Islam, Solusi Tuntas Lepas dari Jerat Utang Ribawi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Islam, Solusi Tuntas Lepas dari Jerat Utang Ribawi

Irma Faryanti

Pegiat Literasi

 

Setiap orang pasti ingin hidup tenang tanpa utang. Ketika besarannya semakin menumpuk, tentu akan semakin membebani dalam proses pembayarannya. Namun tidak demikian yang terjadi di negeri ini, yang menganggapnya sebagai suatu kewajaran dan masih berada di batas aman.

Sebagaimana diungkap Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahwa utang pemerintah per 31 januari 2024 sebesar Rp8.253 triliun, masih dalam rasio aman, dengan alasan masih berada di bawah ambang 60% dari Produk Domestik Bruto. Di mana totalnya saat ini setara 38,75 persen dari PDB. Hal ini kontan mendapat tanggapan dari para ekonom. Salah satunya adalah Awalil Rizky dari Bright Institute. Ia menyatakan bahwa seharusnya hal itu tidak diartikan sebagai batas wajar, melainkan sebagai patokan yang tidak boleh dilampaui. (Bisnis.Tempo.Co, Jumat 1 Maret 2024)

Menurut Awalil, indikator risiko utang pemerintah tidak semata disandarkan pada PDB, tapi juga dari sisi pendapatan negara, rasio pembayaran bunga dan ditunaikannya beban utang. Ketiga hal inilah yang digunakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mereviu kondisi Indonesia pada tahun 2019-2020 lalu.

Setali tiga uang dengan Awalil, Bhima Yudhistira, salah seorang ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) mengatakan bahwa pemerintah tidak seharusnya terjebak dengan rasio di bawah 60 persen, karena likuiditas domestik faktanya semakin tergerus karena tersedot utang. Terlebih saat ini penguasa berencana menaikkan defisit APBN 2025 berada pada rentang 2,45-2,8 persen dari PDB. Padahal pendapatan dari pajak dan PNBP tahun ini lebih rendah, terlebih belanja negara untuk proyek infrastruktur sangat agresif.

Bhima juga mengatakan, jika utang pemerintah ditanggung oleh setiap warga negara, setiap orang akan terbebani Rp30,5 juta bahkan berpeluang meningkat menjadi Rp40 juta. Karena postur belanja akan lebih ekspansif dalam beberapa tahun ke depan.

Menanggapi ragam pendapat, Kemenkeu menyatakan bahwa pemerintah senantiasa mengelola utang secara cermat dan terukur dengan memperhatikan komposisi mata uang, suku bunga maupun jatuh tempo yang optimal. Rasio juga dinilai lebih baik dari yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang jangka menengah tahun 2024-2027 di kisaran 40 persen.

Adapun utang pemerintah pada Januari 2024 didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 88,19% (Rp7.278.03 triliun), yang rinciannya: domestik (Rp5.873,38) ataupun valas (Rp1.404,65 triliun). Sementara sisanya adalah pinjaman yang mencakup 11,81 persen (Rp975,06 triliun), terdiri dari pinjaman dalam negeri (Rp 36,23 triliun) dan luar negeri (Rp938,83 triliun).

Namun sayang, besarnya nilai utang nyatanya tidak berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini menunjukan buruknya pengelolaan anggaran negara. Hal tersebut jelas berbahaya, karena otomatis negeri ini harus membayar bunga yang lebih banyak. Tahun 2023, rata-rata suku bunga obligasi pemerintah berada di kisaran 6-7%, jauh lebih tinggi dari Malaysia, Thailand dan Singapura yang ada di bawah 5%.

Resikonya, ketika pemerintah tidak mampu menarik pendapatan lebih besar, anggaran untuk belanja-belanja produktif seperti: pembangunan infrastruktur dasar, membangun jalan untuk pemerintah pusat, daerah dan provinsi, juga pembuatan irigasi, bendungan, jalur kereta api dan lain sebagainya akan semakin terbatas, karena umumnya anggaran digunakan untuk membayar utang.

Bahaya lainnya adalah jika rupiah melemah, otomatis suku bunga pembayaran akan semakin tinggi. Di mana sebagian besar utang negara berbentuk floating rate (suku bunganya mengikuti pasaran). Jadi ketika terjadi gejolak di pasar dunia, maka pembayarannya akan semakin mahal. Jika peminjaman ini tidak dihentikan, negeri ini akan terancam bangkrut. Sebagaimana yang terjadi di negara Amerika Latin yang tidak mampu membayar ketika jatuh tempo.

Inilah yang terjadi ketika berpijak pada perekonomian ribawi. Di mana dalam sistem ini, utang merupakan sesuatu yang legal. Bahkan jika dilihat dalam UU APBN keberadaannya diperbolehkan selama tidak melampaui 60% dari GDP. Maka tidak heran jika penguasa tanpa merasa bersalah terus berhutang, padahal rakyat lah yang harus menerima dampaknya.

Untuk bisa keluar dari jeratan utang, perlu dilakukan perubahan paradigma untuk menghentikan dan melarangnya. Dalam Islam negara tidak boleh mengadopsi kebijakan pembiayaan APBN melalui sistem ribawi karena secara tegas syariat mengharamkannya. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS al Imran ayat 130 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang kafir,”

Di dalam Islam tidak dikenal istilah defisit anggaran yang membuat negara harus berutang, karena prioritas pembelanjaan akan disesuaikan dengan pendapatan. Selain riba, utang juga dianggap berbahaya ketika dilakukan pada negara-negara lain yang memberi syarat-syarat yang merugikan dan berpotensi membahayakan kedaulatan dan membuat negara terjajah secara ekonomi.

Dalam sebuah sistem Islam, pembelanjaan negara akan diprioritaskan untuk hal yang dibutuhkan saja, seperti: pembayaran gaji pegawai, tentara, penyediaan fasilitas umum, jihad fi Sabilillah, untuk bencana alam dan lain sebagainya. Pun jika ditujukan untuk pembangunan infrastruktur, akan difokuskan pada yang benar-benar dibutuhkan bukan yang bersifat sekunder maupun tersier.

Adapun sumber pendapatannya diperoleh dari kharaj, fa’i, jizyah dan zakat. Dan yang terbesar akan diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam dan kepemilikan umum, yang nantinya akan menjadi pemasukan untuk memenuhi kebutuhan pembelanjaan dan pembangunan negara tanpa harus berutang.

Tentu saja semua itu hanya akan bisa terwujud, saat Islam dijadikan sebagai sistem hidup di bawah naungan kepemimpinan. Yang dengannya kesejahteraan umat akan terwujud dan mampu mandiri dan maju secara ekonomi tanpa terjerat utang ribawi.

Wallahu alam Bish-shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *