Kelangkaan Pupuk, Petani Terpuruk

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Kelangkaan Pupuk, Petani Terpuruk

Wiwik Afrah

(Aktivis Muslimah)

Komisi IV DPR menyoroti perbedaan alokasi dan realisasi kontrak pupuk subsidi antara Kementerian Pertanian dan PT Pupuk Indonesia. Ia menduga kondisi itu menjadi penyebab kelangkaan pupuk subsidi. “Kita semua tahu dari presiden sampai seluruh jajaran termasuk anggota DPR, DPRD Kotamadya, DPRD provinsi setiap turun ke bawah pasti ditanyakan masalah pupuk, kelangkaan pupuk,” kata Sudin dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian Pertanian (Kementan), Rabu (30/8).

Sudin mengatakan Kementan mengalokasikan pupuk subsidi sebanyak 7,85 juta ton pada 2023. Namun, dalam kontrak Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dengan Pupuk Indonesia, realisasinya hanya 6,68 juta ton. “Ini ada selisih kurang lebih 1,17 juta ton. Mau diapakan? Apa di-pending atau dijual non subsidi? Atau apa? Jangan digantung masalah ini,” tegas Sudan.

Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Ali Jamil menjelaskan realisasi kontrak subsidi pupuk subsidi memang hanya 6,68 juta ton dan alokasi 7,65 juta ton.

Menurutnya, masalah terletak pada anggaran Kementan untuk pupuk subsidi sebesar Rp 25 triliun yang cukup hanya untuk 6,68 juta ton. (Cnn Indonesia, 30/8/2023)

Dikutip, Republika, (15/6/2023) PT Pupuk Indonesia (Persero) akan membuat terobosan baru dalam penyaluran pupuk bersubsidi dengan pemanfaatan digitalisasi. Direktur Pemasaran Pupuk Indonesia Gusrizal mengatakan inovasi ini akan mengintegrasikan sistem aplikasi Rekan milik Pupuk Indonesia dengan aplikasi Kementerian Pertanian (Kementan), Tebus Pupuk Bersubsidi (T-Pubers). Menurutnya, ini sesuai dengan arahan Presiden Jokowi terkait subsidi langsung pupuk (SLP) sehingga sistem digitalisasi akan diterapkan.

Dalam sistem tersebut, katanya, Pupuk Indonesia akan menyiapkan stok pupuk, sedangkan Kementan bertanggung jawab terhadap alokasi penyaluran pupuk bersubsidi. Ia juga mengatakan sistem baru ini akan menjalani uji coba pada akhir Juni. Inovasi ini, menurutnya, akan menjawab persoalan yang selama ini kerap terjadi pada penyaluran pupuk bersubsidi menjadi berada dalam satu atap sehingga tidak ada lagi disparitas harga dan juga akan terjadi perubahan budaya yang luar biasa dalam mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi. Hanya saja secara logikanya, digitalisasi seharusnya akan mempermudah penyaluran pupuk subsidi di lapangan. Namun yang terjadi, pupuk subsidi justru langka. Lantas, benarkah realitasnya sebatas itu?

Rupanya, kelangkaan pupuk subsidi bukanlah hal baru. Mengutip, CNBC Indonesia, (3/2/2022). Kacaunya penyaluran pupuk bersubsidi ke masyarakat memantik kritik anggota DPR. Anggota Komisi IV DPR RI Suhardi Duka saat itu meminta PT Pupuk untuk memperbaiki pola distribusinya, jangan sampai yang terjadi justru monopoli. PT Pupuk bahkan sempat menuai tudingan adanya kolusi karena dalam distribusi tersebut melibatkan anak perusahaan hingga koperasinya. Ditambah lagi, PT Pupuk juga bertanggung jawab sebagai penentu agen distributor pupuk bersubsidi.

Namun, menurut Suhardi, sebaiknya distributor yang memberi kewenangan distribusi bukan pada induk yang sama. Masalah pada pola distribusi itulah yang membuat keberadaan pupuk kerap hilang di pasaran, padahal banyak masyarakat yang sedang membutuhkan. Akhirnya, muncul kelangkaan pupuk walau produksi cukup namun kadang tidak terdistribusikan dengan baik. Masalah belum selesai karena Kementan juga coba masuk untuk turut serta dalam penyaluran pupuk subsidi. Alih-alih memperbaiki, makin banyak tangan justru membuat pola distribusi makin kacau.

Sistem yang diterapkan saat ini telah menyimpang jauh dari aspek kemaslahatan dan fitrah manusia. Kian hari kian tampak bahwa sistem demokrasi kian memberi ruang bagi kapitalisasi aset negeri di berbagai sisi. Terlebih soal pengurusan urusan masyarakat, ini benar-benar sudah sangat jauh dari sabda Rasulullah Saw. yang memerintahkan para penguasa untuk mengurusi urusan rakyatnya.

“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Mencermati dalil ini, hanyalah sistem Islam yang memiliki tata aturan yang holistik dalam mengatur urusan bernegara. Perihal pupuk sebagai bagian vital dari payung besar penyediaan komoditas pangan yang tidak lain adalah kebutuhan primer rakyat, pengelolaannya tidak semestinya mengandung aspek bisnis, apalagi jual beli menurut model korporasi.

Dalam Islam, Khilafah bertanggung jawab memfasilitasi produksi dan distribusi agar sektor pertanian berjalan sebaik-baiknya. Keberadaan pupuk harus dijamin demi menunjang intensifikasi pertanian. Khilafah juga akan membatasi kuota impor pupuk semata ketika diperlukan saja, bukan dalam rangka ugal-ugalan meraih rente. Khilafah memahami bahwa impor pupuk bukanlah dalih untuk menjaga ketahanan pangan. Bagi Khilafah, kemandirian pangan adalah paradigma utama di sektor pemenuhan kebutuhan pangan, karena pangan adalah kebutuhan asasi publik.

Khilafah akan melakukan berbagai kebijakan untuk memberdayakan pertanian dalam negeri secara masif dan penuh. Para ahli pertanian akan dibiayai untuk melakukan berbagai riset dalam rangka menghasilkan benih tanaman unggul, riset berbagai jenis pupuk dan obat-obatan pertanian, serta menjamin distribusinya sampai ke tangan petani sehingga tidak terjadi kesenjangan dan diskriminasi di kalangan mereka.

Selanjutnya, insan intelektual pertanian akan Khilafah terjunkan untuk membina para petani di lapangan dalam bertani secara efektif dan efisien. Khilafah juga berkepentingan untuk menginventarisasi berbagai jenis komoditas pangan yang diperlukan, jenis pupuk yang sesuai, termasuk jenis lahan beserta status lahan tersebut. Hal ini karena perbedaan jenis lahan menentukan perbedaan jenis tanaman yang sesuai untuk ditanam di lahan tersebut. Sementara status lahan, akan menunjukkan status kepemilikan lahan tersebut, yakni kepemilikan individu, umum, atau negara.

Khilafah juga memiliki data akurat tentang tanah-tanah mati yang layak untuk dihidupkan sehingga Khilafah dapat mengambil dari pemilik yang tidak mengurusnya selama tiga tahun untuk diberikan kepada pemilik baru yang siap mengolahnya.

Sungguh dzalim ketika liberalisasi pupuk dibiarkan terjadi. Hal ini justru tidak ter-ubahnya menggadaikan sektor hulu pertanian, selaku sektor penyedia kebutuhan primer pangan rakyat. Ini tidak lain adalah wujud lepas tangan penguasa memenuhi ketersediaan kebutuhan asasi rakyatnya, sekaligus bukti keberpihakan mereka kepada pola bisnis kapitalis dalam mengelola urusan rakyatnya.

Wallahu ‘alam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *