Oleh: Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)
Problem dalam sistem demokrasi kian hari kian komplet. Tentu karena tak satupun problem yang diselesaikan hingga tercerabut akarnya. Maka, menumpuklah ia membentuk krisis multidimensi. Ditambah karut marut di segala sisi kehidupan akibat adanya pandemi Covid-19.
Salah satunya ialah perihal kemiskinan. Dilansir dari laman nasional.kontan.co.id, Bank Dunia mengingatkan bahwa sekitar 8,5 juta masyarakat Indonesia bisa jatuh miskin akibat krisis Covid-19. Oleh karena itu, Bank Dunia pun memberi solusi untuk menjegal terjadinya kemiskinan massal tersebut. Bahwasanya pemerintah mesti lekas bertindak, yaitu melakukan program perlindungan sosial.
Tegas Bank Dunia, seharusnya bantuan sosial yang diberikan tepat sasaran. Karena, berkaca dari kejadian-kejadian sebelumnya, justru tak menyentuh mereka yang harusnya memperoleh bantuan. Pemerintah pun cenderung lamban dalam bertindak. Maka, mengakibatkan tidak sedikit jiwa yang terjerat lingkaran kemiskinan massal. Selain itu, besaran dana yang dikucurkan pemerintah sangat berpengaruh terhadap terperosok atau tidaknya jutaan masyarakat ke jurang kemiskinan.
Oleh karena itu, patutlah kita mengkaji beberapa pertanyaan berikut. Mengapa kemiskinan selalu setia berada di daftar problem tahunan yang dialami rakyat? Dan sudah benarkah solusi yang diajukan Bank Dunia? Atau adakah solusi lainnya, yang memberantas kemiskinan hingga akar?
Sejatinya, akar persoalan kemiskinan ialah diberlakukannya sistem sekuler demokrasi. Dimana, darinya lahir pemimpin-pemimpin yang melekat padanya karakteristik korup. Bahkan, pada saat pandemi yang menyebabkan krisis perekonomian sekalipun. Mereka asyik, sibuk memakan jatah rakyat.
Ya, pemimpin-pemimpin yang lahir dari rahim demokrasi hakikatnya tak murni pilihan rakyat. Mereka sudah dipersiapkan oleh parpol yang membesarkan mereka. Sampai pada titik itu, barulah rakyat memilih.
Selain itu, kandidat pemimpin yang hendak masuk ke kursi pemilihan, mesti punya dana yang tak sedikit. Entah dari saku pribadi atau disokong oleh para pengusaha. Maka tak heran, tatkala menduduki kursi jabatan, hal pertama yang dilakukannya ialah berusaha mengembalikan dana tadi. Tentunya dengan korupsi atau membuat kebijakan guna memuluskan langkah pengusaha yang membantunya (baca: politik balas budi)
Ditambah sifatnya yang tamak, maka tak heran jikalau pemimpin memiliki harta miliaran bahkan triliunan rupiah. Sedangkan rakyat justru ringkih, penuhi kebutuhan sehari-hari terlampau sukar baginya, karena jatahnya diambil paksa oleh pemimpin.
Lebih daripada itu, karena sistem ekonomi yang diterapkan hari ini bukan berlandaskan Islam. Hubungan antar rakyat dan pemimpin bak penjual dan pembeli. Air dibeli dengan harga mahal, punya kendaraan kena pajak, pendidikan bahkan kesehatan tak luput dari pemalakan oleh yang katanya pemimpin.
Sehingga patut digarisbawahi bahwa kemiskinan massal yang menimpa rakyat hari ini, sungguh tak bisa diselesaikan hanya dengan perbaikan teknis agar pemberian bantuan sosial tepat sasaran. Sungguh, langkah tersebut bukanlah solusi mendasar. Karena justru dengan pemberlakuan sistem politik demokrasi-lah yang meneguhkan eksistensi kemiskinan itu sendiri.
Lalu, adakah solusi lain yang dapat memberantas kemiskinan hingga tuntas? Ada. Ialah hanya tatkala diberlakukannya syariat Islam dalam setiap sisi kehidupan, yaitu dalam bingkai daulah Khilafah Islamiyah.
Di dalam Khilafah, relasi antar rakyat dan pemimpin didasarkan pada dua fungsi penting negara. Pertama, fungsi raa’in, yaitu negara sebagai pengurus segala hajat hidup rakyat. Terkait fungsi ini, Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) ialah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya” (HR. Ahmad).
Kedua, fungsi junnah. Ialah negara sebagai pelindung rakyatnya dari segala agenda penjajahan. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah perisai. Orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya” (HR. Muslim)
Daulah Islam akan menjamin kebutuhan primer rakyatnya, mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, serta kesehatan. Mekanisme pemenuhan kebutuhan rakyat ini bisa secara langsung yaitu dibantu oleh negara dan tidak langsung yaitu diwajibkan atas setiap laki-laki untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya.
Selain itu, kepemilikan dalam Khilafah dibagi menjadi kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Terkait kepemilikan umum, seperti barang tambang, hutan dan lainnya dikelola oleh negara dan hasilnya untuk rakyat entah dengan membangun infrastruktur atau hal lainnya.
Penting ditegaskan, bahwa pemenuhan segala kebutuhan rakyat ini ditunjang dengan anggaran Khilafah yang berbasis baitul mal. Dengan begitu harta-harta yang masuk akan dikelola di institusi ini dan dikeluarkan selaras standar syariat. Maka, wajar jikalau Khilafah memiliki kemampuan finansial yang unggul.
Institusi baitul mal bersifat mutlak. Artinya, ada atau nihilnya kekayaan negara untuk pemenuhan kemaslahatan rakyat, maka wajib bagi negara mengadakannya. Jika penerimaan rutinan tak terpenuhi, maka negara memungut pajak temporer dari orang-orang kaya dalam daulah.
Perlu diketahui pula, bahwa pemimpin yang dipilih dalam daulah Islam mempunyai syarat-syarat tertentu, di antaranya mempunyai kemampuan memimpin serta adil. Pemimpin dalam Khilafah (Khalifah) diangkat melalui baiat, agar hanya menegakkan syariat Islam. Khalifah sadar betul bahwa tanggungjawab yang diberatkan ke pundaknya, kelak akan dihisab. Ia senantiasa menghadirkan Allah dalam segala perbuatannya, termasuk perkara mengurus rakyat. Sehingga, menutup celah yang memungkinkan terjadinya anomali.
Demikianlah, satu-satunya solusi dalam mengatasi serta mecegah kemiskinan massal ialah hanya dengan diterapkannya aturan Islam di setiap sendi kehidupan. Maka, sudah menjadi kewajiban kita untuk kembali ke pangkuan daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bishshawab.