Ide Dua Negara bukan Solusi Palestina

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ong Hwei Fang (Team Analisis Linimasa)

 

Tanggal 29 November 2020, sekjen PBB Antonio Guterres mengingatkan kembali permasalahan Palestina. Iya mendorong agar masyarakat dunia memperbaharui komitmen terhadap Palestina dalam memperjuangkan hak-hak kemerdekaannya. Guterres menegaskan hal tersebut di laman resmi PBB, bertepatan dengan peringatan Hari solidaritas nasional untuk rakyat Palestina yang jatuh setiap tanggal 29 November.

Guterres terus mendesak para pemimpin Palestina dan Israel agar membuka ruang yang memungkinkan untuk membuka harapan dan tercapainya solusi dua negara. Sebagaimana diketahui, kondisi di Palestina saat ini kian terhimpit. Semakin luas pemukiman ilegal Israel, meningkatnya penghancuran rumah dan bangunan milik warga Palestina, serta berlanjutnya kekerasan dan aktivitas kelompok militan inilah yang mendasari Guterres bersuara. Sebab, jamak diketahui bahwa selama ini perundingan damai dua belah pihak berjalan alot dan terhenti.

Apalagi, setelah Amerika Serikat di bawah presiden Donald Trump menempuh serangkaian kebijakan yang menguntungkan Israel termasuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Cara memindahkan Kedubes Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem. AS pun memberikan keleluasaan bagi Israel untuk memperluas pemukiman ilegal. Tak hanya itu, Trump telah mendorong sejumlah negara Arab menormalisasi hubungan dengan Israel. Sejumlah negara yang sudah menormalisasi hubungan dengan Israel diantaranya Uni Emirat Arab dan Bahrain.

Bahkan terakhir, kabar berhembus putra mahkota Arab Saudi pangeran Muhammad bin Salman bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dalam pertemuan resmi dengan Menlu AS Mike Pompeo. Meski begitu, Saudi membantah kabar ini. Dengan terpilihnya Joe Biden sebagai presiden mengalahkan Trump dalam pemilu presiden baru-baru ini, (meski Amerika Serikat akan tetap setia pada Israel), namun menumbuhkan harapan ada perubahan kebijakan terkait isu Palestina ini.

Jika merujuk pada pemerintahan Barack Obama, dari Demokrat, meski AS tetap mendukung Israel, Obama memiliki keberanian mengkritisi kebijakan Israelnya. Misalnya, soal perluasan pemukiman ilegal Yahudi yang pernah ditentang Obama. Pada 18 November 2009 misalnya, Presiden Obama mengkritik rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membangun 900 rumah baru bagi pemukim Yahudi di Gilo, dekat Yerusalem. Ia menyatakan, langkah ini sangat berbahaya. Sebab, rencana pembangunan itu akan membuat Palestina marah dan mengganggu prospek perdamaian. Biden yang juga  Demokrat, diharapkan mampu memiliki kritikan seperti Obama terkait upaya perdamaian perdamaian Palestina-Israel.

Di sisi lain, dunia Islam juga tentu dituntut tetap berkomitmen mendukung Palestina meraih hak-haknya termasuk kemerdekaan dan hak atas tanah mereka serta berharap bahwa negara-negara muslim konsisten mendukung. Palestina menganggap normalisasi hubungan dengan Israel yang ditempuh negara-negara muslim belum lama ini melukai mereka. Meski demikian, negara-negara muslim berdalih bahwa dengan hubungan inilah mereka bisa menekan Israel untuk mau berdamai dan mengembalikan hak Palestina.

Indonesia sendiri sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim turut memiliki tanggung jawab moral agar terus membantu perjuangan Palestina mencapai kemerdekaannya serta meringankan nestapa rakyat Palestina baik di tepi barat, Yerusalem, maupun jalur Gaza. Agaknya, pernyataan Guterres agar terus memperbarui komitmen atas rakyat Palestina benar adanya. Sebab, harus diakui upaya mengantarkan Palestina meraih kembali hak-haknya perlu perjuangan keras dan jalan panjang yang tidak mudah.

Namun, berpuluh tahun rencana demi rencana, Palestina tak kunjung memperoleh kemerdekaannya. Apa gerangan yang salah?

Perlu ditegaskan, dukungan yang diberikan oleh negara-negara PBB selama ini tidak cukup. Bahkan jauh dari upaya sungguh-sungguh untuk menyelesaikan masalah Palestina. Sebab masalah Palestina bukanlah masalah pertanian, bukan pula keuangan mikro atau pemerintahan yang bersih. Namun masalah Palestina adalah keberadaan penjajah Yahudi di bumi yang diberkati itu. Sekali lagi, masalah Palestina adalah masalah penjajahan entitas Yahudi.

Segala bentuk solusi yang tidak mengarah kepada penghilangan penjajahan ini tidak akan menyelesaikan konflik Palestina. Termasuk mempersembahkan kemerdekaan kepada Palestina dalam konteks “solusi dua negara” yang diadopsi Indonesia. Solusi ini justru merupakan pembenaran terhadap keberadaan penjajah yang Yahudi ilegal.

Bantuan kesehatan hanya perawatan, setelah itu penjajah, Yahudi – kalau tidak ada yang mencegah-, kembali membombardir, membunuh, dan melukai umat Islam. Bantuan pembangunan atau ekonomi pun tidak begitu berarti, berwujud tentara yang menyerang, sekolah-perumahan, dan pemukiman penduduk tidak berubah. Dibangun, dilarang, dihancurkan lagi. Begitulah terjadi secara berulang.

Keterlibatan Indonesia dalam proses perdamaian melalui PBB, Amerika Serikat, atau negara-negara Eropa, tidak akan menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Pasalnya, segala bentuk proses perdamaian ala Barat, tetap dalam kerangka mempertahankan penjajah Yahudi. Padahal penjajah inilah yang menjadi masalahnya. Proses perdamaian hanyalah membuang waktu dan menyakiti rakyat Palestina.

Untuk melawan penjajahan yang didukung oleh PBB dan negara-negara Barat ini, tidak ada jalan lain kecuali jalan perang ( jihad fi sabilillah ). Karena itu yang dibutuhkan adalah pengiriman tentara-tentara negeri-negeri Islam termasuk Indonesia untuk berperang mengusir penjajah Yahudi. Semua ini hampir mustahil kecuali ditengah-tengah umat Islam ada Khilafah. Negara inilah yang akan menggerakkan tentara-tentara umat Islam untuk mengubah penjajah Yahudi termasuk para pendukungnya.

Wallahua’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *