Deforestasi di Indonesia dan Pengaruhnya Ke Perubahan Iklim Ekstrim

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Deforestasi di Indonesia dan Pengaruhnya Ke Perubahan Iklim Ekstrim

Dewi

Kontributor Suara Inqilabi

 

Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG), luas hutan Indonesia pada 2022 mencapai 102,53 juta hektare (ha). Angka itu berkurang sekitar 1,33 juta ha atau turun 0,7% dibanding 2018. Selama 2018-2022, hutan yang hilang paling banyak berada di Pulau Kalimantan. Dalam periode tersebut, pengurangan luas hutan di Kalimantan mencapai 526,81 ribu ha. Luas hutan juga berkurang di semua pulau besar seperti Sumatra, Papua, Jawa, Bali, NTT, NTB dan Maluku. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia 2018-2022, luas hutan berkurang karena berbagai faktor, yaitu peristiwa alam, penebangan hutan, dan reklasifikasi area hutan. (databoks.katadata.co.id/, 29/12/2023)

Masifnya deforestasi dan alih fungsi hutan terus terjadi dan mengakibatkan bencana dan kesulitan hidup rakyatnya. Seperti contoh pada kasus pembabatan hutan di Kabupaten Gunung Mas di Kalimantan Tengah. Hutan di Kabupaten Gunung Mas tumbuh subur pepohonan khas tropis lengkap dengan berbagai jenis tumbuhan dan binatang langka, termasuk orangutan, harimau, dan berbagai spesies burung khas tropis. Berbanding terbalik dengan keadaan sekarang. Hutan dibabat habis dan di alih fungsikan menjadi kebun kelapa sawit, pertambangan dan proyek food estate oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan).

Akibat dari alih fungsi lahan tersebut menjadikan hilangnya fungsi hutan sebagai resapan air sehingga di daerah Kabupaten Gunung Mas sering terjadi banjir. Selain banjir pembabatan hutan di daerah Kalimantan yang notabene adalah sebagai kawasan yang dilistasi oleh garis khatuliswa menjadikan perubahan iklim di seluruh wilayah di dunia termasuk wilayah Indonesia sendiri. Efek lain selain bencana banjir dan perubahan iklim perubahan cuaca, pembabatan hutan secara masif juga membuat warga sekitar kehilangan mata pencaharian.

Inilah dampaknya jika hutan dikelolah dengan sistem sekuler kapitalis. Secara tersistem membuat manusia khususnya para kapital menjadi rakus. Mereka menghalalkan segala cara untuk menghasilkan pundi-pundi cuan. Tidak peduli dengan kerusakan lingkungan akibat ulangnya.

Hal ini tidak akan kita jumpai dalam sistem islam. Dalam sistem islam tidak hanya memperhatikan kesejahteraan kaum muslimin saja. Akan tetapi juga memperhatikan terhadap pengelolaan dan penjagaan hutan. Sesuai hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Hadits tersebut memberikan gambaran bahwa kekayaan alam yang terdiri dari padang rumput (termasuk hutan), air (air laut atau air tawar) dan api (tambang) adalah milik seluruh rakyat. Bukan milik personal atau bahkan asing. Siapapun tak boleh memilikinya, bahkan negara hanya berhak untuk mengelolanya. Hasil dari pengelolaan itu dikembalikan seluruhnya untuk rakyat. Islam melarang pengelolaan sumber daya alam oleh perusahaan swasta (asing, aseng) maupun individu. Penanggung jawab pengelolaan hanya diserahkan pada negara. Jika negara membutuhkan para ahli dalam pengelolaannya, maka orang-orang asing akan dipekerjakan dengan akad sebagai pekerja, bukan pemilik perusahaan. Pembukaan lahan sebagai perkebunan, Islam juga akan memperhatikan AMDAL.

Karena Islam memahami hutan sebagai kekayaan yang harus dijaga. Dan hutan memiliki manfaat sebagai penjaga keseimbangan alam. Hutan menghasilkan oksigen yang dapat menekan efek rumah kaca dan memberikan kehidupan bagi para manusia serta binatang lainnya sehingga keseimbangan alam tetap terjaga. Oleh karena itu, keberadaan hutan harus dipertahankan. Jika ada yang dibuka untuk usaha, akan ditentukan dengan memperhitungkan kebutuhan bukan keuntungan.

Para pelanggar aturan yang membuka lahan seenaknya atau secara sembunyi-sembunyi, akan dikenakan sanksi tegas sesuai dengan jenis kesalahannya. Tindakan yang dilarang negara adalah seperti mencuri hasil hutan, merusak hutan, atau membuka lahan tanpa izin pemegang kebijakan atau negara. Hal tersebut menimbulkan efek jera untuk para pengusaha yang berani meraup untung besar dengan mengorbankan masyarakat. Jika hal ini dijalankan secara teratur, hutan dijaga dan diperbaiki, penghijauan dilakukan terus-menerus, maka teori efek menumpuk akan berlaku kembali. Hutan Zamrud Khatulistiwa akan kembali sehat dan menjadi paru-paru dunia. Kuncinya terletak pada Islam sebagai sistem aturannya bukan pada kapitalisme yang jelas merusak karena keserakahannya.

Wallahu’alam bisshowwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *