Jangan Gadaikan Natuna Kami

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rita Yusnita (Member Kalam ‘Komunitas Pena Islam’)

Setelah menuai kecaman dari berbagai Negara terkait kekejaman mereka terhadap etnis muslim Uighur, kini Negara yang berjuluk Negeri Tirai Bambu membuat ulah lagi dengan masuknya coast guard dan kapal-kapal nelayan mereka ke Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia di Natuna Utara. Protes dari pemerintah Indonesia pun diabaikan. Terbukti dari Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang yang mengatakan coast guard atau kapal penjaga pantai china justru sedang melaksanakan tugasnya untuk melakukan patroli dan menjaga wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan china (Traditional fishing raight), dilansir RMOL.com (Kamis, 02/01/2020).

Pernyataan Geng tersebut dikeluarkan dalam Konferensi Pers pada Selasa (31/12) dan menyampaikan bahwa china akan menyelesaikan perselisihan Natuna utara secara Bilateral. Menanggapi rencana tersebut, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana dengan tegas menyarankan Pemerintah untuk menolak. Sebab jika china tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna Utara seharusnya Indonesia juga tidak mengakui wilayah traditional penangkapan ikan nelayan China. Selanjutnya, Indonesia sendiri telah mendapat penegasan dari Permanent Court of Arbitration (PCA) dalam penyelesaian sengketa antara Filipina dan China. Dalam putusannya, PCA tidak mengakui dasar klaim China atas nine-dash-line maupun konsep traditional fishing right. Sehingga klaim China tidak akan diakui dalam negoisasi mengingat Indonesia dan China itu sendiri adalah anggota UNCLOS. Jangan sampai ketergantungan Indonesia atas utang China dikompromikan dengan kesediaan pemerintah untuk bernegosiasi dengan pemerintah China, lanjut Hikmahanto.

Seharusnya Menhan sebagai bagian dari pemerintah satu suara dengan Menlu Retno Marsudi. Bu Menlu menyatakan klaim Historis China atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan itu dianggap bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. Bagi Hikmahanto Indonesia harus mengambil langkah nyata dengan meningkatkan patroli di Natuna Utara. Indonesia juga harus menegakkan hukum bila ada nelayan asing termasuk nelayan China yang melakukan penangkapan ikan secara illegal.

Natuna merupakan sebuah Kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia dan merupakan kepulauan paling utara di Selat Karimata. Kabupaten ini terkenal dengan penghasil minyak dan gas. Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 1.400.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680.000 barel (Wikipedia). Laut Natuna juga menyimpan beragam potensi hasil laut mulai dari cumi-cumi, lobster, kepiting hingga raungan.

Plt. Dirjen Pengelolan Ruang laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Aryo Hanggono mengungkapkan data bahwa potensi per tahunnya lobster ada 1.421 ton, kepiting 2.318 ton, rajungan 9.711 ton. Potensi jenis ikan juga sangat beraneka ragam salah satunya adalah ikan pelagis yang mencapai 327.976 ton/tahun dan ikan demersal yang mencapai 159.700 ton/tahun. Melihat kekayaan alamnya yang begitu banyak, pantas saja banyak kapal asing illegal yang mengintai Natuna. Hal ini disebabkan karena kurangnya penjagaan dan patroli ditambah lagi nelayan lokal jarang melaut di Natuna. Walaupun ada itu juga hanya nelayan yang menggunakan kapal kecil.

Lantas bagaimana sikap pemerintah Indonesia mengingat betapa arogansinya pemerintah China yang mengklaim perairan Natuna masuk wilayahnya. Seharusnya tegas dan harus mengerahkan kekuatan maksimal untuk mengusir china dari Natuna. Namun, sayangnya para pejabat terkait justru bersikap lemah. Misalnya, pernyataan Menteri Pertahanan Prabowo, “ Ya, saya kira kita harus selesaikan dengan baik. Bagaimanapun China adalah Negara sahabat.” (CNBC Indonesia, 3/1/2020). Juga pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, “ Sebenarnya enggak usah dibesar-besarin lah. Kalau soal kehadiran kapal itu, sebenarnya kan kita juga kekurangan kemampuan kapal untuk melakukan patrol di ZEE kita itu. Sekarang memang coast guard kita itu.” (Tempo.com, 5/1/2020).

Inilah jeratan sistem Kapitalis dimana segala sesuatu selalu disandarkan kepada kepentingan materi. Utang yang menumpuk menjadikan seakan Indonesia tidak mempunyai taring lagi sebagai “Macan Asia”. Penguasa seakan mendadak lemah menjaga kedaulatan batas wilayah akibat terjerumus dalam lingkaran nominal utang kepada china.Ironis nian, kemana perginya para pegiat NKRI harga mati yang seharusnya kini lantang berteriak ketika wilayah mereka dijarah asing.

Sudah saatnya kaum muslimin mempunyai seorang pemimpin sejati yang akan membela negeri sekaligus melindungi umat. Dan sebagai Negeri mayoritas muslim sudah sepantasnya menjadikan Islam sebagai satu-satunya sistem yang akan mengatur semua aspek kehidupan sehingga kehormatan dan kedaulatan negeri kita akan tetap terjaga. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *