Oleh: Nurhayati (Aktivis Muslimah Kaltim)
Derita perempuan bagai drama ribuan episode yang tak berujung. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengomentari banyak aturan di berbagai Negara yang membuat susah perempuan. Hingga saat ini banyak Negara di dunia, termasuk Indonesia menempatkan kedudukan perempuan di posisi yang tidak jelas.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebutkan beberapa hal terkait posisi perempuan yang tidak selalu jelas. Misalnya untuk tingkat keluarga, sebuah keluarga yang mengalami keterbatasan ekonomi akan mendahulukan anak laki-lakinya untuk mendapatkan akses pendidikan.
Jika perempuan bekerja, dia tidak boleh memiliki rumah, toko, atau usaha atas namanya, properti tersebut harus atas nama laki-laki. Sri Mulyani mengatakan, berbagai halangan tersebut harus dihadapi dan jangan mudah menyerah untuk mencapai cita-cita atau kegiatan apapun.
Ketidakjelasan kedudukkan perempuan kemudian memunculkan pertanyaan, bagaimana mestinya perempuan menjalankan perannya? Bagaimana idealnya posisi perempuan dalam memainkan peran strategisnya?
Perempuan dalam Jerat Sistem Demokrasi
Sistem demokrasilah yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak jelas. Fitrah perempuan sebagai makhluk lemah dan .wajib dilindungi pun tak mendapat jaminan perlindungan yang semestinya. Sistem pemuja kebebasan ini membebaskan perempuan untuk melakukan apa saja atas nama hak asasi. Termasuk membebaskan perempuan untuk keluar dari fitrahnya dan bebas bersaing dengan kaum lelaki.
Kebebasan yang keluar dari fitrahnya sudah pasti akan mengakibatkan terjadinya pelecehan, kekerasan, maupun diskriminasi yang kerap dialami para perempuan. Sebab demokrasi menempatkan perempuan bukan pada kedudukannya. Membebaskan perempuan keluar dari fitrahnya sama saja membiarkan perempuan tanpa perlindungan.
Asas kebebasan yang kebablasan ini juga memunculkan para pejuang feminisme, perjuangan hak asasi perempuan yang mengarah pada perjuangan mendapatkan kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam segala hal. Dan demokrasi mencoba melindungi hak-hak perempuan dengan mengeluarkan regulasi yang memberikan perempuan kesempatan untuk bersaing dengan laki-laki. Padahal perjuangan inipun bertentangan dengan fitrah perempuan.
Revisi undang-undang maupun adanya RUU dalam rangka menyelesaikan problem perempuan pun nyatanya hanya regulasi tambal sulam. Problematika perempuan selalu diselesaikan dengan membuat regulasi-regulasi yang justru akhirnya melahirkan masalah baru. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual misalkan. Sekilas RUU ini nampak akan melindungi perempuan dari kejahatan seksual, padahal dibaliknya tersembunyi ide-ide feminisme yang akan membuat perempuan semakin jauh dari fitrahnya.
Inilah gambaran perempuan dalam jerat sistem demokrasi yang jauh dari aturan Islam. Tak heran, karut marut pengaturan perempuan dalam sistem ini memunculkan ketidakjelasan posisi perempuan. Membuat perempuan tak paham peran strategisnya dan keluar dari fitrahnya. Apalagi demokrasi menggambarkan perempuan sukses adalah perempuan yang memiliki daya saing dan nilai jual. Sebuah penggambaran yang berorientasi materi semata.
Dengan asas kebebasan yang didengungkan oleh demokrasi, sesungguhnya sistem ini sedang berlepas tangan atas tanggung jawab mengurusi hak-hak perempuan. Tidak menempatkan perempuan pada posisi perempuan. Justru malah mengeksploitasi dan mengalihkan peran utama perempuan.
Kedudukan Perempuan Dalam Islam
Allah SWT berfirman, yang artinya: “Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56). Manusia disisi Allah, dalam hal ini perempuan dan laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama. Yaitu wajib taat dalam melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Baik perempuan maupun laki-laki akan memiliki kedudukan yang mulia hanya jika ia bertakwa kepada Allah semata.
Sebaliknya, jika perempuan atau laki-laki tidak mentaati perintah dan larangan Allah maka berarti mereka memilih hidup tanpa arah dan tujuan dari Allah yang telah menciptakan mereka dari tidak ada menjadi ada. Karena itu, Islam sebagai “aturan main” kehidupan dari Allah bagi manusia telah memberi aturan rinci berkenaan dengan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan dalam menjalani kehidupan.
Aturan yang rinci ini akan bisa diterapkan hanya jika umat menerapkan islam secara totalitas. Dan penerapan aturan Islam secara totalitas membutuhkan sebuah sistem yang mampu mensinergikan semua aturan dalam berbagai lini kehidupan. Karena setiap aturan pasti akan membutuhkan atau berkaitan dengan penerapan hukum yang lain. Penerapan ini hanya akan teralisir jika umat menegakan kembali khilafah.
Begitu pula dalam mengatasi masalah perempuan. Islam menetapkan peran utama seorang perempuan adalah al umm warobbatul bait, sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Perempuan juga memiliki peran publik yang tak kalah penting yaitu terlibat dalam aktifitas dakwah amar makruf nahi munkar, termasuk terlibat dalam aktifitas politik yang senantiasa memuhasabahi penguasa.
Khilafah akan mendorong perempuan menjalankan peran utamanya dengan maksimal tanpa mengesampingkan peran publiknya. Kedua peran ini akan saling bersinergi. Dengan demikian kedudukan perempuan dalam islam jelas. Islam tidak akan mencampuradukan peran perempuan dengan aktifitas yang bukan menjadi kewajibannya. Sehingga perempuan akan mengetahui arah dan tujuan hidupnya.
Inilah sistem islam yang akan memuliakan perempuan dan mengarahkan perempuan bergerak sesuai dengan fitrahnya. Kehormatannya dilindungi, kemuliaannya dijaga, dan ia akan diberi jaminan keamanan dan kesejahteraan. Khilafah meniscayakan penerapan islam kaffah yang akan melahirkan kemaslahatan dan solusi tuntas untuk seluruh problematika perempuan hari ini. Hanya jika umat mengganti sistem kufur demokrasi dengan sistem islam dalam naungan khilafah.
Wallahu’alam bishawab