Hilangnya Identitas Seorang Muslimah Sebagai Al Ummu Madrasatul Ula

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Rizkika ( Aktivis Dakwah Kampus)

 

Didunia ini tidak hanya ditinggali oleh kaum laki-laki saja tetapi juga kaum perempuan ikut andil dalam kehidupan manusia. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling berpasang-pasangan seperti yang terdapat pada QS Adz-Zaariyat ayat 49, Allah berfirman  “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS adz-Zaariyat [51]: 49).

Jika pada kehidupan dunia ini kita melihat para laki-laki memiliki peran besar sebagai pemimpin kaum perempuan lalu apa yang sebenarnya menjadi tugas kaum perempuan selain hanya beribadah kepada Allah, melayani suami, menjadi putri yang Shalihah untuk kedua orang tua dan lain-lain. Lalu apa peran seorang perempuan khusus nya Muslimah di dunia ini, apakah hanya itu saja yang bisa dilakukan oleh perempuan tanpa memiliki peran apapun dalam memajukan suatu bangsa atau negara?

 

Perlu kita ketahui dan membaca ulang sejarah para tabi’in dan ulama pada abad pertengahan, bagaimana para ilmuan-ilmuan Muslim dapat menjadi secerdas dan sekritis dalam mencari sebuah pengetahuan. Lalu bagaimana seorang ulama besar seperti Imam Syafi’i dapat menjadi ulama besar pada masa itu dan dikenal sampai sekarang. Jika kita telusuri lebih dalam lagi, mereka para ilmuan dan ulama Muslim lahir dan berkembang dengan peran seorang Ibu.

Pada masa itu ibu Imam Syafi’i adalah seorang single parent, dimana Imam Syafi’I lahir dan perkembang di Gaza Palestina. Ibu Imam Syafi’I memikirkan bagaimana ia dan anaknya dapat ketenangan dunia dan akhirat maka diputuskanlah bahwa Imam Syafi’I akan jadi ulama. Perjuangan seorang ibu tidak hanya diam tetapi juga dengan usaha, maka pada saat itu Ibu Imam Syafi’I berangkat ke kota dimana terdapat ulama yang dapat mengajari anaknya yaitu kota Mekkah.

Pada saat di Mekkah Imam Syafi’I berguru kepada ulama besar untuk menuntut ilmu hingga pada masa remajanya terdengar bahwa di Kota Irak mulai maju akan ilmunya dan akhirnya diutuslah Imam Syafi’I untuk pergi ke Irak. Ibunya berpesan bahwa ia tidak di izinkan pulang kecuali sudah menjadi ulama, beberapa tahun kemudian akhirnya terdengar oleh ibunya bahwa Imam Syafi’I sudah menjadi Imam besar di Irak dan memiliki banyak murid sehingga ibu Imam Syafi’I memperbolehkannya pulang dengan membawa kitab.

Cerita tentang ibu Imam Syafi’I yang mempunyai tekat kuat untuk menjadikannya seorang ulama seharusnya menjadi contoh sebagai Muslimah saat mendidik anaknya agar menjadi anak yang Sholih dan Sholihah, mereka yang dapat membawa perubahan dan peradaban yang lebih baik untuk bangsa dan negara, perlu diingat lagi bahwa tidak hanya kemudahan di akhirat yang dapat tetapi juga kemudahan di dunia.

Tapi mirisnya saat ini banyak perempuan yang lupa akan pentingnya seorang ibu sebagai Al Ummu Madrasatul Ula tempat dimana anak-anak mereka dididik pertama kali, seringnya seorang ibu menggantungkan Pendidikan anaknya hanya kepada sekolah yang memahami lebih banyak ilmu pengetahuan daripada agama membuat mereka jauh akan kehidupan setelah dunia ini yaitu akhirat. Bahkan generasi saat ini terutama millennial yang sudah terjerumus kepada pergaulan bebas sampai ada seorang Muslimah yang hamil diluar nikah dan tidak siapnya menjadi seorang ibu tega membuang anaknya sendiri. Naudzubillah.

Saat ini yang kita perlukan adalah Kembali kepada identitas Muslimah yang sebenarnya sebagai tempat pendidik pertama untuk anaknya, seorang pemimpin yang baik terlahir dari ibu yang baik dimana ia menjaga dan merawatnya senantiasa memandang kedepan yaitu dunia dan akhirat sang Anak. Generasi emas akan dapat merubah peradaban saat seorang ibu dan tentunya calon ibu sudah mempersiapkan bagaimana arah tujuan hidup sang anak.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *