Keadilan, Gimik Politik dalam Demokrasi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Rina Tresna Sari, S.Pd.i (Pendidik Generasi Khoiru Ummah dan Member AMK)

Demokrasi yang menjadi harapan ditegakkannya keadilan rupanya hanya seperti bermimpi disiang bolong. Pasalnya fakta yang dipertontonkan secara live disetiap masanya menunjukan bahwa demokrasi yang menjunjung tinggi ‘kesejahteraan dan keadilan’ tidak berdaya dihadapan Negeri Hukum (Indonesia).

Seperti kasus Pak Novel Baswedan, layaknya kita membaca (nonton) kisah novel +62 yang berujung tragis dan menggemaskan. Tragis karena menyebabkan kebutaan pada mata kiri. Sedangkan cerita menggemaskannya adalah dengan dalih ‘Ngak sengaja’ pelaku hanya dituntut 1 tahun penjara.

Bila mencermati kembali pernyataan Jaksa, kasus Novel terbukti sebagai penganiayaan berat. Penganiayaan berat hingga menimbulkan kebutaan, sangat disayangkan bila pelakunya hanya dihukum satu tahun.

Mirisnya masih ada saja yang berpendapat bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan ringan. Ada pula yang dengan tega mengatakan, kasus Novel itu tindak pidana kecil. Menghilangkan penglihatan seseorang itu bukan kasus kecil. Rupanya Rasa keadilan menjadi compang-camping karena masih ada yang menganggap kasus Novel itu kecil dan terlalu dibesar-besarkan.

Sungguh nilai keadilan telah tergadaikan. Untuk sekadar bersikap objektif saja sulit. Malah berkomentar dengan kalimat yang menyakitkan korban dan rasa keadilan itu sendiri. Harga keadilan bagi Novel Baswedan tampak langka di sistem pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Hingga berganti Kapolri, kasus Novel bagai drama panjang.

Rupanya perlu kita kaji kembali secara mendalam tentang keadilan itu sendiri, agar kita tidak keliru dalam menilai, menetapkan dan mengharap keadilan.

Adil menurut KBBI adalah sama berat, tidak memihak, berpihak pada kebenaran, dan berpegang pada kebenaran. Adapun adil menurut Islam adalah proporsional, tidak berat sebelah, jujur.

Menurut sosiolog Islam Ibnu Khaldun, adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Maksudnya memenuhi hak-hak orang yang berhak dan melaksanakan tugas-tugas atau kewajiban sesuai dengan fungsi dan peranannya dalam masyarakat.

Kasus Novel adalah contoh rasa ketidakadilan hukum yang terjadi di negeri penganut demokrasi. Rekam jejak ketidakadilan hukum bisa dengan mudah kita temukan dalam jejak digital negeri hukum penegak demokrasi.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Lembaga penegak hukum justru dinilai pilih-pilih dalam memproses hukum seseorang. Hukum tajam terhadap pihak yang kontra pada penguasa. Tumpul bila berhubungan dengan para pendukung penguasa.

Seperti Inikah keadilan hukum yang dimaksud demokrasi? Hukum tak lagi murni. Hukum bisa jadi alat pukul bagi kekuasaan. Menggunakan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan adalah hal biasa dalam negara demokrasi. Sebab, tak ada niat murni dan suci dalam demokrasi. Semua hal dalam demokrasi penuh intrik dan gimmick politik.

Kasus Novel membuka tabir betapa buruknya penerapan prinsip keadilan dalam demokrasi. Hal ini menunjukan bahwa hukum buatan manusia lemah dan terbatas.

Hukum buatan manusia juga membuka peluang diutak-atik sesuai kepentingan. Pada akhirnya nilai keadilan menjadi ambigu. Adil menurut siapa? Tergantung yang menilai dan siapa yang berkepentingan.

Hal ini tentu saja berbeda dengan keadilan yang diajarkan Islam. keadilan dalam Islam tidak memakai kacamata manusia, melainkan penilaian Allah Ta’ala sebagai pembuat hukum. Ketika hukum Allah yang diterapkan, maka akan jauh dari politik kepentingan. Manusia hanya pelaksana hukum Allah.

Karenanya dalam kasus Novel Baswedan, kerusakan salah satu organ tubuh manusia dikategorikan sebagai sanksi jinayat. Penyerangan terhadap Novel Baswedan hingga hilang penglihatan termasuk dalam jinayat yang mewajibkan diyat sesuai kadar yang ditetapkan syariat Islam.

Untuk satu biji mata dikenakan ½ diyat. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw., “Pada dua biji mata dikenakan diyat.”

Dalam riwayat Imam Malik dalam Muwattha’, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga besabda, “Pada satu biji mata, diyat-nya 50 ekor unta.”

Selain itu sistem sanksi Islam memilki dua fungsi, yaitu sebagai zawajir; mencegah orang-orang berbuat kriminal dan dosa; kedua, sebagai jawabir, penebus dosa atas dosa dan siksaannya di akhirat kelak. Dua fungsi ini membuktikan betapa Islam begitu menghargai dan menjaga nyawa, jiwa, anggota badan, harta, rasa aman, dan keadilan.

Begitulah prinsip keadilan dan penegakan hukum dalam Islam. Penerapan syariat Islam akan menghilangkan kezaliman. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara kafah keadilan itu akan bisa dirasakan seluruh umat manusia

Wallahu a’lam bishshowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *