Hibah Dari Nanjing Hydraulic Research Institute, Benarkah Murni Tanpa Kepentingan?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Hibah Dari Nanjing Hydraulic Research Institute, Benarkah Murni Tanpa Kepentingan?

Ummu Wahidah

Kontributor Suara Inqilabi

 

No Free Lunch, sebuah ungkapan yang tepat untuk setiap pemberian dari asing, apapun bentuknya, hibah-kah, bantuan-kah, Penelitian-kah, Investasi-kah bahkan Pinjaman. Semua itu bisa dipastikan menggandeng kepentingan si pemberi yaitu Asing terhadap wilayah atau Negara yang diberikan pemberian tersebut.

Sebuah pemberitaan di media online mengabarkan bahwa Ketapang akan mendapatkan hibah pembangunan sistem pembangkit listrik hibrida dan proyek desalinasi air laut. Sungguh sebuah kabar yang mencengangkan, mengingat Ketapang merupakan salah satu wilayah yang untuk perkembangan teknologi dapat dikatakan sangat minim, sehingga yang muncul pertama kali dalam benak kita adalah apakah hibah ini akan dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat ketapang atau tidak bahkan justru akan menimbulkan dampak negative? Pertanyaan kedua adalah apakah hibah ini murni hibah ataukah ada kepentingan asing di balik itu, mengingat di pemberi hibah adalah china yang notebenenya memiliki proyek yang juga bersifat internasional dan dipahami sebagai penghancur negeri yang menerima melalui bantuan dan kerja samanya.

Faktanya bahwa terkait hibah dari negeri China ini Pihak Pemerintah Daerah Ketapang sudah lama berkomunikasi dengan PT Ketapang Bangun Sarana (PT. KBS) dan dari diskusi tersebut ditemukan bahwa ada rencana Daerah bisa menerima Hibah berupa mesin untuk mengolah air laut menjadi air baku. Dari sini terlihat bahwa pihak korporat sudah ikut campur atau dilibatkan dalam proses penerimaan hibah ini. Terlebih alasan pemerintah menyerahkan pengelolaan system hibrida dan alat desalinasi air laut adalah tidaklah prinsip yang sebenarnya masih bisa disiasati. Sehingga telihat jelas bahwa pengelolaan listrik seperti ini lahir dari sistem kapitalis. Sistem yang berpihak pada pemodal besar. Sistem yang berprinsip meraih keuntungan sebesar-besarnya. Dalam sistem ini, pada akhirnya negara hanya berperan sebagai regulator. Pemerintah seakan berlepas tangan dari pengurusannya terhadap pemenuhan hajat hidup rakyat. Selanjutnya menyerahkan urusan pemenuhan tersebut kepada pihak-pihak penyedia termasuk swasta.

Saat menelisik kembali betapa Ketapang memiliki potensi EBT dan juga posisi strategis maritim yang sangat tinggi, tentu kita akan diarahkan pada kemungkinan keuntungan besar yang akan didapatkan oleh china. Sehingga tentu china akan dengan senang hati melakukan upaya-upaya agar mereka dapat memboncengi kepentingannya pada proyek listrik hibrida dan desalinasi air laut di Ketapang.

Listrik yang dikelola oleh perusahaan berbentuk PT tentu lebih berorientasi pada profit. Hal ini akan meyebabkan masyarakat semakin terbebani dengan mahaalnya biaya listrik. Jika masyarakat tak mampu membayar, maka mereka tidak akan bisa menikmati layanan listrik. Artinya, pelayanan hanya diberikan kepada yang mampu membayar biaya yang ditetapkan oleh perusahaan untuk mengonsumsi listrik, baik biaya pemasangan maupun pemakaian per kwh. Perubahan pola dari pelanggan pascabayar menjadi prabayar menjadi buktinya.

Ini semakin mengkonfirmasi bahwa pengelolaan negara berdasarkan sistem kapitalistik, hanya akan menguntungkan para investor asing dan swasta. Sedangkan kebutuhan rakyat terbengkalai. Padahal, semakin banyak investasi asing menambah bengkak beban negara sehingga bisa menghilangkan kedaulatan negara. Karena, bisa menjadi celah bagi para investor untuk meraup keuntungan dan mencaplok tempat-tempat strategis negara. Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam mengemukakan, sesungguhnya pendanaan proyek-proyek dengan mengundang investasi asing adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam. Investasi asing bisa membuat umat menderita akibat bencana yang ditimbulkannya, juga merupakan jalan untuk menjajah suatu negara (Al-Maliki, 2001). Salamuddin Daeng, Peneliti Indonesia for Global Justice mengemukakan pandangannya bahwa kita bernegara, kita berkonstitusi hanya menyediakan suatu ruang, bahkan dalam bentuk yang paling asli, kita menyediakan tanah, gedung, jalan, infrastruktur, dan segala macamnya yang ada di negeri ini, semata-mata untuk memfasilitasi bangsa lain untuk mengeruk kekayaan negara kita.

Pembangunan dan pengelolaan infrastruktur adalah tanggung jawab negara. Bukan diserahkan tata kelolanya pada swasta apalagi pihak asing. Dalam sistem Islam, infrastruktur dibangun untuk menunjang seluruh kegiatan masyarakat. Bukan untuk sekedar tempat lalu lalang, apalagi pencitraan. Teknologi menjadi dasar pembangunan infrastruktur unggulan. Melalui teknologinya, infrastruktur dapat memudahkan pergerakan masyarakat.

Dalam sistem islam, hal strategis bagi ummat seperti listrik akan benar-benar diperhatikan negara. Dimulai dari sisi kepemilikan, maka listrik adalah bagian dari kepemilikan umum yang negera berkewajiban untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses kebutuhan tersebut secara optimal tanpa dibebankan biaya yang mahal bahkan bisa saja gratis. Karena sistem ekonomi Islam, akan mengatur agar setiap pos pemasukan negara sesuai dengan kebutuhan pengeluarannya. APBN Syari’at akan mensupport penuh optimalisasi proyek listrik untuk kebutuhan ummat ini.

Negara akan memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pengembangan listrik ini. Tanpa menyelisihi mekanisme syariat bahwa negara akan secara mandiri menjalankan peran ini tanpa intervensi swasta dan asing, kecuali sebatas mereka adalah ajir yang kita sewa sebatas kebutuhan keilmuannya tanpa mengesampingkan aspek keamanan negara. Maka, gemerlapnya wilayah Islam dengan teknologi listrik ini, justru akan semakin memperlihatkan kemajuan peradaban islam. Inilah yang seharusnya kita perjuangkan saat ini.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *