Oleh: Ummul Asminingrum
Beberapa pekan yang lalu tepatnya hari Rabu tanggal 29 Januari 2020. Perusakan terhadap rumah ibadah kembali terjadi. Masjid Al Hidayah di Perum Agape Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Sulut) dirusak oleh 50 orang dari Waraney dari desa Tumaluntung, Minahasa. Aksi perusakan terjadi gara-gara terganggu denggan suara bising toa. Pagar masjid dirobohkan, bangunan dalam pun dihancurkan.
Miris sekali melihat apa yang terjadi. Bagaimana bisa ini terjadi di negeri yang menjunjung tinggi toleransi. Bukankah dalam sistem demokrasi yang diadopsi negeri ini kebebasan menjalankan keyakinan dilindungi dan menjadi hak asasi.
Memang lucu negeri ini. Ketika Islam menjadi korban, suara kecaman dari para tokoh Hak Asasi Manusia (HAM) sama sekali tak terdengar. Tetapi jika yang terjadi perusakan rumah ibadah nonmuslim dan aliran kepercayaan, mereka mati-matian memperjuangkan. Hingga tuduhan tak berdasar tak jarang menyasar pada beberapa gerakan Islam yang mereka anggap pelaku intoleran.
Mari kita bandingkan dengan negara Islam. Membicarakan sejarah keagungan sistem Islam memang tidak akan habis diceritakan. Begitulah Islam, akan nampak kemuliannya apabila diterapkan dalam negara. Keberkahan Islam akan dirasa oleh semesta. Tak ada diskriminasi atau intoleransi, semua akan terlindungi.
Jauh sebelum PBB merumuskan “Declaration of Human Right atau (HAM). Islam telah memberikan contoh dan mempraktikkan jaminan kebebasan beragama bagi umat manusia. Sejak berdirinya negara Islam pertama di Madinah, Rasulullah Saw mengakui eksistensi non muslim dan menghormati peribadatan mereka.
Seperti yang diketahui bahwa di Madinah hidup tiga komunitas agama yang berbeda. Ada Islam dari kalangan Anshar dan Muhajirin, Orang-orang Musyrik dan Yahudi. Piagam Madinah yang dirumuskan Rasulullah Saw merupakan bukti nyata prinsip kebebasan beragama yang dipraktikkan umat Islam.
Diantara butir-butir toleransi itu adalah sikap saling menghormati diantara agama yang ada. Tidak saling menyakiti dan saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah. Melalui Piagam Madinah itu, Rasulullah Saw selaku kepala negara menunjukkan betapa beliau sangat menghormati agama lain.
Sebagai contoh pada masa itu, ada rombongan Yahudi yang sedang mengusung jenazah dan melewati beliau. Seketika itu beliau berdiri sebagai penghormatan. Apa yang dilakukan Rasulullah Saw menuai protes dari sahabat, “Wahai Rasulullah bukankah dia seorang Yahudi ?”
Rasulullah menjawab, “bukankah dia manusia ?”
Dilain kesempatan ketika Rasulullah ditanya oleh para sahabat mengenai bantuan materi kepada non muslim, Rasulullah membolehkan karena orang Yahudi juga termasuk makhluk Allah Swt .
Ini bukan berarti toleransi yang dilakukan Rasulullah adalah membenarkan agama dan kepercayaan orang Yahudi. Sikap toleransi, harmonis, tolong menolong dan kerjasama hanya dalam perkara muamalah keduniaan tidak ada hubungan dengan akidah dan ibadah.
Toleransi Masa Khulafaur Rasyidin.
Saat para sahabat mendapat amanah menjabat sebagai khalifah pengganti Rasulullah, sikap toleransi juga dicontohkan oleh mereka. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. beliau berhasil membebaskan Baitul Maqdis (Yerussalem) Palestina. Saat itu khalifah Umar menandatangani perjanjian damai dengan Pendeta Sofranius, dia adalah pemimpin umat Nasrani di Yerussalem.
Isi perjanjian itu adalah kebebasan bagi non muslim untuk menjalankan agama dan keyakinan mereka. Khalifah Umar tidak memaksa mereka untuk memeluk Islam dan menghalangi peribadatan mereka.
Pada saat kekuasaan Islam sampai ke wilayah Kisra Persia, Khalifah Umar memperlakukan orang-orang Majusi dengan baik bahkan memuliakan putri-putri Kisra dengan menikahkan mereka dengan putra terbaik dari kalangan sahabat seperti Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Juga mengangkat gubernur orang Persia yakni sahabat Salman al-Farisi.
Toleransi Masa Khilafah Umayah
Pada masa pemerintahan Khilafah Umayah di Damaskus, Suriah, pasca perang Qurbush pada 655 M kaum Muslim memasuki Kepulauan Cyprus dan memperlakukan penduduknya dengan baik. Ketika memasuki Kepulauan Sardinia dan Sicilia di Italia Selatan, pasukan Islam juga tidak memaksa penduduknya masuk Islam. Penduduknya yang mayoritas non muslim dibebaskan menjalankan berbagai ritual keagamaan mereka.
Saat pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz ketika itu tak seorangpun yang berhak menerima zakat. Harta yang luar biasa banyak terkumpul di Baitul Mal digunakan sang khalifah untuk membebaskan perbudakan di benua Eropa dan Amerika.
Saat Islam berkuasa di Semenajung Iberia Andalusia, khalifah Abdurrahman ad-Dhakhil tetap menjunjung tinggi toleransi terhadap penduduk asli baik Khatolik, Yahudi, maupun Paganis. Beliau membangun banyak Madrasah yang diperuntukkan bagi semua rakyatnya baik Muslim maupun non Muslim.
Toleransi Masa Khilafah Abbasiyah
Pada masa khilafah Abbasiyah kekuasaan Islam sudah meliputi tiga benua. Aliran kepercayaan seperti animisme dan dinamisme pun banyak dijumpai di pedalaman Afrika. Begitu pula kaum Musryik di Asia Utara dan Asia Tengah tetap mendapat perlakuan baik dari pemerintah Islam.
Toleransi umat Islam ini juga terlihat di wilayah Hindustan, India. Saat Kesultanan Moghulistan di Agra, India Utara para Sulthan memperlakukan mayoritas rakyatnya yang beragama Hindu dengan baik. Pada masa pemerintahan Suthan Humayun Khan dan anaknya Jalaluddin Muhammad Akbar, beliau mengangkat salah seorang permaisuri Kesultanan bernama Jodha salah seorang putri Rajput. Hingga kerajaan Hindu Rajput sepenuhnya tunduk pada kekuasaan Islam Mughal.
Toleransi Masa Khilafah Utsmaniyah
Pada tahun 1453 Sulthan Muhammad al-Fatih berhasil menakhlukan Konstatinopel yang merupakan pusat Kristen Ortodox dunia. Sejak saat itu kekuasaan Utsmani terus berkembang masuk ke Eropa raya hingga populasi non muslim yang menjadi warga khilafah pun semakin banyak. Pada tahun 1530 jumlah non muslim di Eropa mencapai 80%. Untuk menghadapi hal ini Sulthan membuat sistem millet.
Kata millet berasal dari bahasa Arab millah yang berarti “jalan hidup” atau “keyakinan”. Sistem ini mengindikasikan bahwa khilafah Utsmani menjadi pelindung bagi multibangsa. Dalam sistem ini setiap kelompok memiliki komunitas dari millet mereka sendiri, seperti millet Kristen Ortodox, millet Yahudi dan lain sebagainya.
Setiap millet tersebut diperkenankan untuk memilih pemimpinnya sendiri. Para pemimpin itu diizinkan memberlakukan hukuman agama kepada para kelompoknya. Disamping hukum-hukum agama millet-millet tersebut juga dibebaskan menggunakan bahasa mereka sendiri.
Syariat Islam baru akan diterapkan apabila terjadi kasus antar millet yang berbeda. Dan khilafah Utsmani hanya melakukan kontrol atas millet melalui para pemimpin mereka.
Demikianlah bila syariah Islam diterapkan dalam naungan negara khilafah. Semua manusia akan dilindungi dan dijamin oleh negara. Karena fungsi negara dalam Islam sebagai penjaga. Dan pemimpin sebagai pelayan urusan rakyatnya. Insyallah akan terwujud kedamain dan toleransi hakiki.
Wallahu’alam bishawab.