Indonesia Bebas Korupsi, Bisakah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Indonesia Bebas Korupsi, Bisakah?

Nurussilmi AF

Kontributor Suara Inqilabi

 

Korupsi di negeri ini seakan tak bisa berhenti, bahkan semakin menjadi-jadi. Terbaru, Ketua KPK Firli Bahuri kembali dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas), Senin (10/4/2023), oleh gabungan masyarakat sipil yang terdiri dari pegiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Public Virtue Research Institute, terkait dugaan pelanggaran etik. Kasus terakhir yang menyeret nama Firli ini terkait dugaan keterlibatannya dalam kebocoran dokumen hasil penyelidikan kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Sebelumnya, Firli dilaporkan ke Dewas terkait kasus pengembalian mantan Direktur Penyelidikan KPK Brigadir Jenderal (Pol) Endar Priantoro ke Polri. (Kompas 15/4)

Dalam waktu delapan hari, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menggelar operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak tiga kali. Puluhan orang ditangkap. Ketiga OTT itu meringkus Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil, sejumlah pejabat Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kemenhub, dan terakhir Wali Kota Bandung Yana Mulyana. (nasional.kompas.com 15/4/2023)

Korupsi Merusak Tatanan Negara,

Kasus yang terjadi menjadikan daftar korupsi semakin panjang. Hampir di semua lini bisa kita temukan praktek korupsi. Hingga beberapa waktu yang lalu Mahfud MD pernah membuat pernyataan, “Menoleh ke mana saja ada korupsi,” menunjukkan bagaimana korupsi semakin menggila dan menjadi budaya di berbagai lembaga, terutama lembaga pemerintahan. Bahkan di badan lembaga pemberantasan korupsi sendiri, KPK. Budaya korupsi ini muncul bisa jadi karena banyak faktor, diantaranya :

Pertama, high cost politic. Partisipasi politik dalam sistem demokrasi tidak murah. Masuk menjadi kontestan pemilu apapun, baik menjadi kepala negara, kepala daerah, atau anggota legislatif, membutuhkan biaya tinggi. Semakin tinggi jabatan, semakin besar modalnya. Maka tak heran, saat jabatan sudah di tangan, cara tercepat balik modal adalah dengan korupsi. Semakin besar modal, sebanding dengan besarnya potensi korupsi.

Kedua, gaya hidup konsumtif dan hedonis pejabat dan keluarganya. Viralnya berita flexing adalah indikasi gaya hidup kapitalistik yang membudaya di kalangan keluarga pejabat. Seakan jika belum hidup wah, belum layak disebut keluarga pejabat.

Apakah tak ada pejabat yang hidupnya sederhana? Hampir dipastikan nihil!
Kasus transaksi janggal kemenkeu senilai Rp 349T juga dibongkar setelah mantan pejabat kemenkeu Rafael Alun menjadi tersangka gratifikasi akibat gaya hidup mewah yang dipertontonkan anak istrinya di media sosial.

Ketiga, langkanya sifat amanah dan kejujuran. Sekularisme memisahkan antara keimanan dan kehidupan. Iman dan takwa tak bisa menjadi perisai diri di tengah gempuran tawaran duniawi, karena itulah mereka mudah terjebak dalam arus yang salah.

Bahkan, sekularisme sistemik ini memisahkan agama (islam) dalam pengaturan kehidupan. Dan saat menjadi sebuah sistem, seorang yang memiliki iman pun, bisa terseret dalam lingkaran setan demokrasi. Mahfud MD pernah mengatakan,

“Malaikat masuk sistem ini pun bisa menjadi iblis.”

Hal ini untuk mengungkap buruknya transaksional dalam kehidupan saat ini, terutama dalam kehidupan berpolitik dan bernegara. Politisi butuh modal, kapitalis memuluskannya, dan akhirnya uang dan keuntungan yang menjadi pondasi semua transaksi dan kebijakan yang dibuat.

 

Memberantas Tuntas Korupsi

Islam sebagai sistem hidup, telah Allah turunkan dengan aturan yang paripurna. Islam punya aturan sebagai langkah preventif dan kuratif dalam mengatasi kasus korupsi.

Langkah preventifnya adalah sebagai berikut:
Pertama, pendidikan berbasis akidah islam yang kuat di berbagai jenjang. Outputnya adalah generasi bertakwa, yang mencegahnya dari perbuatan keji dan maksiat, termasuk suap dan korupsi.

Kedua, membentuk budaya amar ma’ruf nahi mungkar, dengan menerapkan sistem berdasar syariat islam secara kaffah. Adanya budaya amar ma’ruf nahi mungkar, membuat masyarakat terbiasa waspada dengan adanya tindakan pelanggaran, termasuk kriminalitas dan korupsi.

Ketiga, secara berkala mengaudit kekayaan pejabat. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi

Keempat, membentuk sistem kerja yang tidak rentan korupsi.

Untuk aspek kuratif, ada sanksi dalam hukum islam jika ternyata korupsi masih terjadi. Pelaku korupsi dan suap akan diberikan hukuman takzir. Hukuman ini ditentukan berdasar ijtihad khalifah, yang hukuman tertingginya adalah hukuman mati.

Selain itu, pelaku korupsi akan diberikan sanksi sosial berupa publisitas atas tindakan korupsinya. Sanksi finansial juga tak lepas dari pelaku korupsi. Penyitaan harta yang diduga hasil korupsi akan dilakukan semuanya. Dengan sanksi tegas ini, orang akan berpikir seribu kali untuk korupsi.

Demikianlah tahapan islam memberantas tuntas perkara korupsi. Dengan penerapan islam secara kaffah, hilangnya korupsi di negeri ini tak hanya sekedar mimpi.

 

Wallahu’alam bishshawaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *