Hukum Islam Diterapkan, Masalah Umat Tersolusikan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Hukum Islam Diterapkan, Masalah Umat Tersolusikan

 

Oleh Ai Siti Nuraeni

(Pegiat Literasi)

 

Usai menghadiri rapat koordinasi pembangunan pusat latihan atletik Pangalengan yang dipimpin oleh Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, Bupati Kabupaten Bandung Dadang Supriatna mengungkapkan bahwa pembangunan tempat tersebut berjalan dengan lancar. Semua itu adalah hasil dari kerjasama antara pejabat daerah dengan TNI dan Polri yang menjaga keamanannya. Kang DS lalu memberikan pesan kepada kontraktor agar menjalin komunikasi yang baik dengan warga supaya pembangunannya tidak menemui kendala. Adapun untuk perizinan lahan sedang dalam proses perubahan dari HGU (Hak Guna Usaha) menjadi HPL (Hak Pengelolaan).(Detik.com, 04/05/2023)

Olahraga atletik telah menjadi cabang olahraga tertua yang diperlombakan di dunia. Indonesia sendiri telah mengikuti cabang olahraga tersebut sejak penjajahan Belanda dulu. Hingga hari ini Indonesia memiliki organisasi sendiri yang mengurusinya yaitu PASI atau Persatuan Atletik Seluruh Indonesia yang diketuai oleh Luhut Binsar Panjaitan untuk periode 2021-2025. Oleh sebab itu, Luhut begitu antusias dengan pembangunan pusat latihan ini dan mendukung segala prosesnya.

Adapun pembangunan pusat latihan atletik nasional berstandar Internasional dianggap menjadi salah satu cara untuk membangun kemajuan dan peradaban bagi olahraga atletik Indonesia. Kelengkapan fasilitas di dalamnya diharapkan bisa memotivasi atlet dalam berlatih sehingga dapat meraih prestasi terbaik pada perlombaan nantinya. Dengan demikian patriot-patriot olahraga tersebut dapat mengharumkan nama bangsa di kancah dunia.

Perlombaan atletik dianggap bisa menjadi sarana yang tepat untuk menunjukkan Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara yang lainnya. Karenanya adalah hal yang wajar jika pemerintah berusaha untuk memaksimalkan pembangunan tempat latihan atletik ini. Hanya saja untuk membangun tempat latihan yang berstandar internasional pasti membutuhkan dana yang besar. Sedangkan saat ini Indonesia masih belum bisa dikatakan bangkit perekonomiannya pasca dihantam badai pandemi Covid-19.

Masih banyak tenaga kerja yang belum mendapatkan pekerjaan yang baru setelah di PHK besar-besaran di masa pandemi. Masih banyak pula pekerja yang di rumahkan dan belum dipanggil kembali untuk bekerja. Hal itu karena kondisi berbagai perusahaan masih belum stabil. Implikasi dari keadaan ini masyarakat kian sulit dengan beban hidup sehari-hari yang secara tidak langsung akibat negara abai mengurusi kepentingan rakyat, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan serta keamanan.

Dari fakta ini kita bisa melihat bahwa bukan suatu hal yang bijaksana untuk memperjuangkan pembangunan pelatihan atletik di tengah kondisi masyarakat yang masih membutuhkan banyak bantuan. Apalah gunanya menambah infrastruktur yang sifatnya tidak urgen jika masyarakat yang berada di dalamnya bergelut dengan kelaparan. Pemerintah seharusnya mengedepankan hal yang mendasar terlebih dahulu seperti mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakatnya dibandingkan dengan membangun sarana yang hanya bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang atau mungkin kelompok kapital.

Inilah realita hidup dalam sistem kapitalisme dimana tanggung jawab negara sebagai pelayan umat justru kian hilang malah menjadi kepanjangan tangan kapitalis. Hal ini wajar saja karena sistem kapitalisme begitu menjunjung tinggi materialisme di mana para pengembannya akan lebih mementingkan keuntungan materi dan tidak mau rugi dalam menyejahterakan rakyat.

Pembangunan pusat pelatihan atletik akan sama dengan infrastruktur lainnya yang hanya akan menguntungkan para kontraktor dan orang-orang yang terlibat di dalamnya saja sedangkan masyarakat secara umum tidak akan merasakan manfaat apapun. Masyarakat hanya bisa menonton pertandingan yang dilakukan oleh para atlet, menyemangati mereka, bereuforia atas keberhasilan mereka tanpa menghilangkan masalah lain yang harusnya mendapat prioritas untuk disolusikan.

Jika saja dana yang disiapkan untuk pembangunan itu dialihkan untuk membuka lapangan pekerjaan maka akan ada banyak masyarakat yang terselamatkan dari kelaparan, banyak anak yang bisa melanjutkan kembali pendidikan mereka mendapatkan masa depan yang lebih cerah.

Akan berbeda keadaannya jika Islam yang menjadi asas dalam membuat suatu kebijakan, pejabat akan mengerti skala prioritas dan akan mengedepankan perkara mendasar terlebih dahulu baru setelah itu mengurusi hal lain. Perkara yang wajib dipenuhi seperti kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan akan lebih didahulukan dibanding selainnya. Hal itu agar tidak terjadi dharar yang akan membahayakan kesehatan dan keselamatan masyarakat baik secara fisik atau mental. Yang demikian itu sejalan dengan sebuah hadis yang artinya:

“Tidak ada dharar (bahaya) dan tidak ada memudaratkan (membahayakan)—(baik diri sendiri maupun orang lain).” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan Ad-Daruquthni)

Adapun prinsip pembangunan dalam Islam dilakukan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan masyarakat terutama yang mendasar serta memudahkan masyarakat untuk melakukan ibadah ketaatan. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Khalifah Muhammad Al-Mahdi, beliau membangun penginapan-penginapan di sepanjang rute ke Makkah bagi muslim yang ingin berhaji, beliau juga memerintahkan penggalian sumur-sumur, membangun tempat pemandian umum di setiap mata air, serta membangun bak-bak yang air supaya lebih mudah digunakan.

Dalam aspek kesehatan Khalifah Al-Mahdi memerintahkan untuk membangun rumah sakit khusus bagi penderita kusta dan rumah tahanan yang dilengkapi dengan sarana untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dari sini terlihat betapa pemimpin yang paham Islam bertanggungjawab memenuhi kebutuhan rakyat sekalipun dia seorang tahanan atau yang berpenyakit menular sekalipun. Beliau juga pernah mendirikan kantor pos di kota Madinah, Makkah, dan Yaman untuk memperlancar distribusi barang.

Inilah pembangunan berorientasi ri’ayah yang benar, pelaksanaannya selalu disandarkan pada pelayanan bagi masyarakat. Tidak memikirkan prestise atau pengajuan dari negara luar, karena peri’ayahan yang benar seperti ini justru yang akan membuat nama negara harum dan malah membuat negara lain tertarik menerapkan aturan yang sama. Dengan demikian, masuknya manusia ke dalam agama Islam secara berbondong-bondong bisa terwujud dengan usaha ini.

WaLlaahu a’lam bish-Shawaab.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *