Karhutla, Mengapa Bisa Terjadi Lagi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Karhutla, Mengapa Bisa Terjadi Lagi?

Ditulis oleh Watini Aatifah

Kontributor Suara Inqilabi

 

Kebakaran hutan dan lahan atau karhutla kembali terjadi di negeri ini. Berdasarkan penanganan bencana kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Selatan yang dilaporkan Badan Penanggulangan Bencana daerah (BPBD), sejak Juni hingga Agustus 2023 luasan lahan terbakar mencapai 2.301,58 hektare yang diambil dari citra satelit. Kemudian, hotspot sebanyak 3.787 titik berdasarkan satelit dan patrol udara terpantau 727 titik api.

Jakarta (ANTARA)- Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan telah mengirimkan 98 surat peringatan temuan titik panas atau hotspot kepada perusahaan agar segera mengambil tindakan maupun penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan telah menggugat 22 perusahaan penyebab kebakaran hutan lahan di Indonesia terhitung sejak tahun 2015 sampai 2023.

Kebakaran hutan dan lahan ini seperti agenda tahunan. hampir terjadi setiap tahun. Penyebabnya pun bermacam-macam mulai dari faktor alam hingga faktor manusia yang sengaja membakar hutan untuk pembukaan lahan. Kebakaran hutan sangat membahayakan jiwa manusia dan ekositem didalam hutan tersebut, sebab asap yang dihasilkan bisa menimbulkan polusi udara, dampak lainnya adalah ancaman pemukiman warga sekitar. Selain itu asap kebakaran hutan dan lahan juga beresiko membahayakan jalur penerbangan yang beresiko terhadap keselamatan penumpang.

Permasalahan kebakaran hutan sejatinya tidak lepas dari buruknya penanganan lahan hutan oleh pemerintah. Baik pemerintah pusat maupun daerah, pasalnya selama ini pembukaan hutan melalui pembakaran memang diperbolehkan jika memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang.

Disisi lain negara juga gagal memberikan sanksi yang tegas pada para pelaku pembakaran hutan secara liar. Kebakaran hutan diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap persoalan ini adalah akibat gagalnya edukasi di tengah-tengah masyarakat.

Semua ini tidak lepas dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini. Dalam sistem kapitalisme hutan dan lahan dipandang sebagai milik negara bukan milik rakyat, oleh karena itu negara dipandang berwewenang menyerahkan kepemilikannya kepada pihak swasta atau korporasi dalam mengelola dan memanfaatkan hutan dan lahan yang ada.

Korporasi sebagai pemilik modal tentu saja menginginkan keuntungan yang besar tanpa mengeluarkan modal yang besar. Sementara aktifitas pembakaran hutan dalam pembukaan lahan adalah cara ekonomis dan mudah.

Jadi akar permasalahannya adalah penerapan sistem kapitalisme yang telah membiarkan kaum kapitalisme mengeruk keuntungan dari kebakaran hutan ini. Sementara negara hanya bertindak sebagai regulator yang melancarkan penguasaan lahan oleh para korporat melalui kebijakan negara.

Kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa diselesaikan secara tuntas dengan sistem Islam. Hutan memiliki fungsi ekologis dan hidrologis termasuk sebagai paru-paru dunia yang dibutuhkan oleh puluhan juta jiwa. Selain itu syariat Islam telah menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara, ketentuan ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW;

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, dalam air, padang rumput (gembalaan dan api’’ (HR. Abu Dawud, ahmad, Ibnu Majah)

Para ulama terdahulu sepakat bahwa air sungai danau, saluran irigasi padang rumput (hutan) adalah milik bersama dan tidak boleh dikuasai oleh sesorang atau hanya sekelompok orang. Maka dari itu berserikatnya manusia dalam tiga hal pada hadist tersebut bukan karena zatnya tetapi karena sifatnya sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak (komunitas) dan jika tidak ada maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya.

Pegelolaan hutan yang tidak sederhana hal ini membutuhkan keahlian, sarana dan juga dana yang besar. Oleh karena itu Islam menetapkan bahwa negara adalah pihak paling bertanggung jawab mengelolanya. Negara memasukan segala pendapatan hutan ke dalam baitulmal dan mendistribusikan dananya sesuai kebutuhan rakyat, berupa pendidikan dan kesehatan gratis sebab negara melakukan pengelolaan hutan dengan prinsip melayani, bukan untuk berbisnis pada rakyat.

Negara wajib menjaga kelestarian hutan terutama hutan gambut yang sangat bermanfaat untuk paru-paru dunia, hutan gambut menyimpan air pada musim hujan dan sebagai sumber air pada musim kemarau tiba. Selain itu hutan gambut juga sebagai habitat hewan dan tumbuhan yang menjaga keseimbangan alam negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan.

Adapun lembaga peradilan yaitu muhtasib (Qodhi Hisbah) yang bertugas utamanya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum termasuk pegelolaan hutan. Mustasib misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran hutan, jika masih ada yang melanggar negara wajib memberikan sanki yang tegas terhadap pelaku pembakaran hutan dengan ta’zir, kadar dan jenisnya ditetapkan oleh kepala negara. Sehingga memberikan efek jera dan tidak di contoh oleh pihak lainnya.

Pengaturan yang terperinci tentang kepemilikan, kesadaran umum menjaga lingkungan dan sanki yang tegas bagi pelaku kejahatan akan menjadi solusi tuntas atas kasus karhutla. Inilah mekanisme khilafah dalam mengelola hutan yang akan menghindarkan dharar bagi masyarakat dan lingkungan.

Wallahu’alam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *