Kisruh Pengelolaan Nikel: Hilirisasi Malah Berbuah Korupsi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Kisruh Pengelolaan Nikel: Hilirisasi Malah Berbuah Korupsi

Oleh Aisyah Humaira 

(Aktivis Muslimah)

 

Sungguh mengiris hati, baru-baru ini kasus korupsi kembali terjadi dan kali ini pada tambang nikel di Blok Mandiodo Sulawesi Tenggara yang menjerat sejumlah pengusaha bahkan pejabat negara. Hal ini mengartikan bahwa tindak korupsi kian merajalela. Di balik kebijakan yang ada selalu ada celah bagi tikus berdasi mencari mangsa sehingga tidak heran jika pada tata kelola industri nikel tidak sesuai harapan rakyat.

Melansir dari BBC Indonesia (11-8-2023) pasca perkembangan penyidikan yang dilakukan pada Rabu (9/8/2023), Kejaksaan Agung menetapkan eks Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin sebagai tersangka. Tersangka diketahui telah membuat keputusan yang berkontribusi memuluskan praktik pertambangan ilegal di lahan konsesi milik PT Antam Tbk yang berakibat pada kerugian negara hingga Rp5,7 triliun.

Kronologinya disampaikan oleh Juru bicara Kejaksaan Agung Ketut Sumedana bahwa Ridwan berperan memimpin rapat terbatas pada 14-12-2021 dan menyederhanakan persyaratan dokumen rencana kerja anggaran biaya (RKAB) untuk perusahaan pertambangan. Melalui penyederhanaan ini pada 2022 PT Kabaena Komit Pratama berhasil mendapatkan kuota pertambangan ore nikel sebesar 1,5 juta ton. Dari sinilah cikal penipuan terhadap negara terjadi.

Pasalnya, penerbitan RKAB perusahaan ini diproses oleh tersangka pejabat lainnya tanpa evaluasi dan verifikasi sesuai ketentuan, padahal PT Kabaena tidak memiliki cadangan nikel di wilayah Mandiodo. Dokumen inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk menjual hasil tambang ilegal agar menjadi seolah-olah legal. PT Kabaena dan beberapa perusahaan lainnya menjual RKAB tersebut kepada PT lawu Agung untuk melegalkan pertambangan ore nikel di lahan milik PT Antam. Tegasnya kronologi ini menunjukkan bahwa negara telah ditipu oleh oknum jahanam pengusaha dan penguasa.

Menanggapi ini, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Melky Nahar meminta pemerintah agar mengevaluasi seluruh izin dan praktik pertambangan nikel di Indonesia. Menurutnya, ini adalah fenomena yang sebenarnya telah lama terjadi hanya saja tidak adanya penegakan hukum yang tegas sehingga jelas bahwa yang serupa sudah tentu ada. Maka terungkapnya kasus ini bisa menjadi gerbang untuk pengusutan di berbagai sektor tambang nikel lainnya.

Seiring meningkatnya permintan global terhadap nikel, Indonesia ternyata dalam perjalananya mengelola industri nikel berambisi menjadi produsen baterai terbesar di dunia. Pertumbuhan industri nikel terus digenjot dan yang paling masif terjadi di Sulawesi. Pada 2021, diketahui pemerintah menerbitkan 293 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Sulawesi. Sayangnya, ambisi tersebut tidak diiringi dengan pengawasan dan penegakan hukum yang ketat. Alhasil yang terjadi adalah banyak praktik penambangan nikel ilegal yang berujung pada kerusakan lingkungan.

Mengacu pada laporan kemiskinan BPS pada Maret 2023, hampir semua provinsi tempat berdirinya tambang nikel justru mengalami peningkatan kemiskinan. Beberapa fakta berikut menjadi bukti kegagalan pengelolaan industri nikel di Indonesia. Kehadiran tambang nikel ilegal di Blok Mandiodo menyebabkan pertama, laut di sekitar berwarna kecokelatan sehingga banyak nelayan setempat pun mengeluhkan hasil laut yang minim. Berikut disebabkan pencemaran warga kehilangan sumber mata air yang terletak di sekitar kawasan sehingga kesehatan mereka terganggu.

Belum lagi deforestasi akibat ekspansi pertambangan nikel yang terjadi secara ilegal. Menurut data, pertambangan nikel menyebabkan hilangnya 24.811 hektare hutan dalam 20 tahun terakhir. Sebenarnya telah banyak warga yang protes terhadap pemerintah namun nyaris tangis mereka tidak digubris oleh pemerintah maupun aparat penegak hukum. Hilirisasinya tidak karuan sebab pertumbuhan tambang nikel berbanding terbalik dengan kesejahteraan warga setempat.

 

Hilirisasi sendiri adalah strategi untuk meningkatkan nilai tambah suatu komoditas yang dengannya komoditas ekspor Indonesia nanti bukan lagi berupa bahan baku, melainkan berupa barang setengah jadi atau barang jadi. Di Indonesia, hilirisasi telah dicanangkan sejak 2010 dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Adanya hilirisasi industri, sumber daya alam yang diekspor keluar negeri akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi sehingga hilirisasi menjadi sesuatu yang wajib dilakukan untuk meminimalkan dampak dari penurunan harga komoditas.

Inilah yang akhirnya menyebabkan pemerintah mendorong lebih banyak investasi ke dalam negeri. Namun, investasi dan investor pastilah berasal dari pihak swasta, baik lokal maupun asing. Artinya, hilirisasi hanya akan tersisa sebatas wacana bagi rakyat, sedangkan penikmatnya adalah swasta, khususnya oligarki di sekeliling penguasa. Terlebih hilirisasi justru menyuburkan kepentingan sejumlah kapitalis baik legal maupun ilegal. Akhirnya praktik korupsi kian mengganas. Naudzubillah.

Demikianlah dalam sistem kapitalisme yang tak akan pernah terlepas dari keserakahan. Mereka menghalalkan segala cara dalam mencapai kepentingannya. Tidak peduli pada apa yang akan dialami rakyat, yang terpenting misinya dalam mendapatkan keuntungan materi sebanyak-banyaknya terpenuhi sehingga mustahil bagi penguasa dalam sistem ini untuk memastikan kesejahteraan rakyat.

Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam yang memahami bagaimana mengelola sumber daya alam (SDA) dan pencegahan korupsi yang efektif. Sejatinya, SDA adalah harta kepemilikan umum, sehingga sangat tidak patut bagi negara mengambil keuntungan walau sepeser maka miris jika sampai ada pejabat yang tega mengkorupsinya. Dalam pandangan Islam, ini bukan hanya tentang negara menyalahi amanah sebagai pengelola namun durhakanya karena telah mengkhianati rakyat.

Islam mengatur SDA tambang (minerba, migas) sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Berikut peran negara pun semata-mata karena menjalankan mandat. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Berdasarkan kedua hadis ini, Islam menutup ruang bagi adanya privatisasi tambang, maupun SDA lain yang semuanya berstatus kepemilikan umum. Para pejabat di negara Islam juga tulus mengurusi urusan umat, bukan untuk kemanfaatan diri sendiri. Mereka sadar sepenuhnya bahwa menjabat adalah memegang amanah besar sekaligus bagian dari tanggung jawab keimanan. Inilah yang menjadikan keniscayaan adanya ketakwaan dalam setiap diri individu yang hidup dalam nangan sistem Islam yang disebut Khilafah.

Berikutnya dalam pencegahan dan penanganan tindak kejahatan korupsi tidak sebagaimana dalam sistem sekuler yang jelas tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Ketegasan sistem Islam dalam tidak terlepas dari sifat sistem persanksian dalam Islam, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya untuk mencegah kembali terjadinya kejadian serupa dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, dapat menebus dosanya.

Begitulah pemberantasan korupsi yang efektif dan jelas membawa pada kemaslahatan umat. Allah SWT berfirman yang artinya:

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah [5]: 50).

Maka sudah sepantasnya kita memperjuangkan tegaknya kembali syariat Allah dalam segala sendi kehidupan ini.

wallahua’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *