Harga Pangan Meroket Jelang Ramadhan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ukhiya Rana (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

Marhaban Yaa Ramadhan, bulan suci yang dinanti kini pun tiba. Umat Islam bersuka cita menyambut bulan nan mulia ini. Namun, tak sejalan dengan kondisi fakta hari ini, dibalik antusiasnya menyambut Ramadhan ada gurat kecewa yang dirasakan masyarakat, terlebih kaum ibu. Ya, apalagi kalau bukan persoalan harga pangan yang meroket jelang Ramadhan.

Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), Abdullah Mansuri, mengatakan harga berbagai komoditas pangan mulai menunjukan kenaikan beberapa hari menjelang puasa. Abdullah mengatakan, kenaikan harga ini seiring dengan fase kenaikan harga selama Ramadhan dan lebaran. Menurutnya, terdapat tiga fase kenaikan harga, dimana fase pertama terjadi seminggu menjelang puasa, fase kedua beberapa hari menjelang lebaran dan fase ketiga sekitar 2-3 hari setelah lebaran. (Kompas.com, 08/04/2021)

Seperti diketahui bersama, harga pangan di dalam negeri akan berpotensi naik setiap menjelang puasa dan lebaran. Kenaikan ini terjadi akibat melonjaknya permintaan yang cukup tinggi pada waktu bersamaan. Berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, situasi ini menimbulkan kegaduhan tersendiri hingga pemerintah harus turun tangan untuk melakukan operasi pasar. Terlebih di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang juga belum teratasi sehingga patut diwaspadai, sebab tantangannya pun akan bertambah. (Indonesia.go.id, 19/03/2021)

Bukan hal yang baru, jika harga-harga pangan akan melonjak drastis menejelang Ramadhan. Namun di tengan kondisi pandemi saat ini akan membuat hati semakin kalut. Bagaimana tidak, di saat perekonomian masih karut marut karena pandemi, ditambah lagi dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Ibarat kata menabur garam di atas luka, semakin pedih.

Naiknya harga pangan tersebut memang sudah menjadi kebiasaan dan merupakan kejadian yang rutin terjadi setiap tahun. Namun, nampaknya tidak dapat menjadikan para penguasa ‘pandai’ dalam menangani persoalan tersebut. Solusi dan upaya yang dilakukan pun tidak banyak berubah dan tidak mampu menyelesaikan persoalan tahunan tersebut.

Namun, faktanya kondisi seperti ini justru menjadi angin segar bagi para penguasa dan pengusaha yang layaknya penjual dan pembeli dalam bisnis. Para penguasa yang notabene memegang kendali untuk membuat kebijakan justru dengan tangan terbuka melayani kepentingan korporasi bukan lagi kepentingan rakyat sebagai prioritas utama. Semakin menambah daftar panjang penderitaan hidup di dalam sistem kapitalisme yang menyengsarakan.

Negara seharusnya lebih memprioritaskan stok pangan dengan memperdayakan potensi pertanian di negeri ini, bukan dengan cara yang instan dengan mengambil kebijakan impor. Yang justru menjadi biang kerok dari kenaikan harga-harga pangan. Semua itu adalah fakta bahwa negeri ini berada dalam cengkeraman kapitalisme, yang tentu akan bergantung pada pangan luar negeri.

Sebernarnya pangan adalah persoalan yang krusial, oleh sebab itu tidak boleh bergantung pada negara lain. Seharusnya negara sendiri lah yang memberikan subsidi bagi para produsen pangan di negeri ini. Sehingga swasembada pangan akan terwujud.

Semua itu tentu tidak akan mampu terlaksana di dalam sistem kapitalisme. Sebab, sistem inilah yang menjadi penghalang untuk  mewujudkan kemandirian bangsa. Oleh sebab itu, sudah seharusnya meninggalkan dan mencampakan sistem kapitalisme beserta turunannya dan kembali kepada sistem Islam.

Dalam sistem Islam, untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang mengacu pada peningkatan produksi pertanian dan juga distribusi pangan yang adil. Semua itu ada pada politik pertanian dalam sistem Islam. Untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, negara memiliki beberapa kebijakan. Diantaranya yaitu:

Pertama, menghentikan impor dan memberdayakan sektor pertanian. Ketergantungan negeri ini pada impor akan semakin memicu ketidakstabilan harga-harga pangan.

Kedua, kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi dilakukan dengan pengembangan iptek pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Negara juga harus memberikan modal bagi siapa saja yang tidak mampu. Lalu negara harus memberikan akses air secara gratis kepada para petani, sebab air adalah milik umum.

Adapun kebijakan ekstensifikasi dapat dilakukan dengan membuka lahan-lahan baru dan menghidupkan lahan mati. Rasulullah saw. sebagaimana dituturkan oleh Umar bin Khaththab r.a telah bersabda, “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya.” (HR. Bukhari, Tirmidzi dan Abu Dawud)

Lalu, setiap orang yang memiliki tanah akan diperintahkan untuk mengelola tanahnya, dan siapa saja yang membutuhkan biaya untuk mengelola tanah, maka negara akan memberikan modal dari Baitul Maal.

Ketiga, yaitu kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam telah melarang penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Dengan itu stabilitas harga pangan di pasar pun akan lebih terjaga. Kebijakan ini pun dilakukan dengan melihat setiap kebutuhan pangan per individu.

Dalam politik ekonomi Islam, negara juga menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok dan dasar rakyat serta kesempatan terpenuhinya kebutuhan sekunder. Dalam pemenuhinnya negara Khilafah akan menempuh tiga strategi kebijakan:

Pertama, Islam menetapkan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, papan) dengan cara mewajibkan setiap pria yang baligh, berakal dan mampu, untuk bekerja memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan orang yang menjadi tanggungannya.

Kedua, jika individu tersebut tidak mampu dan tidak bisa memenuhi kebutuhannya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka beban tersebut dibebankan kepada ahli waris dan kerabat dekatnya.

Ketiga, jika dengan strategi kedua kebutuhan pokok belum juga terpenuhi, beban tersebut beralih ke negara.

Kemudian untuk jaminan pemenuhan dasar rakyat secara umum (pendidikan, kesehatan, keamanan) negara akan memenuhinya secara langsung. Dan apabila negara tidak memiliki dana, maka negara bisa mengambil dharibah dari kaum muslim yang kaya, atau berutang—yang diperbolehkan syariah. Pungutan (dharibah) ini bersifat sementara, yaitu ketika kas di Baitul Maal kurang atau tidak ada, dan hanya dalam jumlah yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan itu saja.

Di samping itu, negara juga akan menciptakan kondisi agar warganya memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan sekunder mereka sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Dengan adanya dakwah dan pendidikan yang sistemik akan mengarahkan warganya untuk memiliki corak dan gaya hidup yang Islami.

Walhasil, dengan neningkatnya taraf hidup setiap individu warga negara Khilafah yang disertai dengan corak dan gaya hidup yang Isami, pertumbuhan ekonomi pun akan stabil. Akhirnya terwujudlah suasana tenang sebab terjaminnya pemenuhan kebutuhan terutama menjelang Ramadhan.

 

Wallahu a’lam bish-showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *