Dari LGBT Sampai Kesejahteraan Masyarakat Indonesia

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Desi Anggraeni Putri (Aktivis Dakwah Subang)

 

Setelah beberapa pekan yang lalu dihebohkan oleh podcastnya Deddy Corbuzier (DC), yang mengundang dua orang pelaku LGBT, menjadi sorotan dan menjadi bahan perdebatan para masyarakat. Walaupun memang pada akhirnya, DC sendiri yang men-take down konten tersebut.

Tak cukup sampai disana, jika kita melihat kebelakang sampai detik ini, permasalahan yang berkaitan dengan LGBT bukanlah yang sekali, dua kali diperbincangkan di Indonesia, padahal Indonesia merupakan mayoritas Muslim terbesar di dunia.

Seperti pada 20 Januari 2018, yang diliputi oleh Kumparan.com, bahwa Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan mengungkapkan ada lima fraksi di DPR RI yang dianggap “menyetujui perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT)”. Diungkapkannya pada kegiatan Tanwir I Aisyiyah di Surabaya.

Pria yang juga menjabat Ketua Umum Partai PAN itu juga mengungkapkan bahwa hal tersebut disebabkan oleh kesenjangan politik di Indonesia di mana keinginan masyarakat berlawanan dengan keinginan DPR.

Kesenjangan politik itu, kata dia, yang menjadi salah satu pekerjaan rumah yang harus mampu diperbaiki bersama karena Indonesia sudah terjadi reformasi sejak 20 tahun lalu yang dimulai dari mahasiswa bersama Amien Rais untuk mengoreksi penyimpangan terhadap cita-cita Indonesia merdeka.

“Cita-cita agar masyarakat Indonesia bisa hidup sejahtera. Bung Karno mengatakan, kita harus merdeka agar bisa bersatu. Kita harus bersatu agar bisa berdaulat. Kita harus berdaulat agar bisa berlaku adil. Kita hatus berlaku berlaku adil agar masyarakat Indonesia sejahtera,” kata Zulkifli.

Perbedaan Pendapat

Kita ketahui, hukum yang saat ini sedang diterapkan adalah hukum Kapitalis, yang memiliki asas Sekuler (memisahkan Agama dari kehidupan). Menjadikan Agama hanya sekedar mengatur ibadah ritual saja, sedangkan aturan kehidupan hanya diatur oleh aturan buatan manusia.

Manusia yang diciptakan oleh sang Khalik memiliki kesempurnaan, yaitu berupa akal. Namun tidak menjadikan manusia berhak memberikan aturan kehidupan, sebab kita ketahui sendiri, sifat manusia itu adalah terbatas.

Dalam berkeluarga saja, perbedaan pendapat itu selalu ada. Bahkan merasa diri selalu benar dibandingkan orang lain. Sehingga orang yang memiliki kuasa, bisa melakukan wewenang sesuai keinginannya, yang padahal semua itu belum tentu baik untuk dirinya maupun untuk orang lain.

Sistem Kapitalis, karena memiliki asas Sekuler, dalam pemerintahan yang berwenang membuat aturan adalah wakil rakyatnya. Setuju atau tidak, rakyat tidak akan didengar, tidak akan berefek untuk aturan.

Seperti dalam kasus LGBT, pada tahun 2018 Zulkifli Hasan sampai mengatakan bahwa ada lima partai di DPR yang dukung LGBT. Kalau kita lihat dari sudut pandang agama, jelas hukumnya haram, termasuk dosa besar dan sanksinya sangat keras. Begitupun dalam sudut pandang kesehatan, dapat menularkan penyakit HIV/AIDS, yang sampai detik ini tidak ada obatnya. Dan dari sudut sosial, LGBT melanggar norma masyarakat dan menyebabkan terhentinya regenerasi umat manusia.

Bahkan LGBT tidak hanya menyerang kalangan orang dewasa, namun juga kini sudah mulai menyerang kalangan anak-anak, bahkan anak sekolah.

Tak Ada Kata Sejahtera

Mengharapkan sebuah Negara yang sejahtera dalam aturan Kapitalis, ibaratkan fatamorgana, yang bisa dinikmati bayangan saja, tak bisa dinikmati dalam sesungguhnya.

Sehingga apa yang dikatakan oleh Zulkifli Hasan, yang mengatakan bahwa bercita-cita agar masyarakat Indonesia bisa hidup sejahtera, maka kita harus merdeka, agar bisa bersatu, agar bisa berdaulat, agar bisa berlaku adil sehingga masyarakat Indonesia sejahtera.

Nyatanya semua memang sangat sulit diterapkan dalam sistem Kapitalis. Karena didalamnya hanya ada keserakahan manusia, yang penting dirinya untung, yang penting hidupnya nyaman, yang penting hidupnya enak, gak peduli dengan kondisi masyarakatnya.
Buktinya, banyak kasus-kasus yang telah terjadi di Negara kita. Mulai dari kasus korupsi, kesenjangan sosial, pungli, kemiskinan, dan lainnya.

Begitupun dengan kasus LGBT justru dibiarkan, dengan alasan kebebasan berpendapat, dan bertingkah laku. Sehingga aturan agama dilanggar, tidak melihat kisah-kisah terdahulu, seperti yang pernah terjadi pada kaum Nabi Luth.

Padahal, ketika seseorang bukan pelaku LGBT, namun dia mendukung, maka kita bisa lihat, bagaimana kondisi istri Nabi Luth yang ikut terkena azab bersama kaum Sodom oleh Allah subhanahu wa ta’alaa.

Islam Punya Solusi yang Tepat

Dalam Islam, sangat jelas memiliki aturan yang langsung dari sang Khalik. Sehingga setiap aturan yang diambil oleh manusia, itu terbaik untuk kehidupan di dunia dan akhirat. Bukan nafsu yang diutamakan, justru ketaatan untuk meraih ridho dari-Nya.

Karena aturan yang langsung dari al-Khaliq, maka tidak akan ada orang yang mendukung maupun menjadi bagian LGBT. Sebab, sudah sangat jelas keharamannya.

Justru sebelum LGBT menular, Islam langsung menindak orang yang menyebarkannya. Diberikan arahan dan bimbingan, jika sampai menularpun, akan langsung dihukum.
Semua tidak bisa dilakukan pada sistem Kapitalis, yang justru bukan aturan Allah yang diterapkan. Melainkan hanya dengan sebuah sistem yang menerapkan aturan Islam secara kaffah dalam bingkaian daulah khilafah.

Wallahu’alam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *