Oleh: Ummu Aziz
Miris sekali ditengah wabah yang sedang terjadi, alih-alih pemerintah memperhatikan nasib masyarakatnya yang terkena dampak pandemi, masyarakat justru dijadikan kambing hitam untuk meminjam lagi dana segar dari luar negeri dengan dalih untuk membantu masyarakat yang terkena pandemi.
Wacana kebijakan meminjam dana luar negeri selalu diklaim demi kepentingan rakyat, Namun pada realitasnya hanya segelintir rakyat yang merasakan manfaat dari dana pinjaman tersebut.
Pemerintah sendiri bersikeras bahwa upaya tersebut merupakan langkah yang tepat dan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi nasional. Seperti yang kita lihat ke belakang, usaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang selalu didengung-dengungkan oleh pemerintah tidak akan pernah menjadi kenyataan. Rakyat lagi-lagi hanya akan gigit jari dan diwajibkan untuk siap menanggung dampak kegagalan setiap program yang dicanangkan. Salah satu dampak yang akan rakyat rasakan dengan semakin menumpuknya hutang negara adalah beban pajak baru yang siap menyasar setiap sisi kehidupan rakyat, yang tentunya rakyat semakin sengsara.
Bisa dibayangkan betapa suramnya masa depan Indonesia. Padahal kekayaan alamnya melimpah ruah tapi tidak bisa dinikmati. Padahal sejadinya rakyatlah pemilik sejati kekayaan alam di negeri ini. Indonesia sesungguhnya sudah sejak lama tersesat menapaki jalan yang salah. Indonesia terlanjur masuk kedalam perangkap skenario yang dibuat oleh penjajah dengan menerima sekulerisme sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Sehingga menyebabkan Indonesia yang super kaya raya sumber daya alamnya tergadai kepada swasta terutama asing. Dan setiap kebijakan yang dibuat pun selalu menguntungkan pihak swasta.
Hutang yang menumpuk dianggap kewajaran. Tanah air dengan bebas dipetak-petakan dan diserahkan kepada swasta. Sementara seluruh infrastruktur yang terus menerus dibangun hanya didedikasikan demi kepentingan korporasi.
Inilah potret asli Indonesia, negeri muslim yang kaya raya namun rakyatnya menderita disebabkan rasa haus dan gelap kekuasaan para penguasa yang jauh dari petunjuk agama, yakni agama Islam yang dapat mengatur seluruh urusan rakyat sejalan dengan titah Allah Subhanahu wata’ala.
Sungguh dalam Islam, penguasa adalah pengatur dan pelindung dunia akhirat rakyatnya dengan menerapkan sistem Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan dan sudah pasti akan membawa kebaikan, keadilan dan keberkahan secara keseluruhan.
Dalam Khilafah, negara bertanggung jawab atas optimalisasi harta. Dimana harta tersebut diperoleh dari fai’ kharaj, sumber daya alam (minyak, gas, tambang, perairan dll), zakat (seperti zakat dari peternakan, pertanian, perdagangan, emas dan perak) yang kemudian harta tersebut masuk ke dalam kas negara dan di simpan di baitul mal. Harta tersebut dikelola sesuai dengan pos-pos pengeluarannya. Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi pemenuhan kebutuhan dengan anggaran yang diperoleh dari hutang luar negeri dapat dihindari.
Menjadi pertanyaan publik, maukah pemerintah mengambil Islam sebagai solusi dan segera mencampakkan sistem ekonomi kapitalis?. Tentu kita semua tahu jawabannya. Padahal menjadikan sistem ekonomi kapitalis liberal sebagai fondasi ekonomi negara justru membuat negara semakin terpuruk dan ambruk.