Demokrasi Biang Korupsi di Tengah Pandemi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ukhiya Rana (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Sosial, Juliari P Batubara, sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan Corona. KPK menyebut total uang yang diduga diterima Juliari Batubara sebesar Rp 17 miliar. Ketua KPK, Firli Bahuri, mengatakan uang miliaran rupiah itu diterima oleh sang Menteri dari fee dua periode pengadaan bansos. (Detik.com, 06/12/2020)

Bukan hal baru lagi, kasus korupsi di Indonesia memang telah menjamur. Di era pemerintahan Jokowi saja sudah ada empat orang menteri yang menjadi tersangka kasus korupsi. Keempat menteri tersebut berasal dari partai politk. Juliari sendiri menjadi Menteri ke-empat setelah sebelumnya ada Imam Nahrawi (eks Menpora), Idrus Marham (eks Mensos), dan Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan). (Kompas.com, 06/12/2020)

Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei terhadap tren persepsi publik tentang korupsi di Indonesia. Hasilnya 45,6 persen responden menilai korupsi Indonesia meningkat dalam 2 tahun terakhir.

“Kalau kita tanya kepada masyarakat dalam 2 tahun terakhir tingkat korupsi itu menurun, meningkat, atau tidak mengalami perubahan. Seperti bapak ibu yang bisa dilihat disini, lebih banyak masyarakat bahkan ini hampir 50 persen sebetulnya, menyatakan bahwa korupsi itu meningkat,” kata Direktur LSI, Djayadi Hanan, saat konferensi virtual di You Tube LSI, Minggu (6/12). (Detik.com, 02/12/2020)

Kasus yang menjerat Mensos ini pun mendapatkan perhatian dari Institute for Criminal Justice (ICJR). Yang menentang keras pernyataan Ketua KPK terhadap hukuman mati yang patut diberikan kepada Menteri Sosisal, Juliari Peter Batubara.

Menurut Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, selama ini hukuman mati di Indonesia lebih cenderung digunakan sebagai narasi populis, seolah-olah negara telah bekerja efektif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk korupsi. Padahal faktanya tidak ada permaslahan kejahatan yang dapat diselesaikan dengan menjatuhkan pidana mati.

“Pengguna pidana mati tidak pernah sebagai solusi akar maslah korupsi,” ucap Erasmus, Minggu (6/12).

Ia juga menambahkan bahwa narasi pidana mati menandakan bahwa pemerintah berfikir pendek atas penanganan korupsi di Indonesia. Pemberlakuan pidana mati untuk tindak pidana korupsi juga akan mempersulit kerja-kerja pemerintah dalam penanganan korupsi, sebab banyak negara yang jelas akan menolak kerja sama investigasi korupsi jika Indonesia memberlakukan pidana mati. (merdeka.com, 06/12/2020)

Terkuaknya kasus korupsi yang menyeret nama seorang menteri memang bukan kali pertama terjadi. Dan bukan hal yang baru di telinga rakyat negeri ini, mengingat Indonesia merupakan negara yag menjadi ‘sarang’ para koruptor. Namun yang  menambah kemirisan adalah, korupsi dilakukan di masa pandemi yang masih menjadi PR bagi pemerintah untuk memulihkan kembali. Perilaku korupsi dana bansos yang diperuntukan bagi rakyat yang terdampak pandemi sangatlah kejam. Sebab, dana yang seharusnya diberikan kepada para korban pandemi justru dinikmati sendiri. Terlebih dilakukan oleh seorang Menteri Sosial.

Begitulah fakta yang terjadi, sistem demokrasi-kapitalis telah melahirkan manusia-manusia tanpa hati nurani. Yang tega ‘membunuh’ harapan rakyat dan menutup mata hatinya demi memuaskan hasrat duniawinya. Oleh sebab itu, tidak salah apabila para koruptor diberikan ganjaran yang setimpal atas kejahatan yang telah dilakukannya, yaitu pidana mati. Yang akan memberikan efek jera kepada para koruptor lain.

Namun, hukuman mati terhadap koruptor nampaknya tidak akan pernah terealisasi. Selama sistem hukum negeri ini masih mengadopsi sistem kufur demokrasi, maka munculnya kasus-kasus korupsi seperti ini justru akan menjadi ajang ‘pencitraan’ baru. Dan akan menjadi alat untuk adu jotos antar manusia-manusia yang serakah dan haus kekuasaan.

Di sisi lain, peristiwa ini akan memunculkan politik balas dendam antar parpol. Apalagi sang koruptor merupakan kader salah satu partai yang berpengaruh di negeri ini. Sehingga momen ini menjadikan suasana politik demokrasi semakin memanas dan saling menjatuhkan. Tentu dengan tujuan untuk mendulang simpati dan suara rakyat saja. Ibarat pepatah ‘Mencari kesempatan dalam kesempitan.’

Perlu kita ketahui, berbagai kasus korupsi yang menjerat para penguasa negeri ini adalah dampak dari diterapkannya sistem demokrasi-kapitalisme. Di dalam sistem rusak ini korupsi akan tumbuh subur, mulai dari korupsi di tingkat kelurahan hingga ke tingkat kementerian. Sebenarnya masyarakat pun telah mengetahui dan menyadari hal tersebut. Hanya saja masyarakat tidak memiliki pemahaman mengenai solusi jitu untuk mengatasi ‘penyakit’ demokrasi ini. Ditambah dengan tekanan dan himpitan yang memaksa rakyat ini untuk bungkam dan nerimo drama yang terjadi di panggung demokrasi ini.

Maka, dapat dipastikan bahwa sistem kufur ini tidak akan pernah mampu mengatasi korupsi yang telah menjamur di negeri ini. Yang ada hanya solusi pragmatis yang ditawarkan, itu pun sejatinya hanya untuk ajang berlomba dalam meraih simpati penonton. Dan tentu menjadi alat untuk menyingkap borok antar penguasa yang saling beradu.

Cukup sudah rakyat ini terzalimi dengan kebijakan penguasa akibat masih diterapkannya sistem rusak ini. Belum sembuh luka yang menganga, namun sudah ditambah lagi dengan menaburkan garam yang membuat luka semakin pedih dan bernanah. Belum usai penderitaan rakyat akibat kebikajan ngawur pemerintah dalam menangani pandemi, ditambah lagi dengan dirampasnya hak rakyat untuk menerima bansos yang justru dilakukan oleh seorang Menteri Sosial. Sangat kejam bukan?

Sudah saatnya negeri ini kembali pada Islam. Sebab hanya dengan Islam, negeri ini akan menjadi negeri yang makmur. Islam telah menawarkan solusi jitu dalam mengatasi masalah korupsi.

Sebenarnya, faktor utama yang mendasari banyaknya korupsi di negeri ini adalah faktor ideologi. Maka, langkah yang paling utama dan terpenting adalah dengan mewajibkan penghapusan pemberlakuan ideologi demokrasi-kapitalisme di negeri ini. Lalu, setelah dihempskannya sistem rusak dan merusak ini, barulah diterapkan syariat Islam secara sempurna dan menyeluruh sebagai satu-satunya sistem hukum yang berlaku.

Dengan diterapkannya Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang tunggal di negeri ini, barulah syariat Islam akan mampu menjalankan perannya dalam memberantas korupsi, baik dengan langkah preventif (pencegahan) maupun langkah kuratif (penindakan).

Secara preventif negara Khilafah akan menempuh 7 langkah untuk mencegah terjadi korupsi menurut syariat, yaitu:

Pertama, rekrutmen SDM apparat negara mewajibkan berasas pada profesionalitas dan integritas, bukan berasas nepotisme. Atau, dalam istilah Islam wajib memenuhi kriteria kapabilitas (kifayah) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyyah).

“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR. Bukhari)

Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya.

Ketiga, Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparat dan pegawainya.

“Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah ia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah ia menikah. Kalau tidak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR. Ahmad)

Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara.

“Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR. Abu Dawud)

Kelima, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Hal itu pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab, yang menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

Keenam, adanya teladan dari pemimpin.

Ketujuh, pengawasan oleh negara dan masyarakat.

Apabila korupsi telah terjadi, maka Islam mengatasinya dengan mengambil langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yaitu memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Dalam perspektif islam, korupsi disebut dengan perbuatan khianat, dan pelakunya disebut khaa’in. Termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Sehingga sanksi (uqubat) untuk khaa’in bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri. Melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.

Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk koruptor), orang yang merampas harta orang lain, penjambret.” (HR. Abu Dawud)

Bentuk hukumannya mulai dari yang paling ringan (berupa nasihat atau teguran), sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89)

Begitulah cara-cara Islam untuk mengatasi persoalan korupsi, mulai dari langkah preventif hingga kuratif. Yang tentu akan membuat para pelaku korupsi jera. Namun, hukum Islam tidak akan berjalan apabila di negeri ini masih bercokol sistem kufur demokrasi-kapitalisme. Oleh sebab itu, solusi mendasar untuk setiap problematika adalah mengganti sistem kufur ini dengan sistem Islam. Yang akan menerapkan syariat Islam secara sempurna dan menyeluruh, termasuk menerapkan sistem peradilan bagi koruptor.

Wallahu a’lam bish-showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *