Kebebasan Beragama Ala Demokrasi Menjadi Tameng Eksistensi Baha’i

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Atika Marsalya (Aktivis Dakwah)

 

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menjadi sorotan publik karena mengucapkan selamat hari raya Naw-Ruz 178 EB ke komunitas Baha’i. Menurut Kemenag, ucapan selamat hari raya Nawruz kepada komunitas Baha’i sudah sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku, meski di kalangan publik terjadi pro dan kontra.

Pihak yang pro dengan Menag mengatakan bahwa Kemenag merupakan wakil pemerintah sehingga tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga negara meski agama Baha’i tidak termasuk dalam enam agama yang diakui di Indonesia.

Gaung kebebasan beragama pun kembali mengemuka. Sejumlah pihak khususnya kalangan pengagum kebebasan beragama, komunitas Baha’i juga warga negara. Harus dijamin dan dilindungi hak beragamanya. Mengucapkan selamat hari raya kepada mereka dianggap sudah sesuai amanat konstitusi.

Bagi Menag, konstitusi di Indonesia tidak mengenal istilah ‘agama diakui’ atau ‘tidak diakui’, juga tidak mengenal mayoritas atau minoritas. Menag Yaqut menegaskan kehadirannya di acara komunitas Baha’i semata-mata dalam konteks untuk memastikan negara menjamin kehidupan warganya.  “Negara harus menjamin kehidupan seluruh warganya. Apa pun agamanya, apa pun keyakinannya,” ujar dia. (Detik, 28/7/2021)

Aktivis kebebasan beragama menyambut hangat sikap Menag Yaqut. Penrad Siagian, Peneliti dari Paritas Institute mengatakan Menag Yaqut tidak cukup hanya mengucapkan selamat. Tapi juga harus diteruskan kepada perlindungan, pelayanan publik terhadap berbagai kelompok agama, termasuk Baha’i yang selama ini mengalami diskriminasi. (Detik, 30/7/2021).

Sedangkan pihak yang kontra mengatakan bahwa sikap Menag Yaqut dinilai aneh. Seperti yang disampaikan ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad mempersilakan jika Kemenag ingin merangkul semua agama. Tapi jika itu diucapkan seorang pejabat negara justru terlihat aneh. Menurutnya, sebagai pejabat resmi pemerintah, Yaqut seharusnya disiplin mengikuti aturan yang ada. Dalam arti hanya mengucapkan kepada agama yang resmi diakui pemerintah.

MUI sendiri juga mengingatkan agar pemerintah tidak offside. MUI meminta pemerintah tidak salah menyikapi keberadaan Baha’i. Negara memang wajib melindungi warga tapi tidak lantas menyamaratakan perlakuan dengan melayani dan memfasilitasi agama selain enam agama yang diakui di Indonesia.

Buah Pahit Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama adalah salah satu kebebasan yang dijamin dalam sistem demokrasi. Kebebasan beragama juga selalu berkaitan erat dengan HAM. Menentang kebebasan sama saja melanggar HAM. Jika beragama dihalangi dan didiskriminasi, maka hal itu dianggap bertentangan dengan prinsip negara demokrasi. Jadi, apa yang dilakukan Yaqut dan pembelaan aktivis kebebasan beragama sudah sesuai dengan prinsip demokrasi.

Bagi mereka, agama apa pun wajib dilindungi. Tidak boleh intoleransi mayoritas atas minoritas. Negara harus menjamin semua agama yang berkembang, meski dikatakan agama tersebut sesat dan menyesatkan. Kebebasan beragama makin menyuburkan aliran sesat meski pada akhirnya aliran-aliran itu menjelma menjadi agama baru seperti halnya Ahmadiyah dan Baha’i.

Atas nama kebebasan beragama, negara tidak berbuat apa-apa. Negara justru membiarkan bahkan melindunginya sebagai agama yang diakui keberadaannya. Umat diminta dewasa dalam menyikapi keberadaan aliran dan agama-agama baru yang bermunculan. Ini justru mengaburkan ajaran Islam dari benak kaum muslimin. Akidah kaum muslim terancam akibat serangan kebebasan beragama yang terus digaungkan.

Munculnya banyak aliran sesat telah memurtadkan ribuan kaum muslimin. Mereka menanggalkan akidahnya demi menjajaki agama baru atas nama kebebasan beragama. Memang tidak ada paksaan dalam memeluk Islam. Namun, Islam melarang seorang muslim megikuti ritual keagamaan agama lain termasuk mengucapkan selamat hari raya kepada mereka yang non-muslim. Apalagi meninggalkan akidah Islam.

Alhasil, penerapan sistem kapitalisme demokrasi telah memberi banyak kerugian kepada umat Islam karena tumbuh suburnya aliran sesat atau agama baru yang mengaburkan dan menyesatkan akidah Islam yang lurus. Negara kapitalisme demokrasi gagal melindungi umat dari penyesatan dan pendangkalan akidah Islam.

Khilafah Menjaga Agama

Dalam khilafah, khalifah adalah perisai tempat umat berlindung padanya. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Negara khilafah wajib menjaga akidah umat Islam dari berbagai penyimpangan, pendangkalan, serta penyesatan sebagaimana syariat Islam berfungsi  menjaga agama, akal, jiwa, harta, kehormatan dan keamanannya. Dalam hal menjaga agama, negara khilafah memberikan toleransi terhadap pemeluk agama lain. Agama lain dapat hidup berdampingan dengan tenang bersama kaum muslimin di bawah naungan Islam. Sebab, pengakuan Islam terhadap pluralitas (ragam) masyarakat tidak lepas dari ajaran Islam. Allah berfirman, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama [Islam].” (QS al-Baqarah [2]: 256).

Terhadap aliran-aliran sesat, negara khilafah akan  menghentikan aktivitasnya, membubarkan jamaah atau organisasinya. Adapun orang-orang yang terjebak pada aliran sesat tersebut, negara khilafah akan memberikan pendampingan berupa pembinaan hingga ia kembali pada akidah yang lurus, memberikan pemahama, menjelaskan kesesatan dan kepalsuan ajaran tersebut dengan bukti dan argumentasi yang mampu memuaskan akal pikiran dan perasaanya. Serta mendorong agar mereka melakukan taubatan nasuha.

Khilafah juga akan menetapkan sanksi tegas bagi mereka yang murtad, mengakui sebagai Nabi, menistakan Islam dan ajarannya. Nabi Saw. bersabda, “Siapa saja yang murtad dari agamanya, bunuhlah!” (HR at-Tirmidzi). Tegasnya hukuman ini merupakan imunitas bagi kaum muslim. Saat ia masuk Islam, ia harus memahami konsekuensi memeluk Islam berikut sanksinya jika ia menyalahi syariat Islam. Karena memeluk Islam adalah bagian dari pilihan yang dibuat dengan penuh kesadaran bukan paksaan.

Selain melindungi Islam, Khilafah pun melindungi agama lainnya, dengan syarat, pemeluknya menjadi ahli dzimmah. Khilafah membiarkan mereka dalam agama mereka; Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha dan sebagainya. Nabi saw. bersabda, “Rasulullah Saw. pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, bahwa siapa saja yang tetap memeluk Yahudi atau Nasrani, dia tidak boleh dihasut [untuk meninggalkan agamanya], dan dia wajib membayar jizyah.” (HR Ibn Hazm dalam kitabnya, Al-Muhalla).

Penjagaan khilafah terhadap Islam tidak akan memunculkan aliran-aliran sesat. Perlindungan khilafah terhadap umat agama lain telah dibuktikan dalam lembaran sejarah bagaimana khilafah memperlakukan nonmuslim dengan sangat baik. Hal ini sudah teruji bagaimana umat nonmuslim hidup tenang dan damai di bawah pemerintahan  Islam. wallahua’lam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *