DI BALIK MUDIK, KENYAMANAN DAN KEAMANAN TERUSIK  

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

DI BALIK MUDIK, KENYAMANAN DAN KEAMANAN TERUSIK  

 

Rengganis Santika

Kontributor Suara Inqilabi 

 

Dalam terminologi sejarah di nusantara, mudik merupakan istilah kembali ke udik (kampung halaman), Dahulu wilayah udik (dataran tinggi) merupakan wilayah bermukim, sedangkan tempat orang-orang mencari nafkah dan pusat pemerintahan berada di daerah pesisir (dataran rendah). Sudah tradisi sejak dulu kala, ketika menjelang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, para pegawai kerajaan atau kesultanan, kemudian diikuti oleh masyarakat umum, pulang ke tanah kelahiran tempat orang tua berada. Hingga saat ini, tradisi tersebut melekat di kehidupan masyarakat nusantara. Tak afdhol rasanya bila di hari lebaran tak mudik atau pulang kampung, bersilaturahmi dengan orang tua dan keluarga besar.

Apalagi saat pandemi kemarin selama hampir tiga tahun, pemerintah melarang kegiatan mudik. Masyarakat dibatasi berbagai aturan dan syarat seperti vaksin, swab, dan karantina yang cukup memberatkan. Tak heran bila tahun ini antusiasme warga begitu luar biasa untuk mudik. Kementrian perhubungan mencatat bahwa mudik tahun 2023 merupakan mudik terbesar sepanjang sejarah, yaitu mencapai jumlah 123 juta (merdeka.com). Sayangnya momen mudik tetap menyimpan banyak persoalan, sehingga tetap ada cerita di balik mudik, yang seharusnya menjadi momen suka cita berubah menjadi momen duka cita.

Mengurai Problem Klasik Mudik

Permasalahan mudik dari tahun ke tahun senantiasa berulang. Padahal pembangunan infrastruktur jalan terus digencarkan. Di sisi lain pajak kepada rakyat makin digenjot. Katanya pajak demi pembangunan infrastruktur. “Orang taat pajak pahlawan pembangunan” begitulah slogan yang selalu didengungkan penguasa. Lantas benarkah infrastruktur jalan hari ini merupakan milik negara dan dikelola oleh pemerintah bagi kepentingan rakyat banyak?

Ternyata ada sekitar lima perusahaan swasta raksasa yang menguasai jalan tol (kompas.id). Sistem kapitalisme memposisikan negara hanya sebagai regulator atau bahkan “watching dog”. Pengelolaan jalan termasuk tol sebagai sarana umum diserahkan pada swasta. Rasanya mustahil, bila swasta menginvestasikan dana besar, tulus membantu rakyat tanpa berharap laba. Tak heran bila tarif tol banyak yang naik justru di saat ekonomi rakyat lesu. Hampir semua ruas tol dikelola swasta, contohnya Tol Soroja yang dikelola CMNP, dan yang terbaru Tol Cisumdawu. Masyarakat menilai tarifnya mahal.

Negara tidak boleh terus-menerus menutup mata atas menggilanya ongkos mudik, karena situasi ekonomi pun mencekik. Masyarakat terpaksa merogoh kocek lebih dalam. Mereka tak punya pilihan, asal tetap bisa mudik. PO bus swasta, kereta api, pesawat, dan kapal, ramai-ramai menaikkan tarif. Bahkan beberapa PO bus menaikan tarif hingga 100%. Ongkos mudik diakui semua pihak cukup tinggi, apalagi bagi rakyat kecil. Ironisnya ongkos mahal tak berbanding lurus dengan fasilitas. Banyak penumpang mengeluhkan hal ini. Tak sedikit akhirnya yang nekat naik motor untuk jarak jauh, padahal justru mengundang bahaya.

Kapolri mengklaim angka kecelakaan menurun. Beberapa media merilis data yang berbeda, namun bila dicermati sama saja, karena berdasarkan jumlah data kecelakaan dari CNN Indonesia, katadata.com, termasuk data dari polairud, kecelakaan turun 19% dari jumlah 1.457 dengan 187 meninggal dunia. Merdeka.com menyebut 33% dari 2.497 kecelakaan, dengan jumlah 349 meninggal. Rata-rata 31 orang meninggal per hari dalam kecelakaan selama mudik 2023 berlangsung. Terlepas dari berapa angka-angka yang dirilis, jumlah di atas tetap jumlah yang tak sedikit, dan tak bisa dianggap remeh. Lalu apa yang dilakukan negara selama setahun berlalu sehingga fakta ini terulang kembali?

Memang pemerintah melakukan rekayasa jalan untuk mengurai kemacetan dengan sistim oneway atau contraflow di jalan tol. Namun sistem ini hanya memberi solusi atas satu hal tapi menimbulkan masalah lain, yaitu bagi yang melewati jalur sebaliknya, sehingga waktu tempuh mereka 2 kali lipat lebih lama. Kemacetan juga masih terjadi di beberapa titik. Tol Cipali dengan panjang 116,7 km yang diharapkan bisa mengurangi kemacetan justru menciptakan kemacetan dititik lain. Volume kendaraan juga selalu bertambah setiap tahun. Belum lagi aspek kenyamanan dan keamanan yang minim. Program mudik gratis, malah memicu berkurangnya pemasukan PO bus, disamping keluhan kenyamanan muncul di sana sini.

Pengguna mode transportasi umum mengeluhkan tarif mahal tapi fasilitas minim. Sementara kualitas jalan dan perbaikan Infrastruktur tetap menjadi PR negara, karena disinyalir perbaikan jalan tidak maksimal dan memenuhi standar. Penyebabnya adalah aroma korupsi yang tidak dapat dihindari.

Islam Mengutamakan Keamanan, Kenyamanan, dan Menolak Kapitalisasi Kepentingan Umum

Al Qur’an menerangkan, “Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” Sungguh indah bila safar mudik yang kita lakukan dalam rangka silahturahmi hanya fokus membekali diri dengan takwa. Tidak dipusingkan biaya mahal, keamanan, dan kenyamanan. Negara yang menerapkan syariat Islam dalam kehidupan pasti akan mengelola urusan rakyat, khususnya terkait transportasi, berangkat dari landasan iman dan takwa, yaitu terikat dengan syariat Islam. Transportasi adalah hajat hidup orang banyak. Maka negara wajib memprioritaskan kepentingan rakyat tanpa membeda-bedakan status sosial dan ekonomi.

Islam memandang aktivitas mudik sebagai sebuah ibadah. Sebab mudik tujuannya untuk silahturahmi dan birrul walidain kepada kedua orang tua dan keluarga besar. Mereka yang safar mudik disamakan musafir ibnu sabil, perjalanan dalam rangka ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu apabila mereka kekurangan bekal dan biaya dalam perjalanan, status mereka menjadi mustahik zakat. Di samping itu transportasi jalan merupakan sarana umum (marofiq), di mana negara tidak boleh membebankan biaya seperti saat ini. Mode transportasi umum adalah kebutuhan asasi/penting sebagaimana halnya kesehatan. Semua dipenuhi negara dengan standar kualitas yang aman dan nyaman.

Semua ini pernah diwujudkan Khalifah Abdul Hamid II ketika membangun Hijaz Railway untuk memudahkan mode transportasi bagi jemaah haji. Demikian pula bagaimana warga kesultanan Banten di bawah kuasa Khalifah Utsmani pergi haji gratis dengan kapal dan mendapat pengawalan dari Kekhalifahan Utsmani. Di samping itu negara bertanggung jawab dalam penyediaan sarana jalan yang aman dan nyaman plus rest area bagi para musafir. Khalifah Umar bin Khattab r.a pernah mengatakan,

“Kalau sampai ada kambing terperosok di jalan (yang dibangun Umar), maka Umar bertanggung jawab!”

Begitulah kira-kira tanggung jawab seorang pemimpin negara yang amanah dan menerapkan hukum syariat secara kaffah. Sebaliknya Kapitalisme telah gagal menyejahterakan seluruh umat di dunia, bahkan ibadah pun dikapitalisasi demi meraih profit hingga mengabaikan keamanan dan kenyamanan.

Wallahu’alam bissh-shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *