ILUSI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM SISTEM DEMOKRASI

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

ILUSI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM SISTEM DEMOKRASI

Oleh Endah Yuli Wulandari

(Kelompok Penulis Peduli Umat)

 

Kasus korupsi di jajaran kementrian negara ini Kembali mecuat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi mengumumkan mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) sebagai tersangka dugaan pemerasan dalam jabatan. Selain dugaan pemerasan dalam jabatan, KPK juga menjerat Syahrul bersama dua anak buahnya dengan dugaan penerimaan gratifikasi. Adapun dua anak buah Syahrul itu adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Sekjen Kementan) Kasdi Subagyono (KS) dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Kementan Muhammad Hatta (MH) sebagai tersangka dalam kasus tersebut. (Kompas.com, 11/10/2023)

Di saat yang bersamaan pula mencuat kabar bahwa pimpinan KPK Firli Bahuri melakukan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo (SYL) untuk meredam penanganan kasus korupsi. Kabar ini muncul setelah beredar foto pertemuan ketua KPK Firli Bahuri dengan Syahrul Yasin Limpo di GOR Tangki Jakarta. Meski kabar ini kemudian dibantah oleh Firli.

Adanya dugaan korupsi di jajaran kementrian ini semakin menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini hanya sekedar ilusi. Upaya pembentukan KPK pun tak berdaya mengatasi laju korupsi yang semakin menjadi. Apalagi dengan adanya berbagai pelanggaran yang terjadi di lembaga anti suap ini..Tuntasnya kasus korupsi bak ‘jauh panggang dari api’.

Korupsi merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalisme sekuler. Politik yang diatur oleh sistem ini adalah politik transaksional berbasis modal. Kekuasaan hanya bisa diraih oleh mereka yang bermodal besar. Modal ini digunakan untuk membeli kursi, melakukan kampanye dan sejenisnya. Wajar jika pejabat dipilih bukan karena profesionalitas dan integritas, namun karena besarnya modal yang mereka keluarkan. Ujung-ujungnya kekuasaan hanya digunakan untuk jalan meraup uang dan keuntungan. Inilah celah yang menjadikan korupsi menjadi penyakit kronis dalam sistem pemerintahan saat ini.

Sejatinya, satu-satunya sistem yang bisa memberikan penyelesaian korupsi hanyalah sistem islam. Islam akan menyelesaikan persoalan korupsi secara paradigma dan secara teknis. Bukan secara pragmatis sebagaimana dalam sistem saat ini, yang hanya mencukupkan dengan sangsi penjara dan membayar denda.

Secara paradigmatik, islam mensyariatkan bahwa kekuasaan dan kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Sehingga kepemimpinan bukan hal ringan dalam islam. Orang yang mengembannya haruslah orang yang amanah dan bertanggungjawab. Paradigma ini akan menjadi ‘self control’ ketika seseorang diberi amanah kepemimpinan. Ketika dia mengembannya dia akan berhati-hati dan berupaya seoptimal mungkin dalam amanahnya.

Adapun secara teknis, islam mengatur kebijakan sebagai berikut : Pertama, pemerintahan digunakan sebagai menjalankan pemerintahan sesuai al qur’an dan as sunnah. Maka para pejabat negara yang dipilih haruslah menerapkan dan menjalankan syariat islam. Jika mereka terbukti melanggar syariah, seperti tidak me’riayah’ umat dengan baik, berkhianat, melakukan kecurangan atau menyalahgunakan kekuasaannya, khalifah dapat serta merta mencopotnya.

Kedua, indikator seseorang dianggap layak untuk menjadi pejabat negara selain professional juga harus bertaqwa dan zuhud. Ketaqwaan akan menjadi kontrol awal dari dalam diri seseorang agar tidak melakukan kemaksiatan dan perbuatan tercela. Sedangkan zuhud akan menjadikan seorang yang diamanahi sebagai pejabat memandanng rendah dunia dan merasa cukup dengan pemberian Allah kepadanya. Kekuasaan yang diberikan kepadanya hanyalah sarana untuk mewujudkan izuul islam wal muslimin.

Ketiga, penerapan paradigma politik yang shahih. Yakni riayyah syar’iyyah, maknanya bahwa mengemban amanah negara adalah mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariah. Politik islam ini akan menutup celah agar kekuasaan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan oligarki, para elite dan pemilik modal.

Keempat, tunjangan pejabat yang sesuai dengan kelayakan di wilayah tempat dia bekerja.tunjangan ini diberikan agar pejabat negara fokus mengurus rakyat. Bukan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan lainnya. Terlebih lagi karena keluarganya sudah hidup layak dengan tunjangan negara yang diterima.

Kelima, jika ditemukan kejanggalan terkait harta pejabat, maka khalifah melakukan metode pembuktian terbalik kepada pejabat tersebut. Yakni penghitungan kekayaan di awal dan akhir masa jabatan. Jika selisih yang didapat tidak wajar dan pejabat tidak bisa menjelaskan sumber kekayaannya, maka harta kelebihan tersebut dikategorikan sebagai harta ‘ghulul’ atau harta curang dan wajib diserahkan ke Baitul maal.

Sistem pembuktian terbalik ini terbukti sangat efektif dan efisien untuk membuktikan kejahatan tindak korupsi. Pejabat yang terbukti melakukan korupsi akan dihukum takzir karena melakukan pengkhianatan. Semua konsep islam ini akan menjadi solusi tuntas untuk menangani kasus kejahatan korupsi. Hanya saja pelaksanaannya membutuhkan sebuah institusi negara bernama Daulah Khilafah Islamiyah. Yakni negara yang menjalankan sisten dan syariah islam secara kaffah.

Wallau ‘alam bishshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *