JAMINAN HALAL HAK RAKYAT, JANGAN DIKOMERSIALISASI

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

JAMINAN HALAL HAK RAKYAT, JANGAN DIKOMERSIALISASI

Murni Supirman

(Aktivis Dakwah)

 

Masalah sertifikat halal kembali mencuat, keberadaan sertifikat halal menjadi hal yang wajib dimiliki oleh setiap pelaku bisnis baik UMK, UMKM, level industri besar. Dan yang terbaru sampai level PKL tak luput dari kewajiban ini. Batas waktu pembuatan sertifikat halal pun telah ditetapkan pemerintah sampai 17 Oktober 2024.

Sebenarnya isu ini sudah ada sejak awal tahun 2023 lalu sementara saat ini sudah memasuki tahun 2024, tahun yang menjadi batas bagi pelaku usaha yang telah ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Oleh sebab itu, upaya ini kembali digaungkan sebagai alarm bagi para pelaku usaha khususnya dibidang produk makanan dan minuman serta bahan baku. Jika tidak ada sampai batas yang telah ditetapkan, maka sanksi akan diberikan oleh BPJPH.

Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Muhammad Aqil Irham mengatakan bahwa semua produk makanan dan minuman yang diperdagangkan di Tanah Air wajib mengurus sertifikasi halal paling lambat 17 Oktober 2024.

Beliau juga mengatakan bahwa seluruh pedagang termasuk dari kalangan pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) wajib mengurus sertifikasi halal. Dan apabila kedapatan tak mempunyai sertifikat maka akan dikenakan sanksi.

Adapun Sanksi yang akan diberikan, kata Aqil, bisa berupa peringatan tertulis, denda administratif, sampai dilakukan penarikan barang dari peredaran. Dimana Sanksi itu diterapkan sesuai ketentuan yang ada di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

Hal tersebut berdasarkan regulasi Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), ada tiga kelompok produk yang harus sudah bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama pada Oktober mendatang.

“Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.” kata Kepala BPJPH Kemenag Muhammad Aqil Irham di Jakarta, dikutip Tirto, Jumat (2/2/2024).

“Ketiga kelompok produk tersebut harus sudah bersertifikat halal pada 17 Oktober 2024. Kalau belum bersertifikat dan beredar di masyarakat, akan ada sanksinya. Untuk itu kami imbau para pelaku usaha untuk segera mengurus sertifikat halal melalui BPJPH,” lanjut Aqil. (tirto.id)

Yang jelas pengurusan sertifikat halal ini berbiaya. Meski negara menyediakan 1 juta layanan sertifikasi halal gratis sejak januari 2023, jumlah ini lebih sedikit jika dibandingkan keberadaan PKL yang ada di Indonesia yang berkisar 22 juta di seluruh Indonesia bahkan bisa jadi semakin bertambah mengingat pada tahun 2013 saja Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKLI) telah melakukan pendataan seluruh pedagang kaki lima yang ada di Indonesia. Ketua umum APKLI Heri Juwono mengatakan ada sekitar 22 juta jumlah PKL.

“Perkiraan secara kasar jumlah PKL di Indonesia 22 juta orang tetapi kami akan memulai pendataan kembali meskipun kemungkinan jumlahnya tidak jauh dari angka itu. Pendataan ini supaya PKL dapat terkoordinasi dengan baik,” tutur Ketua Umum APKLI Heru Juwono dalam Munaslub APKLI, Minggu (5/5/2013). (BISNIS.COM)

Berarti nantinya ada sekitar 21 juta PKL yang tidak mendapatkan sertifikat halal secara gratis. Secara otomatis PKL yang tidak tercover akan dipaksa membuat sertifikat berbayar. Sekalipun ada yang gratis, sertifikasi ini juga ada masa berlakunya, sehingga perlu sertifikasi ulang secara berkala.

Seharusnya jaminan sertifikasi halal menjadi salah satu bentuk layananan negara kepada rakyatnya, karena peran negara adalah sebagai pengurus dan pelindung umat yang telah ditetapkan oleh syariat. Pun jaminan halal setiap produk sudah menjadi tugas negara dalam menjaganya. Namun dalam sistem kapitalisme, semua bisa dikomersialiasasi. Saat ini, sertifikasi halal justru dijadikan lahan basah berbagai komoditas untuk dikapitalisasi oleh negara dengan biaya yang telah ditentukan. Bahkan dalam pengurusannya diberlakukan syarat-syarat yang begitu banyak bahkan terkesan ribet dikarenakan banyaknya yang harus diurus. Keberadaan lembaga ini terkesan tidak serius dalam memberi solusi untuk masyarakat justru yang nampak negara hanya menjadi regulator atau fasilitatator saja.

Maka sangat jelas bahwa pemerintahan sekuler yang memberikan label halal sejatinya tidak didorong oleh keimanan kepada Allah swt, namum didasari oleh faktor ekonomi dan materialistik semata. Inilah wajah negara dengan sistem kapitalismenya yang menjadikan rakyat sasaran empuk pemalakan melalui berbagai cara.

Berbeda dengan sistem Islam. Islam menjadikan negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat, termasuk juga dalam melindungi akidah dan agama. Oleh karena itu negara harus hadir dalam memberikan Jaminan halal. Apalagi kehalalan produk berkaitan erat dengan kondisi manusia di dunia dan akhirat. Halal dan haram merupakan perkara yang penting terutama dalam hal makanan. Karena makanan yang dimakan seseorang akan mempengaruhi diterima atau tidaknya amal sholih seseorang. Untuk itu negara akan hadir mengedukasi pedagang dan setiap individu rakyat tentang pentingnya kehalalan ini.

Islam sebagai satu-satunya sistem yang mampu memenuhi hak kaum muslim dengan memberikan periayahan yang sempurna. Islam menjadikan agama sebagai landasan lahirnya berbagai aturan kehidupan termasuk aturan terkait jaminan produk halal sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah SWT.

Sebenarnya dalam sistem Islam sertifikat halal tidak dibutuhkan oleh negara sebab, negara hadir ditengah-tengah umat untuk menjamin kehalalan setiap produk makanan yang beredar dipasaran. Sementara hal yang diharamkan tidak akan diberi ruang untuk diperjualkan belikan di ranah publik. Sekalipun sertifikat halal harus ada, negara tentu akan menjamin pembiayaan sertifikasi halal dan melayani dengan kemudahan birokrasi secara cepat, mudah dan gratis. Artinya kehalalan semua produk yang dikonsumsi warga negara adalah sebuah komitmen yang dijamin oleh negara yang tidak bisa ditawar-tawar lagi apalagi harus dikomersialisasi.

Khalifah Umar Bin Khtatab pernah menulis surat kepada para wali yang memimpin daerah, untuk memerintahkan agar mereka membunuh babi dan membayar harganya dengan mengurangi pembayaran jizyah dari non muslim.

Ini dilakukan dalam rangka untuk melindungi umat dari mengkomsumsi dan memperjual belikan produk haram. Inilah gambaran sistem Islam dan penguasanya di masa ketika Islam masih berjaya dan berkuasa. Tentu hal ini dilakukan semata-mata karena didorong oleh keimanan dan ketaatan penguasa Islam saat itu kepada Allah Subhanahu Wa ta’ala.

Wallahu’alam Bish-shawwab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *