Kesejahteraan Guru di Masa Umar, Akankah Terulang?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Nurul Firamdhani As’ary (Aktivis BMI Makassar)

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa… Tanpanya mungkin kita bukan siapa-siapa… Tapi sekarang apalah daya… Mereka di pandang sebelah mata.

Guru memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) suatu negara, sehingga menjadi negara berkembang atau negara maju. Mereka mengorbankan pikiran, tenaga, waktu, dan usaha yang luar biasa, maka dengan itu guru perlu di pandang sebagai profesi yang mulia dalam kehidupan. Peran dan tanggung jawabnya sebagai seorang guru mampu menjadikan dan mencetak generasi berkualitas dalam memajukan suatu bangsa dan negara.

Namun mirisnya, jasa guru yang besar tidak sebanding dengan gaji yang di dapatkan terlebih guru honorer, kecilnya gaji hanya kisaran Rp. 300.000 /bulan dirasa tidak manusiawi. Untuk biaya transportasi pun mungkin tidak cukup, belum lagi untuk makan. Sementara mereka menghabiskan separuh waktunya untuk mengajar. Yang membuat lebih miris lagi, bahwa kondisi ini terus berulang tiap tahun tanpa ada solusi yang jelas bahkan pemerintah mengangap tenaga honorer adalah beban negara.

Sebagaimana yang dilansir oleh detik.com (25/01/2020) “Kalau daerah masih menggunakan honorer silahkan, tapi pakai dana APBD (Anggaran pendapatan dan belanja negara), jangan pakai pusat. Semuanya harus jelas anggarannya” kata menteri PAN-RB (Pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi) Tjahjo Kumolo.

Tahun terus berganti, pemimpin terus berganti, kebijakan terus berganti, kemudian muncul pertanyaan, apakah kesejahteraan para guru honorer berubah? (silahkan di jawab sendiri)

Dengan ditiadakannya tenaga kerja honorer ini justru angka pengangguran di Indonesia akan bertambah banyak. Pribumi di amputasi sedangkan asing dan aseng disanjung, ini yang di katakan ‘ngontrak di rumah sendiri’.

Mereka di tuntut membangun dan menciptakan generasi unggul sesuai kebijakan mereka, tetapi uang makan saja tidak cukup mereka pun harus membayar uang kesehatan (BPJS) yang sudah naik 2 kali lipat, gas 3 Kg naik, bahan pokok naik, semuanya naik, gaji naik? Jangan harap!

Bentuk perlakuan pemerintah pada guru honorer ini menunjukkan bahwa negara gagal mengatasi masalah penyaluran tenaga kerja. Karena pada awalnya penunjukan tenaga honorer adalah upaya mengurangi pengangguran sekaligus pemerintah mendapatkan tenaga kerja yang mau dibayar rendah karena belum berpengalaman atau karena janji akan di jadikan sebagai ASN (aparat sipil negara).

Ini membuktikan bahwa pemerintah tidak serius dalam mengurusi urusan rakyatnya. Bukan rahasia lagi bahwa Indonesia menganut sistem kapitalis liberal yang berasaskan materialistik, jadi apapun yang dilakukan mereka harus untung walaupun rakyatnya menjadi buntung. Begitulah sistem ini bekerja, artinya negara harus keluar (baca: lepas) dari sistem yang rusak ini.

Berbeda jikalau hukum Islam yang diterapkan kesejahteraan rakyatnya di tanggung oleh negara baik dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan segala lini kehidupan. Seperti pada saat pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, bukan sekedar romantisme sejarah belaka, beliau memberikan gaji pada mereka (guru) masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas atau sekarang sekitar 31 juta rupiah dengan kurs sekarang). Bagaimana tidak! pendidikan yang dihasilkan adalah pendidikan yang berkualitas dan menciptakan para ilmuan hebat.

Apakah kita tetap diam dengan kondisi carut marutnya persoalan yang dialami oleh para tenaga honorer khususnya dalam dunia pendidikan dan berbagai persoalan yang terjadi hari ini dari setiap lini kehidupan? Bukankah Allah telah berfirman dalam QS. Ar-Ra’d: 11 “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas izin Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.

Solusi yang dapat penulis berikan adalah pertama, memberikan kepastian kepada tenaga honorer agar mereka bekerja dengan ikhlas dengan memberikan kontrak kerja minimal 3 tahun, setelah itu mereka akan di angkat sebagai ASN. Kedua, memberikan kepastian gaji yang di terima per bulan dan sesuai dengan upah minimum provinsi (UMP).

Jadi, kesejahteraan guru mungkinkah didapat dengan bertahan pada sistem yang berlaku saat ini? Sudah saatnya kita beralih ke sistem Islam yang terbukti secara historis memuliakan para rakyat di bawah naungannya. Wallahu a’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *