Hari Ibu dalam Pandangan Islam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Hari Ibu dalam Pandangan Islam

Sumiati

Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif

Seorang penyair ternama Hafiz Ibrahim mengungkapkan sebagai berikut: “Al-Ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq”.

Artinya: Ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.

Dikutip CNN Indonesia. Hari Ibu Nasional diperingati pada 22 Desember setiap tahunnya. Peringatan tahunan ini sudah ada sejak 1928 dan mengusung tema yang berbeda-beda. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA) telah merilis tema Hari Ibu 2023 yaitu ‘Perempuan Berdaya, Indonesia Maju.’

Peringatan hari ibu, dari tahun ke tahun, hanya seremonial belaka. Hingga hari ini, para ibu belum menempati posisi terbaik. Para ibu saat ini banyak yang menjadi korban kebrutalan sistem. Alih-alih memberdayakan para ibu agar produktif, faktanya justru para ibu terjerumus pada kubangan kapitalisme, sehingga harus meninggalkan hak dan kewajiban sebagai seorang ibu. Ketika lapangan pekerjaan lebih dibuka lebar untuk para ibu dan sempit untuk para bapak, akhirnya para ibu berlomba meninggalkan rumah demi karir.

Dengan adanya peringatan hari ibu, dianggap seolah memuliakan ibu. Namun sayangnya, lagi-lagi ini hanya rutinitas tahunan saja. Hari ini, banyak para ibu, justru tidak menempati posisi mulia, sebagaimana yang digadang-gadangkan sistem saat ini. Bukan hanya memaksa mereka harus bekerja, lebih dari itu, keberadaannya tak begitu dihargai. Banyak kasus pelecehan seksual, penyiksaan, diskriminasi, dianggap lemah sehingga semena-mena memperlakukan mereka, bahkan banyak lagi kasus-kasus yang justru jauh dari kata memuliakan.

Semua itu terjadi, hakikatnya karena manusia tidak paham bagaimana memuliakan ibu, tidak paham Islam yang notabene agama mereka, tetapi mereka tidak kenal dengan aturan dari agamanya sendiri. Terlebih didorong oleh sistem, yang mendukung, pemuliaan terhadap ibu hanya sekadarnya saja. Hanya sebatas ritual tahunan yang mana mereka sudah menganggap memuliakan ibu. Sementara hakikatnya mereka tidak tahu. Bahkan dengan sendirinya, ibu tak lagi bernilai di hadapan khalayak mau pun dalam keluarga.

Dari Abu Hurairah r.a yang mengutip sabda Rasulullah saw.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ

Artinya: “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi berpendapat, hadits di atas menunjukkan kecintaan dan kasih sayang kepada seorang ibu harus 3 kali lipat dibandingkan pada seorang ayah. Sebab, seorang ibu harus melewati banyak kesulitan selama mengandung sang anak. “Kesulitan di masa kehamilan, ketika melahirkan, serta kesulitan saat menyusui dan merawat anaknya. Hal itu hanya dialami seorang ibu, tidak seorang ayah,” tulis Imam Al-Qurthubi yang diterjemahkan Nurul Asmayani dalam buku Perempuan Bertanya, Fikih Menjawab.

Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw. bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya Allah berwasiat tiga kali kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat.” (HR Ibnu Majah)

Artinya, betapa seorang ibu, di dalam Islam begitu dimuliakan. Maka, tidak ada pilihan lain, kecuali mengembalikan semua aturan pada Islam. Agar setiap ibu kembali di tempatkan pada posisi seharusnya. Hal ini, membutuhkan sebuah negara yang menerapkan hukum Islam kaffah dalam bingkai Daulah Islamiyah. Karena hanya sistem Islamlah yang mampu mengangkat derajat perempuan khususnya para ibu.

Wallaahu a’lam bissawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *