Deforestasi Menghantui Indonesia

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Deforestasi Menghantui Indonesia

Nisa Agustina

(Muslimah Pegiat Literasi)

 

Gelar Indonesia sebagai negara paru-paru dunia sepertinya hanya tinggal kenangan. Gelar yang disematkan karena sebagian besar oksigen dunia berasal dari hutan Indonesia kini terancam hilang. Pasalnya menurut laporan Global Forest Review dari World Resources Institute (WRI) disebutkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan 10,2 juta hektare area hutan primer tropis karena mengalami deforestasi (katadata.co,id. 19/01/2024). Deforestasi adalah kondisi luas hutan yang mengalami penurunan karena disebabkan oleh konversi lahan untuk infrastrukur, permukiman, pertanian, pertambangan, dan perkebunan.

Data dari Badan Informasi Geospasial (BIG) juga mengonfirmasi masifnya deforestasi di Indonesia. Pada 2022, luas hutan Indonesia mencapai 102,53 juta hektare. Namun, jumlah tersebut berkurang sekitar 1,33 juta hektare atau turun 0,7% dibanding 2018. Selama periode 2018–2022, wilayah yang paling banyak kehilangan hutan adalah Pulau Kalimantan dengan pengurangan luas hutan mencapai 526,81 ribu hektare. Tidak hanya di Kalimantan, luas hutan juga berkurang di semua pulau besar yang lain, seperti Sumatra, Papua, Sulawesi, Jawa, dll.

Salah satu wilayah yang banyak mengalami deforestasi adalah Riau. Catatan akhir tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) region Sumatra menunjukkan bahwa Riau mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 hektare sepanjang 2023. Angka deforestasi tersebut lebih luas dari rata-rata per tahun dalam lima tahun terakhir. Walhi mengungkapkan bahwa sekitar 57% daratan Riau telah dikuasai investasi. (CNN Indonesia, 12/1/2023).

Demi investasi di wilayah tersebut, pemerintah telah memberikan izin kepada 273 perusahaan kelapa sawit, 55 hutan tanaman industri (HTI), 2 hak pengusahaan hutan (HPH), dan 19 pertambangan. Luas kebun kelapa sawit di Riau yang berada dalam kawasan hutan mencapai 1,8 juta hektare.

Walhi memandang UU 6/ 2023 tentang Cipta Kerja telah memfasilitasi keberadaan kebun sawit di dalam kawasan hutan. Mirisnya, alih-alih menghentikan alih fungsi hutan, pemerintah justru memutihkan 3,3 juta ha kebun sawit. Artinya, deforestasi tersebut seolah dibenarkan dan direstui negara.

Akibat masifnya deforestasi, terjadilah bencana dan kesulitan hidup bagi rakyat. Rakyat kehilangan ruang hidup dan menjadi korban bencana alam seperti banjir bandang, kebakaran hutan, tanah longsor, kenaikan suhu secara global, hilangnya sumber air, punahnya ekosistem, dan lainnya. Pada saat para kapitalis (pemilik modal) berpesta cuan sebagai hasil menggunduli hutan, rakyat menangis dalam penderitaan.

Tidak hanya manusia yang terkena dampaknya, alam pun ikut berduka. Inilah kerusakan yang disebut di dalam Al-Qur’an sebagai akibat ulah “tangan” manusia. Allah Swt. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41).

Pangkal kerusakan terjadinya deforestasi ini akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini meniscayakan adanya kesenjangan antara kelestarian lingkungan dan pembangunan. Seolah melesatnya pembangunan hanya bisa diperoleh dengan mengorbankan lingkungan. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi dinomorsatukan. Demi meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan harus digenjot, meski dengan merusak hutan.

Ketika ada hutan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan atau tambang, bukan aktivitasnya yang dihentikan dan pengusahanya diberi sanksi, tetapi status hutannya yang diubah sehingga legal untuk digunduli.

Sistem kapitalisme juga menuhankan keuntungan materi sehingga segala cara boleh ditempuh demi menangguk untung. Keuntungan menjadi sesuatu yang sangat dominan dan bahkan menjadi tujuan setiap perbuatan. Akibatnya, pengusaha kapitalis menghalalkan segala cara demi meraih keuntungan, termasuk dengan merusak hutan, membakarnya, dll.

Agar kerusakan ini tidak terus menerus terjadi, maka langkah penting yang harus kita lakukan adalah dengan menghentikan penerapan sistem kapitalisme yang serakah. Sistem inilah yang menjadi biang kerok deforestasi secara masif. Perlu adanya perubahan paradigma pembangunan yang eksploitatif ala kapitalisme menjadi paradigma pembangunan yang bertanggung jawab terhadap alam seperti yang diterapkan dalam sistem Islam.

Di dalam Islam, manusia diperintahkan untuk menjaga kelestarian alam dan tidak boleh melakukan kerusakan di muka bumi. Allah berfirman, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik.” (Qs. Al-A’Raf : 56)

Pembangunan dalam Islam bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat dan dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab, bukan cara yang eksploitatif, sehingga membawa kebaikan dan keberkahan bagi manusia, hewan, maupun alam.

Berdasarkan syariat tentang kepemilikan, hutan termasuk kepemilikan umum sehingga tidak boleh dikuasai swasta, baik untuk perkebunan, tambang, pariwisata, maupun yang lainnya. Negara harus mengelola hutan dengan bertanggung jawab dan menggunakan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam pelestarian lingkungan, Islam sudah lama mengenal konservasi yang disebut sebagai “hima”. Negara bisa meng-hima (memproteksi) kawasan hutan tertentu untuk cagar alam demi melindungi flora atau fauna tertentu, bisa juga memproteksi hutan lindung demi kelestarian lingkungan dengan melarang masyarakat untuk mengambil apa pun dari hutan tersebut.

Nabi Muhammad saw. pernah menyebutkan tentang hima sebagai tempat yang menyenangkan. Pada masanya, tempat ini adalah padang rumput yang tidak boleh seorang pun menjadikannya sebagai tempat menggembala ternak.

Nabi Muhammad saw. bahkan menunjuk beberapa tempat yang dijadikan sebagai hima di dekat Madinah. Peneliti bidang kajian Islam, Syauqi Abu Khalil dalam Atlas Hadits menyebutkan bahwa di lokasi hima diterapkan, ada larangan berburu binatang dan merusak tanaman demi menjaga ekosistem. Bahkan, manusia dilarang memanfaatkannya selain kepentingan bersama.

Pemimpin dalam Islam yaitu Khalifah juga melakukan edukasi pada rakyat melalui sistem pendidikan dan departemen penerangan (informasi dan telekomunikasi) agar seluruh rakyat turut andil dalam penjagaan hutan. Negara mengerahkan polisi untuk menjaga hutan dari serangan para penjarah hutan.

Individu maupun perusahaan yang melanggar aturan terkait penjagaan hutan, misalnya melakukan illegal logging, akan diberi sanksi yang tegas berupa ta’jir. Hukumannya bisa berupa kurungan, pengasingan, denda, dan sebagainya. Dengan demikian akan menimbulkan efek jera dan terwujud keamanan hutan.

Komitmen penuh Khilafah dalam pelestarian hutan akan membawa dampak global, yaitu lestarinya bumi. Dengan demikian, terwujudlah rahmat bagi semesta alam.

Wallahu a’lam bish showab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *