Oleh: Wati Ummu Nadia
Ibu
Kaulah wanita yang mulia
Derajatmu tiga tingkat dibanding ayah.
Masih ingat dengan penggalan syair qosidah di atas? Lagu dari Nasida Ria yang populer di tahun 2000 itu cukup mampu menggambarkan betapa besar jasa ibu bagi putra-putrinya. Bahkan Baginda Rasulullah SAW menyebut “Ibumu” sampai tiga kali, barulah beliau mengucap “ayahmu”.
Islam mengajarkan kepada setiap insan untuk menghargai jasa ibu. Karena setiap ibu rela mengandung dan melahirkan dalam kondisi berat lagi kepayahan. Lalu merawat, mengasuh, dan mendidik putra-putrinya hingga dewasa. Sungguh perjuangan yang luar biasa. Perjuangan yang sampai kapan pun tak bisa diganti dengan dunia seisinya.
Namun, miris. Saat ini, ibu tak lagi diposisikan pada kedudukan mulia. Sudah bertebaran berita mengenai konflik ibu-anak yang berujung nestapa. Entah masalah warisan, cekcok berkepanjangan, uang, ataupun masalah lainnya. Jasa ibu kini bisa berbalas jeruji.
Meski berujung damai karena desakan masyarakat dan berbagai pihak, dan ada pula yang laporannya ditolak aparat, namun keinginan memenjarakan ibu atas persoalan yang sebenarnya masih bisa diselesaikan lewat kekeluargaan, itu adalah salah. Terlebih, persoalan yang dijadikan sandaran pelaporan juga bukan masalah pidana ataupun pelanggaran syara’ yang berat.
Bukan tidak mungkin kejadian serupa akan terus berulang. Terlebih di tengah kehidupan sekuler materialistik saat ini. Tuntunan agama seringkali tak diindahkan, sementara hawa nafsu dan ego makin mendominasi. Di sisi lain, aturan yang berlaku seringkali timpang jika diterapkan, tak bisa memberi keadilan terhadap ibu dan anak yang tengah berperkara.
Inilah dampak penerapan aturan buatan manusia. Manusia terlahir ke dunia dengan sifat lemah dan terbatas, maka lemah dan terbatas pula produk hukum yang dibuatnya. Hasilnya, aturan hukum akan sulit menyelesaikan persoalan manusia, malahan bisa berpotensi memperburuk problem kehidupan.
Sosok ibu memang tak sempurna. Ibu juga tidak selalu benar. Namun penghormatan dan bakti pada ibu adalah kewajiban. Islam memerintahkan untuk bergaul dengan kedua orang tua, terutama ibu, secara ma’ruf. Bahkan sekalipun orang tua tersebut berada dalam kekafiran.
Hanya saja, Islam memberi batasan ketaatan kepada orang tua, yakni ketika orang tua memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Hal ini tertuang jelas dalam sabda Baginda Rasulullah SAW:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Generasi shahabat juga mencontohkan budi luhur berkat ajaran Islam. Sa’ad bin Abi Waqash ra., misalnya. Ibunda Sa’ad memaksa untuk murtad dari Islam, seraya mengancam mogok makan selama Sa’ad masih dalam keimanan. Sa’ad tetap berbakti kepada ibunda, bahkan rela membujuk dan menyuapi ibunya. Namun, ia menolak mengabulkan perintah ibunya untuk keluar dari Islam.
Selain itu, Islam juga memerintahkan kepada setiap orang tua untuk menyayangi dan mendidik putra-putrinya sesuai tuntunan Islam. Orang tua juga harus menjadi teladan kebaikan bagi putra-putrinya, sehingga terjalin ikatan indah antara orang tua dan anak. Sebab, durhakanya anak sering kali diawali durhakanya orang tua, yang tidak memenuhi hak-hak anak dengan baik.
Seperti itulah Islam mengajarkan. Sudah selayaknya umat Islam hanya berkiblat pada tuntunan Islam dalam memecahkan setiap masalah. Tak lain agar kehidupan bertabur berkah serta jauh dari masalah, dan semoga di akhirat kelak Allah menghadiahkan jannah.
Wallahu a’lamu bish showab.