Gagal Nyaleg, Depresi hingga Bunuh Diri

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Gagal Nyaleg, Depresi hingga Bunuh Diri

Ria

Kontributor Suara Inqilabi

 

Pesta demokrasi 14 Februari telah usai. Meskipun KPU belum mengeluarkan hasil pemilu secara resmi, tapi berdasarkan hasil real count sementara, sudah terlihat perolehan suara para caleg. Hal ini membuat duka bagi caleg dan tim sukses yang mendapat suara sedikit. Kecewa pasti. Ada yang depresi, bunuh diri, mengambil bantuannya lagi dan sebagainya. Begitulah kompetisi. Ada yang menang, ada yang kalah.

Beberapa kejadian di bawah ini menunjukkan mereka siap menang tapi tidak siap kalah. Seperti timses di Desa Sidomukti, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Dia nekat gantung diri di pohon rambutan hingga wafat karena caleg yang didukungnya gagal meraih kursi anggota dewan. (Media Indonesia, 19-2-2024).

Cerita lain datang dari seorang caleg yang menarik kembali bantuan paving block untuk warga karena perolehan suaranya sedikit di Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, Jawa Timur, . (Kompas, 19-2-2024). Sedangkan di Tegalkoneng, Desa Tambakjati, Kecamatan Patokbeusi, Subang, Jawa Barat, seorang caleg membongkar jalan yang dia bangun dahulu. Tidak hanya itu, caleg tersebut dan para pendukungnya juga menyalakan petasan di menara masjid pada siang dan malam hari yang mengakibatkan seorang warga meninggal dunia karena serangan jantung. (Okezone, 25-2-2024).

Akar Masalah

Tidak ada makan siang gratis di alam demokrasi kapitalisme. Semuanya dihitung dengan uang. Termasuk untuk melenggang menuju gedung dewan. Semakin banyak uang, peluang menjadi anggota dewan semakin besar. Bagi caleg yang kurang modal maka dia akan menjual yang ada mulai mobil, rumah, tanah atau bisa jadi utang bank. Uang itu digunakan untuk biaya timses dan kampanye serta membeli suara rakyat. Karena rakyat paham menjadi anggota dewan akan menghasilkan harta kekayaan yang berlimpah ruah sehingga rakyat merasa suaranya berhak untuk dihargai. Meskipun amplop yang diterima kecil dibanding kenaikan harta pejabat nantinya .

Berbagai upaya pasti dilakukan agar bisa duduk di kursi dewan. Dengan harapan bisa terpilih. Tapi jika harapan tidak sesuai kenyataannya, mereka akan depresi. Karena mereka sudah habis-habisan menggunakan uangnya demi sebuah jabatan. Rela kehilangan harta demi ikut pemilu. Begitulah pemilu di alam demokrasi yang berbiaya tinggi.

Jabatan dalam Islam

Dalam Islam, jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Seseorang yang memegang jabatan sejatinya memegang amanah yang berat. Dia harus menjalankan amanah sesuai syari’at Islam, harus adil dan tidak zalim. Bukan menjalankan amanah mengikuti keinginan pribadi atau kelompoknya. Ketika amanah dijalankan sesuai hawa nafsu maka tunggulah kehancurannya.

Ketaqwaan adalah syarat mutlak bagi pejabat di dalam sistem Islam. Hanya orang-orang yang bertaqwa yang boleh memimpin dan mengurusi umat. Sedangkan orang fasik dan zalim tidak boleh menjadi pejabat karena akan mengakibatkan penderitaan bagi umat.

Rasulullah Saw adalah contoh pemimpin yang sederhana dan zuhud. Maka pejabat di dalam sistem kh1l4f4h adalah orang-orang yang mencontoh beliau. Mereka takut kepada Allah sehingga tidak akan memanfaatkan jabatan demi keuntungan pribadi dan menimbun harta ketika duduk di kursi kekuasaan. Contoh selanjutnya adalah khulafaurasyidin. Kita bisa lihat bagaimana Umar bin Khattab yang memakai pakaian tambalan dan tidur di bawah pohon kurma. Pun Umar bin Abdul Aziz yang memberikan hartanya ke baitul maal.

Pemimpin seperti Rasulullah dan para sahabat hanya ada di sistem pemerintahan Islam dan tidak akan kita temui di dalam sistem demokrasi kapitalisme saat ini yang gila jabatan. Syarat menjadi pemimpin di sistem Islam adalah laki-laki, balig, berakal, muslim, merdeka, adil, dan mampu. Syarat adil ini haruslah orang yang bertakwa.

Dalam memilih pemimpin, Islam menentukan bahwa rakyat punya wewenang untuk memilih pemimpin negara maupun perwakilan yang duduk di Majelis Umat. Pemilihan di dalam Islam sederhana, tidak berbiaya tinggi, praktis dan penuh kejujuran. Tidak ada janji-janji manis pencitraan dan tidak ada praktik politik uang.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *