkan negara menghormati dan melindungi kepemilikan individu dan melarang negara semena-mena apalagi dikuasai oleh pengusaha. Sistem Islam mengatur dengan sangat baik kepemilikan lahan karena mengembalikan status kepemilikan lahan sesuai ketetapan Allah Taala. Negara juga berfungsi secara benar sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya.

Islam membagi lahan menjadi tiga status kepemilikan. Pertama, milik individu, seperti pertanian, kebun, dan ladang. Kedua, milik umum, yakni lahan yang di dalamnya terdapat hutan, tambang, dan sebagainya. Islam melarang menguasakannya kepada korporasi yang menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya atau dikhawatirkan terjadi konflik. Ketiga, milik negara, yakni yang tidak ada pemilik dan terdapat bangunan milik negara. Atas pengaturan kepemilikan tersebut, tidak diperkenankan bagi individu memiliki lahan milik umum, meski diberikan konsesi dari negara. Jika demikian, konflik pertanahan (agraria) dapat dicegah dalam sistem Islam.

Hal yang penting untuk kita ketahui juga ialah kepemilikan lahan dalam Islam sejalan dengan pengelolaannya. Suatu lahan yang tidak tampak kepemilikan seseorang, boleh dimiliki siapa pun dengan catatan lahan tersebut harus dikelolanya. Jika ia menelantarkannya hingga tiga tahun, hak kepemilikan akan hilang darinya.

Dalam sistem Islam, setiap pembuatan kebijakan akan diputuskan berdasarkan syariat Allah swt. Hal ini sebagaimana perintah-Nya, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS Al-Maidah: 50).

Wallahu’alam bish-shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *