Oleh : Nisa Andini Putri (Mahasiswi FKIP UNIB )
Jakarta, CNN Indonesia — Eks Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Menteri Kelautan dan Perikanan ad interim Luhut Binsar Pandjaitan bahwa aturan ekspor benih lobster tidak menyalahi aturan.
“Luhut Nyatakan Permen soal Lobster Era Edhy Prabowo Tak Salah,” cuit Susi pada Jumat (27/11) malam lewat akun Twitternya, @susipudjiastuti, mengutip pemberitaan media massa. Susi kemudian di cuitan terpisah meninggalkan emoji sedih, marah, hingga heran menanggapi ucapan Luhut tersebut.
Selama menjabat, Susi secara tegas melarang praktik tersebut. Hal itu tertuang melalui Peraturan Menteri KKP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Penangkapan Lobster, yang melarang perdagangan benih lobster dan lobster berukuran kurang dari 200 gram ke luar negeri.
Sementara, di era Edhy, aturan larangan ekspor benur dicabut melalui Peraturan Menteri KKP Nomor 12/Permen-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia.
AKURAT.CO Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyatakan, kasus dalam perizinan ekspor benih lobster menunjukkan selama ini KKP hanya fokus kepada regulasi benih lobster dan melupakan prioritas lainnya sektor kelautan dan perikanan nasional.
“Mencuatnya pidana korupsi dalam perizinan ekspor benih lobster yang menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengindikasikan bahwa selama ini Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya fokus pada regulasi benih lobster dan melupakan prioritas program strategis lainnya,” kata Moh Abdi Suhufan, Jumat.
Salah satu bentuk pro-investor ataupun eksportir yang diatur di dalam Permen KP No.12 Tahun 2020 adalah menghapus ketentuan yang ada dalam Permen KP No. 56 Tahun 2016 yang berbunyi “setiap orang dilarang menjual benih lobster untuk budidaya”, dan mengubah ketentuan menjadi “eksportir harus melaksanakan kegiatan pembudidayaan lobster di dalam negeri” serta menambah ketentuan tentang benih lobster dengan istilah “benih bening lobster”.
Selain tentang benih, KKP juga mengubah aturan tentang penangkapan lobster yang bertelur. Di dalam Permen KP No.56 Tahun 2016 secara tegas mengatur bahwa penangkapan dan/atau ekspor lobster, kepiting dan rajungan boleh dilakukan dalam “kondisi tidak bertelur”. Sedangkan di dalam Permen No.12 Tahun 2020 mengubah dan menambah diksi “yang terlihat pada Abdomen luar” sehingga bunyi keseluruhannya menjadi “dalam kondisi tidak bertelur yang terlihat pada Abdomen luar”.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan bahwa Permen KP No. 12 Tahun 2020 merupakan kemenangan bagi investor, eksportir, dan importir, tetapi pada saat yang sama merupakan ancaman bagi tiga hal, yaitu: penghidupan nelayan, keberlangsungan sumber daya perikanan, serta perekonomian nasional.
Menurut Susan, Permen KP No.12 Tahun 2020 mengancam penghidupan nelayan karena dengan diizinkannya ekspor benih lobster, pihak yang paling diuntungkan secara ekonomi adalah investor, eksportir, dan importir. Sedangkan nelayan, tetap akan menjadi pihak yang paling sedikit menerima keuntungan ekonomi, meskipun mereka merupakan produsen utama.
“Kami mencatat, harga benih lobster di Vietnam mencapai Rp 139 ribu per ekor. Sementara itu, benih lobster tangkapan nelayan hanya dihargai Rp 3-5 ribu di dalam negeri. Ini adalah potret ketidakadilan yang akan terus mengancam kehidupan nelayan lobster,” ungkap Susan. Pada saat yang sama, dibukanya izin ekspor benih lobster akan mendorong eksploitasi sumber daya perikanan di pusat-pusat penangkapan dan budidaya lobster di Indonesia. Dalam jangka panjang, eksploitasi ini akan menghancurkan pusat-pusat perikanan rakyat yang selama ini lestari dan berkelanjutan.
“Jika Pemerintah memiliki komitmen untuk menegakan keberlanjutan sumber daya perikanan, maka lobster harus dibesarkan dan dibudidayakan di dalam negeri sampai dengan tiba masanya untuk dikonsumsi atau dijual ke berbagai negara,” tambah Susan. Yang terkahir, kata Susan, pembukaan ekspor benih lobster, akan sangat-sangat merugikan perekonomian nasional. Pusat Data dan Informasi KIARA (2019) mencatat, Sepanjang 2015-2018, KKP telah menyelamatkan pengiriman benih lobster sebanyak 6.669.134 ekor ke luar negeri. Dampaknya, uang senilai Rp 464,87 miliar telah berhasil diselamatkan, (trubus news, 9/5/2020).
Tidak heran jika rakyat kembali terdzolimi dengan kebijakan ekspor lobster, sebab hal seperti ini sudah menjadi langganan dalam sistem demokrasi. Bahkan wacana mensejahtrakan rakyat hanya sebatas jargon semata. Yah, pemisahan agama dari kehidupan membuat individu bebas menetapkan hukum sesuai dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Adanya peluang korupsi yang membuat Menteri Kelautan dan Perikanan hanya fokus pada ekspor lobster saja, padahal banyak potensi laut yang bisa dikelola untuk menambah pendapatan negara dan mensejahterakan nelayan.
Lemahnya pengawasan negara juga turut membuka peluang besar untuk melakukan korupsi di segala sektor. Maka tak heran memberantas korupsi menjadi hal yang sangat sulit dilakukan KPK saat ini.
Lalu Bagaimana Cara Islam Mengatasi Korupsi?
Sesungguhnya dalam sistem Islam, salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi ialah di tempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang ketat. Pertama: pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua: pengawasan dari kelompok, dan Ketiga: pengawasan oleh negara. Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi.
Dalam sistem Islam, korupsi (ikhtilas) adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain.Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan mendapatkan harta secara curang atau melanggar syariah, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat. Berbeda dengan kasus pencurian yang termasuk dalam bab hudud, korupsi termasuk dalam bab ta’zir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada khalifah atau qadhi (hakim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. bersabda, ”Perampas, koruptor (mukhtalis) dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban).
Bentuk ta’zir untuk koruptor bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misalnya diarak keliling kota atau di-blowup lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.
Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pernah menetapkan sanksi hukuman cambuk dan penahanan dalam waktu lama terhadap koruptor (Ibn Abi Syaibah, MushannafIbn Abi Syaibah, V/528; Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209).Sementara di masa Khalifah Umar bin Khathabra. pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi (Lihat: ThabaqâtIbnSa’ad,Târîkhal-Khulafâ’ as-Suyuthi).
Sistem Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah.” (HR. Abu Dawud).Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan terjadinya tindakan korupsi.
Sedangkan dalam upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat Negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Bisa kita lihat, pada masa sekarang ini banyak diantara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, kemudian banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Kasus seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Dawud).
Pilar lain dalam upaya pencegahan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin.
Bisa di ambilkan contoh, Khalifah Umar Bin Abdul Aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Beliau juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara. Tampaknya hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negeri ini, ketika rakyatnya banyak yang lagi kesusahan, para pejabatnya justru banyak bergelimang kemewahan.
Begitulah. Sesungguhnya sistem Islam adalah solusi terbaik yang layak dipakai ketika semua solusi pemberantasan korupsi sudah tidak mempan lagi.Namun sistem Islam ini hanya bisa diterapkan dalam bingkai Negara Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Bukan negeri republik yang menerapkan sistem demokrasi.
Wallahua’lam bishawab.