Kemiskinan Komplikatif Ancam Generasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Kemiskinan Komplikatif Ancam Generasi

Erin Azzahroh

(Aliansi penulis Rindu Islam)

 

Siapa tidak suka jadi orang kaya yang stabil secara finansial? Semua orang mesti menginginkannya. Sayangnya level tersebut akan sulit dikecap oleh banyak kalangan. Alih-alih terjamin kecukupan kebutuhannya, masyarakat justru berada pada kondisi serba kekurangan.

Sebagaimana dikutip dari Antara, Kamis (15/2), Direktur Global Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial UNICEF, Natalia Winder Rossi menyampaikan, “secara global, terdapat 333 juta anak yang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 2,15 dolar AS (Rp 33.565) per hari, dan hampir satu miliar anak hidup dalam kemiskinan multidimensi.”

Di dalam negeri, pemerintah menggunakan patokan basis masyarakat miskin sebesar US$ 1,9 PPP (Purchashing Power Parity) atau pendapatan 29.629 Rupiah/hari. Pemerintah Indonesia harus menuntaskan 5,8 juta jiwa penduduk miskin pada tahun 2024. Ini setara dengan 2,9 juta orang per tahunnya. Jika menggunakan patokan basis global US$ 2,15 PPP/hari, maka ada 6,7 juta penduduk miskin hingga 2024 atau 3,35 juta orang/tahunnya.

Dari fakta tersebut, setidaknya ada empat hal yang dapat disimpulkan:

Pertama, bahwa benar adanya jika masyarakat sedang dilanda kemiskinan. Ini adalah hal yang menjadi bencana bagi sebuah peradaban. Sebab kemiskinan membuat manusia kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Salah satu akibatnya dapat berefek pada rendahnya kualitas generasi.

Jika memperhatikan data global dari ILO, UNICEF, dan Save the Children, setidaknya ada 1,4 miliar anak berusia di bawah 16 tahun dari seluruh dunia yang tidak memiliki akses perlindungan sosial atau perlinsos.  Tidak adanya akses perlinsus ini membuat anak-anak rentan terjangkit gizi buruk dan terpapar kemiskinan. Hal ini menjadi bukti bahwa kemiskinan menjadi problem dunia. Lebih dalam lagi, hal tersebut menandakan adanya persoalan sistemik yang dihadapi dunia.

Kedua, persoalan global tersebut tak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan dunia saat ini. Sistem ini memberikan kebebasan dalam kegiatan ekonomi. Para kapitalis dapat menguasai hajat hidup rakyat termasuk menguasai sumber daya alam. Padahal sumber daya alam adalah harta yang seharusnya digunakan untuk menjamin kebutuhan masyarakat. Diantaranya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas layanan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Di sisi lain, sistem kapitalisme berperan dalam pengendalian para kapital akan ketersediaan lapangan kerja, kebutuhan pokok masyarakat, dan sejenisnya.

Sementara itu, negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator. Dengan karakter sistem yang demikian, maka tak heran jika masyarakat, khususnya generasi akan mengalami banyak problem kehidupan.

Ketiga, berbeda dengan kapitalisme, sistem Islam memiliki mekanisme untuk mewujudkan kesejahteraan. Sebagai ideologi, Islam mempunyai mekanisme jaminan dari level individu, masyarakat, dan negara. Secara individu, Islam mewajibkan bekerja bagi setiap laki-laki untuk memberi nafkah kepada keluarganya. Sementara di level masyarakat, Islam mendorong untuk beramal shalih berupa berinfak, shodaqoh, wakaf, dan sejenisnya. Amal ini dari mereka yang memiliki harta lebih untuk diberikan kepada kaum yang kekurangan.

Hanya saja dua level ini tidak akan pernah cukup. Karena itu Islam mewajibkan negara, yakni Daulah Khilafah, untuk berperan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ketegasan dan perintah ini terlihat dari dalil-dalil yang menunjukkan ancaman berat bagi penguasa atau negara ketika mereka lalai memelihara urusan rakyat.

Rasulullah SAW bersabda, “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tidaklah mati seorang hamba yang Allah minta untuk mengurus rakyat, sedangkan dia dalam keadaan menipu (mengkhianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam pandangan Islam, tugas negara untuk mengentaskan kemiskinan adalah menciptakan lapangan kerja dan memerintahkan rakyat untuk giat bekerja. Sektor ekonomi riil Akan ditumbuh suburkan oleh negara sehingga pertumbuhan ekonomi akan dirasakan nyata oleh masyarakat. Lapangan kerja dalam Khilafah terbuka luas di berbagai bidang baik pertanian, peternakan, jasa, maupun industri.

Negara Islam juga berperan menutup semua kecurangan yang mematikan ekonomi. Seperti praktek riba, judi, ghabn fahisy (penipuan harga dalam jual beli), tadlis (penipuan barang atau alat tukar), maupun ihtikar (menimbun). Hal ini dipertegas dengan sistem sanksi yang akan diberikan kepada para pelaku kecurangan.

Peran negara lainnya adalah mengelola sumber daya alam secara mandiri. Sebagaimana perintah syariat Islam mengharamkan penguasaan sumber daya alam oleh para kapital. Tidak seperti pengelolaan SDA kapitalisme saat ini. Harta yang seharusnya digunakan untuk menjamin kesejahteraan rakyat malah beralih ke kantong pribadi para kapitalis. Rasulullah SAW bersabda, “manusia berserikat dalam tiga hal, yakni air, padang rumput, dan api.” ( HR. Abu Daud)

Negara pun wajib menjamin secara langsung kebutuhan publik yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Maksudnya, negara wajib memberikan semua kebutuhan tersebut secara gratis kepada rakyatnya baik mereka muslim atau non muslim, kaya atau miskin, tua atau muda. Adapun dana untuk menjamin kebutuhan tersebut bersumber dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang kemudian masuk ke pos kepemilikan umum Baitul Mal.

Seperti inilah mekanisme Khilafah menjamin masyarakatnya, termasuk upaya mengangkat generasi dari kemiskinan. Meski demikian, bukan berarti di dalam Khilafah tidak akan ada orang miskin. Keberadaan orang miskin dalam Khilafah karena qodlo atau ketetapan Allah. Namun, dengan jaminan yang diberikan oleh Khilafah kepada semua masyarakatnya, sebesar apapun kemiskinan masyarakat dalam Khilafah, masih bisa mendapatkan jaminan kehidupan yang layak. Dengan begitu kualitas generasi akan tetap terjaga.

Keempat, masalah kemiskinan yang sudah mendunia membuktikan bahwa kerusakan akibat sistem kapitalisme semakin jelas. Kapitalisme sebagai ideologi yang lahir dari keterbatasan pemikiran manusia tentu tidak akan pernah bisa memuaskan akal dan fitrah hamba, serta mustahil mendatangkan ridho Allah.

Sementara itu, konsep pengurusan umat dalam islam lebih sesuai dengan fitrah manusia sebagai hamba Allah, juga memuaskan akal. Bahkan secara historial, fakta kesejahteraan di bawah masa keemasan dalam kepemimpinan Islam tidak terbantahkan. Untuk itu, bukankah rahmatan lil alamin akan lebih bisa tercapai jika umat mulai kembali kepada aturan Allah berupa sistem islam secara kaffah.

Wallahu a’lam bi ash-shawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *