Indonesia Doyan Ngutang?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Siti Hajar, M.Sos (Aktivis Dakwah dan Fasilitator Tahfidz)

Sebelumnya, diberitakan VIVAnews Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah telah menarik utang untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Mei 2020 sebesar Rp356,1 triliun.

Realisasi itu baru mencapai 41,7 persen dari target pembiayaan 2020 sebesar Rp852,9 triliun. Namun, kenaikannya sangat pesat, yakni mencapai 122,6 persen dari catatan pada Mei 2019 yang hanya mencapai Rp159,9 triliun.
“Ini terjadi kenaikan 122,6 persen dibanding tahun lalu,” kata Sri saat konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta Mei 2020, Selasa, 16 Mei 2020.

Meningkatnya pembiayaan APBN itu, kata dia, dikarenakan defisit APBN Mei 2020 yang mencapai Rp179,6 triliun atau mencapai 1,10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit itu naik 42,8 persen dari catatan Mei 2019 sebesar Rp125,8 triliun.

Padahal April lalu defisit APBN sudah dinaikkan menjadi 5,07% terhadap PDB, mengikuti Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020. Pepres diteken setelah penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Isinya memberikan keleluasaan pada pemerintah untuk mencapai defisit anggaran di atas 3% terhadap PDB. Kurang dari dua bulan, proyeksi defisit kembali dinaikkan.

Dalam outlook terbaru, pendapatan negara diprediksi hanya Rp1.691,6 triliun. Sementara belanja negara melonjak menjadi Rp2.720,1 triliun. Akibatnya, kebutuhan pembiayaan netto naik menjadi Rp1.206,9 triliun, untuk menutup defisit dan pembiayaan investasi. Dampaknya, total utang pemerintah pada 2020 berpotensi menembus Rp6.000 triliun (katadata, 1/6/2020).

Sudah tidak mengherankan lagi, negeri kita tercinta Indonesia doyan ngutang dan ini membuktikan bahwa Indonesia makin ambruk. Bayangkan situasi ekonominya jika Pemerintah gagal bayar utang, jika BUMN bank dan nonbank gagal bayar utang, jika asuransi dan dana pensiun gagal bayar. Jika terjadi gagal bayar, maka aset BUMN akan dijual ke Taipan swasta dan asing. Dan bisnis BUMN bisa diambil Taipan. Jadi siapa yang harus disalahkan dalam situasi seperti ini? Ini tidak lain adalah akibat dari penerapan sistem kapitalisme.

Kapitalisme, Sistem Doyan Ngutang
Bahaya utang sudah jamak diketahui, termasuk oleh ahli ekonomi kapitalisme. “Amati terus utang karena utang adalah sumber penyakit.” Demikian ucap mantan Wapres Boediono dalam Seminar Nasional Tantangan Pengelolaan APBN dari Masa ke Masa di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/11/2016).

Namun dalam kapitalisme, utang adalah instrumen penting untuk menambal defisit anggaran. Utang diperbolehkan asal tidak melampaui batas aman.

Namun ternyata batas aman utang tersebut bisa diubah oleh Pemerintah, seperti yang terjadi saat ini. Sejak sebelum pandemi Covid-19, ekonomi Indonesia sudah dipastikan sedang lesu. Namun pandemi membuat defisit makin lebar karena penerimaan negara anjlok, sementara kebutuhan anggaran melonjak.

Defisit anggaran merupakan problem universal. Bisa terjadi di negara mana pun tanpa melihat ideologinya apakah kapitalisme, sosialisme ataukah Islam. Yang berbeda adalah faktor-faktor penyebabnya dan solusi untuk mengatasinya. Untuk mengatasi defisit anggaran, cara kapitalisme adalah meningkatkan pajak, berutang dan kadang dengan mencetak mata uang. Masing-masing pilihan tersebut berisiko besar terhadap APBN.

Kapitalisme seperti terjebak jalan buntu. Jika berutang, defisit makin lebar. Jika tidak berutang, opsi lain seperti pencetakan mata uang justru risikonya lebih besar. Jadi mau tak mau Jalan keluarnya adalah ngutang. Lantas bagaimana cara mengatasinya?

Islam Mengatasi Defisit Anggaran

Sistem ekonomi Islam tidak akan mengalami jalan buntu seperti kapitalisme. Jika mengalami defisit anggaran, khilafah akan menyelesaikannya dengan 3 (tiga) strategi yakni:

Pertama, meningkatkan pendapatan. Ada 4 (empat) cara yang dapat ditempuh:

(1) Mengelola harta milik negara. Misalnya saja menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Tanah Khaibar, Fadak, dan Wadil Qura. Khalifah boleh juga mengelola tanah pertanian milik negara, dengan membayar buruh tani yang akan mengelola tanah pertanian tersebut. Semua dana yang yang diperoleh dari pengelolaan harta milik negara di atas akan dapat menambah pendapatan negara. Namun harus diingat, ketika negara berbisnis harus tetap menonjolkan misi utamanya melaksanakan kewajiban riayatus-syuun.

(2) Melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Yang dimaksud hima adalah pengkhususan oleh Khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus, dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya. Misalkan saja Khalifah melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus, misalnya pembiayaan pandemi Covid-19. Rasulullah saw. pernah menghima satu padang gembalaan di Madinah yang dinamakan An-Naqi, khusus untuk menggembalakan kuda kaum Muslim.

(3) Menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariah. Pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat.

(4) Mengoptimalkan pemungutan pendapatan. Kedua, menghemat pengeluaran. Cara kedua untuk mengatasi defisit anggaran adalah dengan menghemat pengeluaran, khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak.

Ketiga, berutang (istiqradh). Khalifah secara syari boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat hukum-huk4um syariah. Haram hukumnya Khalifah mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat dan Cina, atau dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Alasan keharamannya ada 2 (dua): utang tersebut pasti mengandung riba dan pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang.

Khalifah hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya (dharar) jika dana di baitulmal tidak segera tersedia. Kondisi ini terbatas untuk 3 (tiga) pengeluaran saja, yaitu: (1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah; (2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll; (3) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll.

Pada tiga macam pengeluaran ini, jika dana tidak cukup di baitulmal, pada awalnya Khalifah boleh memungut pajak. Jika kondisi memburuk dan dikhawatirkan dapat muncul bahaya (dharar), khalifah boleh berutang. Demikianlah perbedaan yang jelas antara kapitalisme dan Islam. Dalam mengatasi defisit anggaran, kapitalisme mentok pada solusi utang. Sedangkan Islam memberi solusi yang menyelesaikan masalah. Bagaimana menurut Anda?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *