Desa Wisata, Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Desa Wisata, Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi?

Ummu Anshor

Kontributor Suara Inqilabi

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno menargetkan pembentukan 6.000 desa wisata selama tahun 2024 untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. (Republika.co.id, 18/02/2024)

Menparekraf pun menyatakan 6.000 desa wisata tersebut nantinya dapat berkontribusi sekitar 4,5 persen terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) secara nasional. Dengan begitu, akan ada penambahan sekitar 4,4 juta lapangan kerja di bidang ekonomi kreatif.

Pariwisata memang sering diklaim sebagai jalan pintas untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, secara global PBB memiliki badan khusus untuk membantu negara-negara yang sedang mengembangkan potensi wisatanya. Untuk Indonesia sendiri, Bank Dunia telah menggelontorkan dana USD 300 juta untuk Indonesia Tourism Development.

Jika melihat sekilas, mungkin pariwisata memang seolah-olah mampu mendongkrak kegiatan ekonomi di tempat tersebut. Yakni, dengan dibangunnya fasilitas umum, akses jalan diperbaiki, masuknya wisatawan, Juga akhirnya dibangun berbagai fasilitas pendukung seperti pusat perbelanjaan dan lain sebagainya.

Namun, jika kita lihat lebih mendalam, untuk membangun fasilitas wisata yang baik berikut akses dan fasilitas pendukung membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dari mana desa bisa memiliki dana? Biasanya dana yang digunakan berasal dari dana desa, atau pemerintah membuka skema investasi. Di sinilah bahaya terselubung masuk. Karena Ketika investasi masuk, sejatinya bukan investasi melainkan utang. Selain itu bisa masuk pula kepentingan-kepentingan investor. Jadi, sebetulnya siapa yang lebih diuntungkan? Masyarakat ataukah Investor? Karena faktanya, masyarakat desa dengan keterbatasan tingkat Pendidikan, komunikasi atau kemampuan lainnya, kebanyakan hanya akan bekerja sebagai ‘buruh’. Seperti menjadi guide, pelayan, petugas kebersihan, pedagang asongan, ataupun penjaga parkiran.

Tidak hanya itu, jika ingin wisatanya maju, biasanya masuk pula standar-standar pariwisata global yang mau tidak mau harus diikuti masyarakat. Maka, masuklah nilai-nilai kebebasan, budaya-budaya luar yang bisa jadi tidak sesuai dengan budaya asli masyarakat. Yang paling ekstrim, banyak terjadi kegiatan seperti minum minuman keras, hingga aktivitas prostitusi. Hal seperti itu, sudah banyak terjadi. Masyarakat pun menjadi terkontaminasi dengan nilai-nilai yang merusak. Selain itu, sektor pariwisata juga sering mengakibatkan eksploitasi alam. Banyak pembangunan pembangunan yang akhirnya tidak memikirkan dampak terhadap lingkungan.

Maka, perlu lebih dikritisi mengapa pariwisata seolah-olah dipilih menjadi pilihan yang terbaik, dengan segala resikonya. Padahal, Negeri ini memiliki Sumber daya Alam yang melimpah, yang jika dikelola dengan baik, sudah sangat cukup memenuhi kebutuhan rakyat. Tapi sayangnya, SDA negeri ini sudah digadaikan kepada pemilik modal besar pribumi, maupun asing dan aseng. Sehingga, negara harus disibukkan dengan kegiatan pariwisata yang tidak seberapa. Ibarat, menyerahkan segepok koin emas kepada orang lain, sementara koin-koin receh dikumpulkan.

Disinilah pentingnya visi sebuah negara yang berdaulat dan berideologi. Jika negara kita mengadopsi ideologi islam, maka cara pandang terhadap pengelolaan negeri ini akan sesuai dengan islam. Sektor industri pertambangan, industri berat, pertanian dan perdagangan menjadi sumber utama pemasukan negara. Sebab, Negara sepenuhnya yang berhak mengelola SDA milik umum. Hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk-bentuk pelayanan umum. Seperti, infrastruktur, pendidikan, kesehatan dll.

Kesejahteraan masyarakat pun dinilai per individu, bukan agregat atau dihitung dari rata-rata PDB. Dalam islam, negara tidak hanya mengejar angka-angka seperti pertumbuhan ekonomi semata, melainkan pemerataan distribusi ke setiap individu. Negara pun memberikan jaminan pendidikan bagi setiap warga negara. Sehingga lahir SDM yang berkualitas dan berdaya. Lapangan pekerjaan dibuka lebar agar setiap laki-laki bisa bekerja. Investasi yang bisa memberikan dharar akan dilarang.

Adapun sektor pariwisata tidak menjadi sumber pemasukan negada. Namun, tidak akan dilarang, selama tidak menyalahi syariat. Tempat-tempat wisata akan dikelola sebagai sarana healing, tadabbur alam bagi rakyat maupun wisatawan asing. Bukan sebagai sumber pemasukan utama negara. Makanan minuman wajib halal dan melarang semua aktivitas maksiat, seperti pacaran, ikhtilat, seks bebas, prostitusi dsb.

Demikian, target mewujudkan ribuan desa wisata harus dikritisi. Jika tujuannya untuk menyejahterakan, sudah seharusnya negeri ini menerapkan sistem islam, bukan dengan solusi tambal sulam.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *