Kapitalisme Merampas Ruang Hidup Perempuan, Hanya Islam yang Mensejahterakan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Kapitalisme Merampas Ruang Hidup Perempuan, Hanya Islam yang Mensejahterakan

Bunda Erma

(Pemerhati Perempuan & Generasi)

 

Konflik agraria adalah salah satu persoalan yang masih menjadi pekerjaan besar pemerintah untuk dituntaskan. Konflik ini telah mengakar selama puluhan tahun. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mengungkapkan bahwa telah terjadi 2.710 konflik agraria selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. (kompas.com, 24-9-2023)

Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika mengatakan sejak 2015 hingga 2022, ribuan kasus persoalan agraria itu mencuat dan berdampak pada 5,8 juta hektar tanah. Tak hanya itu, korban berdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia. (cnnindonesia.com, 24-9-2023)

KPA menyatakan diantara ribuan konflik, ada 73 konflik agraria yang terjadi dalam kurun waktu 8 tahun pemerintahan presiden Jokowi akibat proyek strategis nasional (PSN). Salah satunya adalah kasus Rempang-Batam yang terjadi di bulan September, karena warga menolak direlokasi untuk pembangunan Rempang Eco City. (cnnindonesia.com, 24-9-2023)

Konflik lahan ini telah merampas ruang hidup jutaan masyarakat di negeri ini. konflik agraria ini terus terjadi di beberapa sektor, mulai dari perkebunan yang didominasi oleh sawit, infrastruktur, Proyek Strategis Nasional (PSN), Kawasan Ekonomi Kreatif (KEK), sektor pertambangan, dan konflik di sektor properti, kota mandiri dan area komersial di perkotaan. Mirisnya, kasus ini telah terjadi di tingkat pusat dan daerah. Sebagaimana data yang dirilis Dinas Pertanian Ngawi mencatat luas lahan produktif di wilayah setempat sebelumnya mencapai 50.550 Hektare dan saat ini telah berkurang menjadi 50.197 Hektare. Bupati Kanang mengaku dampak pengurangan lahan pertanian membuat hasil produksi padi di wilayah Ngawi ikut berkurang. Penurunan ini karena lahan dialih fungsikan untuk perumahan, pembangunan infrasturktur seperti jalan tol dan industrialisasi dengan berdirinya pabrik-pabrik. (jatim.anataranews, 22-7-2020)

Perampasan hidup akibat konflik agraria yang berkepanjangan ini telah menimbulkan konflik sosial yang diikuti dengan intimidasi kekerasan dan kriminalisasi. Hal ini tentu menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran di tengah masyarakat. Alhasil tidak ada jaminan keamanan bagi masyarakat yang wilayahnya menjadi sasaran penggunaan lahan oleh sebagian besar pemilik modal atas legalisasi penguasa. Tidak hanya itu, konflik lahan juga berakibat pada relokasi besar-besaran dan penggusuran rumah serta tempat hidup masyarakat.

Dampaknya, rakyat kehilangan rumah, kehilangan pekerjaan, komunitas bahkan berdampak terhadap kelangsungan pendidikan anak-anak sekolah. Dampak lain yang diakibatkan oleh konflik lahan ini adalah bencana alam yang menimpa masyarakat, termasuk perempuan dan generasi. Banjir, tanah longsor, polusi udara, limbah B3, dan rusaknya lingkungan akibat tambang galian dan terganggunya keseimbangan ekosistem.

Menguatnya Oligarki

Akar masalah konflik agraria adalah masalah sengketa kepemilikan tanah dan lahan. Fakta di negeri ini yang berkiblat pada sistem ekonomi kapitalis liberal, memberikan kebebebasan bagi individu-individu untuk memiliki apapun termasuk keserakahan kepemilikan lahan. Kasus alih fungsi lahan dalam negara kapitalis sangat mudah terjadi, atas nama investasi, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Penyerahan pengelolaan lahan kepada korporasi dipermudah oleh pemerintah melalui berbagai regulasi. Kemudahan ini tertuang dalam visi Indonesia Emas RPJMN 2020-2024, dimana pemerintah mendorong investasi seluas-luasnya untuk mendukung pembangunan, membuka lapangan pekerjaan, memangkas perizinan, pungutan liar, dan hambatan investasi lainnya.

Jelas bahwa sistem kapitalisme inilah yang menjadikan posisi pemerintah hanya sebagai regulator saja, sehingga sering kali kurang memepertimbangkan hajat dan keberlangsungan hidup rakyatnya. Sehingga tidak sedikit lahan yang semula milik rakyat sudah berpindah ke tangan para pemodal bahkan pemodal asing dalam waktu yang singkat dan proses yang cepat. Akibatnya rakyat tidak hanya kehilangan lahan pertanian, tetapi juga kehilangan mata pencahariannya. Kasus seperti ini sudah terjadi di berbagai wilayah, seperti kasus agraria di desa Pakel Banyuwangi, desa Wadas Jateng ataupun kasus di Rempang.

Inilah konsekuensi penerapan sistem kapitalisme yang memberi kebebasan kepemilikan kepada apa saja kebebasan pemanfaatan dan pengembangan apapun, termasuk lahan. Pengambilalihan lahan dan sumber daya oleh korporasi yang didukung oleh aturan dan undang-undang yang diberlakukan pemerintah, sejatinya menunjukkan berjalannya politik oligarki di negeri ini. Dimana kekuasaan negara digunakan untuk kepentingan akumulasi kekayaan para pemilik modal. Artinya, melalui politik oligarki, perampasan lahan warga oleh pihak korporasi mendapat jaminan hukum, peraturan bahkan dorongan komunitas internasional.

Politik oligarki adalah buah penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang telah berajalan selama puluhan tahun di negeri ini. Lewat UU Minerba maupun UU Ciptakerja, perampasan lahan oleh korporasi semakin mendapat lampu hijau. Sungguh berjalannya politik oligarki di negeri ini telah merampas ruang hidup masyarakat, termasuk perempuan dan generasi.

Islam Menjamin Kesejahteraan 

Islam dengan politik ekonominya akan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu baik laki-laki maupun perempuan, kaya ataupun miskin. Terpenuhinya kebutuhan itu sampai pada tataran sandang, pangan, tempat tinggal yang layak, kesehatan, dan keamanan. Bahkan Islam juga memberikan peluang besar bagi setiap wargaya untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya.

Negara Islam (Kh!l4f4h) dibangun atas akidah Islam, yang menjadikan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya landasan dalam mengatur negara. Landasan inilah yang mewajibkan seorang pemimpin negara (kh4l!fah) menjadi pengurus dan pelindung bagi rakyatnya.

Kh!l4f4h akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang memiliki asas-asas sistem ekonomi yang meliputi kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan. Dalam hal kepemilikan, Islam mengakui tiga jenis kepemilikan, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

Tanah (lahan) dikategorikan berdasarkan kandungan di dalamnya. Jika tanah mengandung kekayaan alam, seperti hutan, tambang dan sumber daya melimpah lainnya, maka tanah tersebut termasuk milik umum yang haram diserahkan kepada individu maupun swasta. Tanah tersebut wajib diperuntukkan untuk kemaslahatan publik. Adapun tanah yang tidak terkandung kekayaan alam di dalamnya, maka bisa dimiliki individu maupun negara. Tanah yang termasuk milik rakyat (individu) wajib dilindungi oleh negara dan tidak boleh dirampas oleh siapapun, meski itu untuk kepentingan umum kecuali atas izin pemiliknya. Semua hukum kepemilikan tanah harus dijaga oleh negara, bahkan haram jika negara melanggarnya. Apalagi dengan cara-cara yang dzalim atau mafia tanah, dengan intimidasi, menipu, dan menggunakan kekerasan pada warga. Sungguh hanya melalui penerapan aturan Islam kaffah rakyat bisa hidup Sejahtera termasuk perempuan dan generasi.

Wallahu’alam bish-shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *