KEMISKINAN EKSTRIM MENGANCAM MASA DEPAN GENERASI

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

KEMISKINAN EKSTRIM MENGANCAM MASA DEPAN GENERASI

Halida Al mafazha

(Aktivis Dakwah Muslimah DeliSerdang)

Jakarta, CNBC Indonesia Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas mengungkapkan masih besarnya tantangan bagi Indonesia bisa betul-betul menghapus kemiskinan ekstrem hingga 0% pada 2024.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, di tanah Jawa saja masih ada 3,7 juta penduduk miskin ekstrem yang perlu ditangani tahun ini. Maka, pendataan masyarakat miskin ekstrem ini kata dia perlu diperbaiki secara benar supaya target pengentasannya pada 2024 betul-betul terjadi. Selain masih besarnya data penduduk miskin ekstrem itu, Suharso menambahkan, basis penghitungan orang yang dikategorikan penduduk miskin pun juga belum ada kesepakatan di antara pemerintah dengan institusi global seperti Bank Dunia dan PBB.

Bank Dunia dan PBB sejak 2017 lalu telah menaikkan batas garis kemiskinan ekstrem berdasarkan hitungan paritas daya beli (purchasing power parities/PPP) sebesar US$ 2,15 per orang per hari dari sebelumnya US$ 1,9 per hari PPP 2011. Pemerintah Indonesia hingga kini masih menggunakan basis batas garis kemiskinan paritas daya beli sebesar US$ 1,9. Sebab, jika garis kemiskinan itu diubah menjadi US$ 2,15 menurut Suharso 2 juta penduduk Indonesia akan jatuh ke garis kemiskinan ekstrem pada 2024 angkanya harus nol sesuai keinginan Presiden Jokowi.

Oleh sebab itu, hingga target pengentasan kemiskinan ekstrem tercapai, pemerintah akan tetap berkomitmen menangani kemiskinan ekstrem dengan cara pemberian bantuan sosial secara langsung, memberdayakan masyarakat, hingga memperkecil kantung-kantung kemiskinan.

Terdapat 1,4 miliar anak di dunia hidup tanpa perlindungan sosial. Berdasarkan data PBB dan badan amal Inggris, Save the Children International, miliaran anak ini merupakan anak di bawah usia 16 tahun. Akibat tidak adanya akses perlindungan sosial, anak-anak rentan terpapar penyakit, gizi buruk, dan kemiskinan.

Direktur Global Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial UNICEF Natalia Winder Rossi, sebagaimana dikutip Antara, Kamis (15-2-2024), mengatakan bahwa secara global, terdapat 333 juta anak yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari USD2,15 (Rp33.565) per hari, dan hampir satu miliar anak hidup dalam kemiskinan multidimensi. Fakta bukti bahwa dunia, terutama anak-anak, sedang tidak baik-baik saja dalam kapitalisme.

Sebenarnya, jika kita cermati, ancaman kemiskinan ekstrem, gizi buruk, hingga kelaparan yang dihadapi anak-anak, bukan karena rendah atau tingginya cakupan tunjangan anak, melainkan lebih kepada penerapan sistem kapitalisme secara global. Sebagai contoh, di negara-negara berpendapatan rendah, tingkat cakupan tunjangan masih sangat rendah, yaitu sekitar 9%. Sementara itu, di negara-negara berpendapatan tinggi, 84,6% anak-anak telah tercakup dalam program tunjangan tersebut.

Apakah dengan perlindungan sosial (perlinsos) dan tunjangan anak, kemiskinan akan selesai tuntas? Jelas tidak! Karena selama kapitalisme masih berkuasa banyak negara, jurang sosial itu akan tetap menganga. Inilah sebabnya ada istilah negara berpendapatan tinggi dan rendah.

Negara maju mengatur ekonomi global, negara berkembang mengikuti aturan main yang ditetapkan negara maju selaku pengemban ideologi kapitalisme. Mirisnya banyak kontraproduktif dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Misalnya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang sangat kental dengan keberpihakan penguasa terhadap para korporasi. Nasib para buruh yang upahnya sudah sangat kecil, kian menderita dengan upah yang baru. UMP 2024, misalnya, secara umum kenaikannya hanya di bawah 5%, padahal harga beras saja bisa naik hingga 21% secara tahunan.

Biang keroknya ada di sistem demokrasi ala kapitalisme

Jika akar persoalan stunting terletak pada kemiskinan, upaya yang dilakukan dalam persoalan kemiskinan akan sulit diberantas jika kepemimpinan sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme, masih menjadi platform kerja penguasa. Ini karena justru sistem inilah yang menciptakan kemiskinan ekstrem, bahkan bersifat permanen. Sistem kapitalisme membatasi peran penguasa menjadi sebatas regulator, sedangkan seluruh persoalan rakyat malah diserahkan kepada swasta. Hal ini makin menciptakan kemiskinan dan kesenjangan. Ini karena ketika pengaturan tata kelola urusan umat diatur berdasarkan kemaslahatan pengusaha, menjadi orientasi utama, bukan kesejahteraan rakyat secara seluruhnya.

Jadi Wajar ditemukan kesenjangan yang begitu nyata. Orang-orang kaya mampu memenuhi gizi balita-balita mereka. Sementara bagi rakyat miskin, jangankan memenuhi gizi balita, untuk bisa makan sehari tiga kali saja butuh perjuangan yang luar biasa. Kebijakan upah saja tidak pro pada para pekerja.Keuntungan perusahaan lebih diutamakan daripada kesejahteraan para pekerja, sedangkan keuntungan maksimal salah satunya didapat dari penekanan terhadap upah pekerja.

Islam Menyelesaikan Stunting

Persoalan stunting akan sulit diselesaikan dengan tata kelola negeri ini masih berlandaskan demokrasi kapitalisme.Justru tata kelola sistem pemerintahan berdasarkan Islam mampu menyelesaikannya. Sistem politik Islam akan melahirkan penguasa yang amanah dan ahli dalam pemerintahan sehingga akan benar-benar mengurus rakyat dengan sepenuh hati. Adapun fungsi pemimpin dalam Islam adalah sebagai pengurus juga pelindung rakyat sehingga seluruh urusan rakyat menjadi tanggung jawab negara.

Seluruh kebutuhan dasar rakyat menjadi tanggung jawab negara. Negara akan memastikan setiap kepala keluarga mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak. Jika ada kepala keluarga yang tidak sanggup bekerja karena sakit atau cacat, misalnya, sedangkan kerabat mereka pun tidak mampu menanggungnya, keluarga tersebut tergolong keluarga yang akan disantuni oleh negara.

Negaralah yang akan memenuhi seluruh kebutuhan keluarga tersebut, termasuk pangan bergizi, hingga keluarga tersebut bisa keluar dari kesengsaraannya. Khalifah Umar ra. rela memanggul gandum sendirian dan memasaknya langsung untuk bisa memastikan keluarga tersebut makan dengan layak. Begitu pun saat Khalifah Umar menangis melihat keledai yang terperosok sebab ia khawatir terlukanya hewan dikarenakan lalai memperbaiki jalan. Pemimpin seperti ini sulit ditemukan di dalam sistem kapitalisme.

Sebenarnya akar persoalan stunting, kemiskinan ekstrem adalah demokrasi kapitalisme. Sudah saatnya mari kita menggantinya dengan sistem Islam dalam bingkai Khilafah dimana akan dipimpin oleh seorang Khalifah menerapkan hukum-hukum Allah sehingga kehidupan rakyat kembali berkah dan sejahtera.

Wallahu ‘alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *