Dimana Akal Sehat Ketika Dana Bansos Kau Embat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

 

Oleh: Naely Lutfiyati Margia, Amd.Keb.

 

Wabah Corona sedikit banyak telah membuat perekonomian masyarakat Indonesia menjadi sulit. Tak hanya kalangan bawah, kalangan menengah ke atas pun dibuat kesusahan. Usaha bangkrut, kena PHK, gaji dipotong dan sebagainya.

Melihat kondisi yang demikian, rupanya pemerintah cukup memperhatikan. Dengan berupaya memberikan bantuan sosial (Bansos) yang disalurkan melalui Kementerian Sosial (Kemensos), dengan tujuan ingin ada peningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat miskin maupun rentan miskin.

Alih-alih memberikan bantuan, ternyata Bansos yang disalurkan melalui Kemensos, dananya dikorupsi juga. Bantuan yang seharusnya utuh sampai kepada masyarakat, pada kenyataannya tidak sepenuhnya sampai.

KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan Corona. KPK menyebut total uang yang diduga diterima Juliari Batubara sebesar Rp 17 miliar. (Detik News, 6/12/20)

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan uang miliaran rupiah itu diterima Menteri Sosial Juliari Batubara dari fee dua periode pengadaan bansos. Periode pertama, Firli menjelaskan diduga telah diterima feesebesar Rp 12 miliar. Mensos Juliari Batubara diduga turut menerima uang senilai Rp 8,2 miliar turut diterima Mensos Juliari. (Detik News, 6/12/20)

Tak hanya itu, Firli menyebut pada periode kedua, yakni Oktober-Desember 2020, sudah terkumpul uang senilai Rp 8,8 miliar yang dikelola oleh Eko dan Shelvy selaku orang kepercayaan Mensos Juliari Batubara. Uang Rp 8,8 miliar itu diduga akan dipakai untuk keperluan Mensos Juliari Batubara. (Detik News, 6/12/20)

Lagi dan lagi. Agaknya korupsi di Indonesia memang telah menjadi persoalan yang mendarah daging. Kasus korupsi selalu ada dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun, serta dengan modus yang kian beragam.

Korupsi terhadap Bansos amatlah kejam. Bagaimana tidak? Masyarakat sedang kesulitan ekonomi, tapi ketika mendapat hak bansos, masih juga dimakan oleh para pejabat tinggi. Tingginya sifat konsumtiflah yang merangsang para pelaku korupsi tega melakukan perbuatan tercela ini, bahagia di atas kesengsaraan rakyat. Jadi benarlah adanya istilah yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Pelaku korupsi seharusnya pantas diganjar hukuman mati, supaya dapat memberikan efek jera. Namun dalam sistem demokrasi saat ini, itu semua hanyalah wacana.

Penanganan korupsi di era demokrasi saat ini tidak dilakukan secara komprehensif, setengah hati, dan tidak sungguh-sungguh. Hal ini terlihat dari tidak adanya tindakan tegas dari pemimpin untuk mengungkap kejahatan korupsi. Sementara korupsi telah menjadi rahasia umum, masyarakat tahu bahwa korupsi terjadi di mana-mana.

Perbuatan korupsi tidak hanya tercela di mata sosial, namun juga berdosa dalam kacamata Islam. Teringat kisah Abdullah bin Rawahah ketika tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar—separuh untuk kaum muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi—datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separuh untuk orang Yahudi.

Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya”. Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak.” (Imam Malik dalam al-Muwatta’).

Kemudian Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad).

Pada akhirnya, kita memang membutuhkan sebuah institusi untuk dapat menangani korupsi ini secara benar, sehingga kasus semacam ini tidak akan terulang. Dan itu hanya ada di dalam Islam.

Sistem ini ialah Khilafah, sistem yang berlandaskan aqidah Islam, aturannya hanya berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga tidak bisa direvisi ataupun diotak-atik sesuai kepentingan manusia, sebagaimana aturan sistem demokrasi sekarang.

Dari aspek ini saja, Islam mampu memangkas terjadinya hal-hal kecurangan semacam korupsi. Dalam pemilihan pejabat pun, Islam benar-benar memilih yang berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Sehingga akan didapatkan kandidat yang benar-benar amanah, berkualitas dan mempunyai kapasitas untuk menjalankan aturan sesuai Al-Qur’an dan Sunnah.

Tentunya selain dari upaya pemilihan kandidat terbaik untuk melaksanakan kepemerintahan, Islam juga memiliki cara untuk mencegah terjadinya korupsi dan penanganannya bila terjadi.

Pertama, adanya Badan Pengawasan/Pemeriksaan Keuangan untuk mengawasi dengan ketat para pejabat. Ditambah lagi keimanan yang kokoh, akan menjadikan pejabat dalam melaksanakan tugasnya senantiasa selalu merasa diawasi oleh Allah.

Kedua, gaji yang cukup untuk kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Sedangkan kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, jalan dan birokrasi akan digratiskan oleh pemerintah. Dan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan akan diberi harga yang murah.

Ketiga, di dalam Khilafah ketakwaan individu menjadi salah satu syarat menjadi pejabat, selain syarat profesionalitas. Sehingga mencegah terjadinya seorang muslim berbuat curang, karena tidak ingin memberi makan keluarganya dengan harta yang haram.

Keempat, amanah juga menjadi syarat wajib dalam kriteria pejabat. Setiap pejabat wajib melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan tanggungjawabnya.

Kelima, penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras. Perbuatan korupsi berbeda dengan perbuatan mencuri, korupsi masuk ke dalam kategori penggelapan uang, dimana seseorang khianat terhadap uang yang telah diamanahkan kepadanya. Sehingga hukumannya bukanlah hukum potong tangan sebagaimana QS. Al-Maidah: 38.

Rasulullah bersabda, “Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk koruptor) orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret.” (HR. Abu Dawud)

Bentuk sanksinya berbeda-beda sesuai dengan keputusan hakim. Bisa dimulai dari yang paling ringan berupa teguran, penjara, denda, pengumuman pelaku di hadapan publik, hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman, nanti akan disesuaikan dengan kasus yang dilakukan.

Maka dari itu sudah saatnya kembali kepada aturan Allah. Aturan yang datang dari Sang Pencipta, sehingga dapat memberantas korupsi secara tegas dan tuntas. Sehingga Islam Rahmatan Lil ‘alamin akan dapat terwujud.

Wallahu A’lam Bish Shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *