Generasi Z harapan masa depan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Being Ulinnuha (Mahasiswa)

 

 

Sebuah pepatah arab mengatakan, pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan. Sungguh tidak mengherankan, karena kekuatannya, kecerdasannya, dan sifat inovatifnya yang tinggi, pantas jika masa depan negeri ini dibebankan diatas pundaknya.

 

Lintas generasi berganti nama, sampailah pada generasi Z, sebuah istilah yang dipakai untuk menandai anak muda yang hidup diabad 21, lahir dengan kecanggihan teknologi, dan kehidupan serba instan. Kehidupan pemuda generasi Z banyak ditentukan pada lingkungan ditempat mana dia berada, media yang diserap, yang dijadikan sebagai panutan.

 

Riset sensus penduduk per 2020, dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa dari 270,2 juta jiwa penduduk Indonesia, diantaranya terdiri dari 27,49% atau setara 74,93 juta jiwa generasi Z, dan jumlah yang sama juga yakni 27,49% setara 74,93 juta jiwa didominasi oleh kaum Millenial. Generasi Z digolongkan untuk masyarakat rentang usia 8-23 tahun. Sedangkan kaum millenial adalah masyarakat yang memiliki rentang usia 24-39 tahun. Angka ini mengindikasikan bahwa dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia, lebih didominasi oleh keberadaan kaum muda baik generasi Z maupun millenial, yakni lebih dari 50% dari total jumlah penduduk keseluruhan.

 

Berdasarkan hal ini, muncul narasi dalam pemerintahan bahwa harapan dari besarnya angka ini, adalah kaum muda diantaranya mampu memajukan ekonomi negara, membentuk generasi emas, dan menjadi modal bagi bangsa. Sederet harapan ini tentu bukanlah kemustahilan manakala dibarengi dengan pengaturan yang tepat seperti terpenuhinya pendidikan, aspek sosial yang utuh, sempurnanya pranata keluarga, hingga besarnya peran media yang membawa tampilan positif yang di era pandemi ini khususnya, menjadi sangat urgent, apalagi bagi kaum muda.

 

Hanya saja, fakta berkata lain. Pada sisi pendidikan dan media, fasilitas pendidikan yang seharusnya dirancang mampu mendorong para siswa belajar dengan nyaman meski dalam kondisi pjj, justru jaminan itu seakan nihil. Kejenuhan belajar sampai mengakibatkan sejumlah siswa mengidap penyakit dan berujung kematian. Media turut mengambil posisi, tontonan dan aktivitas dunia maya yang cenderung melenakan, justru menjadi pelampiasan bagi generasi Z. Celakanya, andil media elektronik dan dunia maya lebih banyak menampilkan aktivitas yang negatif lagi minim akhlak, yang diikuti oleh generasi Z hingga terbawa sampai kedunia nyata. Gangguan gaming disorder atau kecanduan game online pun marak menimpa kalangan pelajar.

 

Pada sisi keluarga, sistem hari ini menjadikan banyak keluarga kehilangan keutuhannya. Anak kandung tega memenjarakan ayahnya karena tidak mendapatkan harta warisan. Seorang paman mencekoki minuman keras (miras) pada keponakannya yang masih berusia 4 bulan. Naudzubillah min dzalik. Secara sosialpun, tidak sedikit dari generasi Z yang salah memilih pergaulan dan kebablasan dalam bergaul.

 

Mengingat harapan yang begitu besar dengan tingginya angka kaum muda di Indonesia, lantas inikah yang diharapkan dari sistem hari ini, sementara kegagalannya begitu sistemik?

 

Saat ini, sistem kapitalisme yang diterapkan, yang menjadikan keuntungan materi diatas segala-galanya memperturutkan generasi Z dan kaum Millenial menjadi budak didalamnya. Disamping itu asas pendidikan yang memisahkan unsur agama dari kehidupan (selulerisme) pelajar, memberikan pondasi yang salah dalam pendidikan, sehingga berprinsip, pendidikan adalah ajang mencari kerja, media transfer ilmu dan kepuasan intelektualitas belaka, bukan sebagai pembentuk pemahaman dan perilaku yang bernilai ibadah.

 

Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam, dimana berasal dari Allah -sang Pencipta-, bukan seperti kapitalisme yang merupakan sistem buatan manusia. Islam memberikan perhatian besar bagi pemuda bahkan sejak mereka dini.

 

Pertama, dalam Islam, pemuda dibekali ilmu dan pembentukan mental yang sehat dan kuat, dibarengi dengan pembentukan sikap yang mantap. Sehingga jika menghadapi masalah kehidupan, mereka meyakini semuanya adalah Qadla Allah, dan bertawakkal didalamnya. Tidak akan mungkin menjadikan dugem, miras dan aktivitas hedonis sebagai pelampiasan.

 

Kedua, Islam menyiapkan pendidikan pemuda tidak hanya sebagai aktivitas belajar teoritis. Akan tetapi aplikatif yang mampu digunakan dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan. Segala sesuatunya bersumber dari Al-Qur’an, maka sejak dini, pemuda akan dikuatkan akidahnya, sehingga kokoh dari segala terpaan yang menggoyahkan iman.

 

Ketiga, hubungan antara wanita dan pria dalam Islam sejatinya terpisah. Tidak ada ikhtilath (campur baur lelaki dan wanita), pacaran hingga perzinaan. Segala pintu menuju kesana ditutup rapat, siapapun tidak berani melanggarnya, sanksinya tegas dan keras. Tentunya hal ini tidak bisa tanpa adanya andil negara.

 

Semua ini bukan hanya ilusi dan teori, namun sudah pernah terwujud dan berhasil selama berabad-abad lamanya dalam institusi negara Khilafah. Hanya dengan penerapan sistem Islam dalam bingkai Khilafah lah, generasi Z dan kaum Millenial, mendapatkan kesejahteraan.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *