Kemana Arah Rekontekstualisasi Fikih?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ari Sofiyanti

 

Gagasan rekontekstualisasi fikih baru-baru ini dilontarkan Menteri Agama sebagai pandangan bahwa fikih harus menyesuaikan perkembangan zaman. Tentu zaman terus berubah dan permasalahan umat manusia senantiasa berkembang. Islam bisa merespon perubahan zaman karena Islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah dalam mengatasi setiap persoalan manusia. Sayangnya, arah dalam ide rekontekstualisasi ini bukan murni menjawab problem perkembangan zaman agar tetap berada dalam koridor syariat. Tetapi merekonstruksi hukum syara itu sendiri agar sesuai fakta. Khususnya hukum mengenai siyasiyah atau politik.

Misalnya poin ke-9 dari 14 faktor pendorong pentingnya rekontekstualisasi fikih. Disebutkan bahwa setiap usaha untuk mendirikan Khilafah hanya akan menimbulkan bencana bagi umat Islam. Padahal, Khilafah jelas-jelas sistem pemerintahan warisan Rasulullah dan kewajiban bagi umat muslim untuk terus mengadakan Khilafah. Jikalau ada bencana-bencana yang terjadi pada umat muslim, bukankah kini telah merebak? Sebut saja konflik Sudan, Suriah, Palestina, Rohingya dan lain sebagainya. Mereka dilanda bencana karena kejahatan musuh-musuh Islam, bukan karena mereka adalah umat muslim yang menjalankan Islam.

Kemudian di poin 10 disebutkan ada tragedi pembantaian akibat usaha memperoleh dan mengkonsolidasikan kekuatan politik/militer dalam bentuk kekhalifahan. Logika ini telah mengeneralisasi bahwa Khilafah selalu mengundang konflik hanya karena individu-individu manusia yang melakukan kesalahan kemudian dicap bahwa ajaran Islam warisan Rasulullah ini buruk dan tidak layak diterapkan. Bukankah selama ini penerapan kapitalisme lah yang mengakibatkan tragedi-tragedi pembantaian, kemiskinan dan kelaparan di seluruh dunia?

Pada poin ke-11, Kementerian Agama menyoroti jihad memerangi negara kufur hingga mereka masuk Islam atau tunduk pada peraturan Islam sehingga seluruh dunia bersatu di bawah panji Islam akan menimbulkan konflik tiada akhir. Jadi, apakah kewajiban jihad dan dakwah menyebarkan Islam ke seluruh dunia harus direkonstruksi? Lalu dimana posisi ayat-ayat tentang jihad di Al Quran dan teladan dari Rasulullah bagi kaum muslim? Sementara itu, saudara-saudara seiman kita yang ada di Suriah, Palestina, Rohingya dan Uyghur membutuhkan pertolongan yang hanya bisa dilakukan dengan jihad. Apakah rekontekstualisasi fikih jihad ini dikarenakan pemerintah telah berteman dan bekerja sama ekonomi dengan musuh-musuh Islam?

Sesungguhnnya upaya rekontekstualisasi fikih Islam yang digagas Menteri Agama akan semakin menjauhkan kita dari hukum-hukum Islam dan semakin mendekati sekulerisme. Kini umat muslim terjerat kehidupan sekuler yang memisahkan Islam politik dari kehidupan kita. Hukum-hukum sanksi yang ada dalam Al Quran, misalnya hukum qisash, jilid dan rajam tidak diterapkan. Padahal telah jelas itu adalah kewajiban yang tidak perlu perdebatan.

Riba yang sudah pasti haram juga masih terus diambil bahkan menjadi pilar ekonomi yang penting. Dalil-dalil keharaman privatisasi sumber daya alam pun diabaikan. Semuanya demi meraih keuntungan materi untuk diri sendiri dan golongannya, bukan untuk kesejahteraan umat. Apakah seperti ini yang diharapkan dari rekontekstualisasi fikih Islam? Hukum-hukum Islam boleh direkonstruksi karena mengikuti perkembangan zaman, yaitu sekulerisme.

Sesungguhnya Allah telah berfirman.

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maidah: 3).

Kesempurnaan Islam yang dijamin oleh Allah ini akan selalu bisa merespon perubahan zaman dan perkembangan problem manusia. Cukuplah kita mengambil syariat Islam untuk mengatasi problematika dalam hidup kita. Dalam kitab Riyadus Sholihin, Imam Nawawi menjelaskan tafsir An Nisa ayat 65 bahwa Islam adalah agama yang lengkap hukum-hukumnya serta peraturan-peraturannya. Mulai dari hal yang sekecil-kecilnya seperti berkawan, adab pergaulan, berumah tangga dan lain-lain, juga sampai yang sebesarnya, misalnya menegakkan tertib hukum, mengatur keamanan dalam negara dan sebagainya. Dalam hal perselisihan antarindividu, antargolongan, bahkan permasalahan internasional pun ada aturannya. Tentu saja semua hukum syariah ini hanya bisa diterapkan melalui institusi negara Khilafah.

Lalu bagaimana Al Quran dan Sunnah dapat memuat seluruh aturan untuk seluruh sistem kehidupan manusia? Bahkan bisa menuntaskan problem-problem baru yang muncul? Maka Allah mewajibkan bagi kaum muslim yang berkualifikasi untuk melakukan ijtihad.

Al Quran dan Sunnah merupakan sumber hukum yang sifatnya umum, sehingga bisa digali hukum-hukum yang rinci dari nash syara’ tersebut. Kecuali jika ada suatu masalah yang telah jelas hukumnya dalam nash, maka tidak perlu ijtihad. Contohnya bunga atau riba yang jelas haram diambil. Ijtihad adalah metode shohih untuk menyelesaikan segala permasalahan yang berkembang di tengah masyarakat. Sehingga, Islam sudah pasti up to date kapanpun dan dimanapun. Buktinya Islam tegak sebagai sebuah peradaban di bawah naungan Khilafah telah menerapkan seluruh syariat selama belasan abad dengan cakupan wilayah 2/3 dunia. Sebuah peradaban yang hidup lama melintasi zaman dan mengglobal.

Hal ini berbeda dengan arah yang hendak dituju dengan rekontekstualisasi fikih. Imam Nawawi menjelaskan dalam kitab Riyadus Sholihin jika syariat itu diibaratkan kaki. Ketika kita membeli sepatu, maka ukuran sepatu harus mengikuti ukuran kaki bukan malah kaki yang dipotong agar cocok dengan ukuran sepatu. Demikian juga fakta atau keadaan harus diubah agar sesuai syariat, bukannya syariat itu yang diubah agar menyesuaikan fakta. Bukankah kehidupan kita ini Allah yang berhak mengatur? Tidak mungkin kita manusia yang lemah dan terbatas malah mengatur Allah.

Sehingga untuk menjawab tantangan zaman yang semakin berkembang, yang perlu kita lakukan adalah kembali kepada metode anjuran Rasul yaitu ijtihad shohih yang dilakukan oleh mujtahid berkualifikasi. Kemudian masalah-masalah itu harus diselesaikan dengan hukum syara’ yang dihasilkan dari ijtihad tersebut. Semua ini dilakukan dalam rangka ketaatan kepada Allah agar keputusan dan aktivitas yang kita jalani seluruhnya memiliki hujjah di hadapan Allah.

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *