Dana Desa, Lahan Basah Korupsi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Dana Desa, Lahan Basah Korupsi?

Wiwik Afrah

(Aktivis Muslimah)

 

Kepala desa menuntut kenaikan alokasi dana desa menjadi sekurangnya 10% dari APBN. Harapannya untuk meningkatkan kualitas pembangunan di wilayah perdesaan. Sejumlah indikator memang menunjukkan dana desa berhasil mendongkrak perekonomian di desa, tetapi kasus korupsi juga banyak terjadi. Tak hanya menuntut perpanjangan masa jabatan, para kepala desa juga meminta pemerintah menaikkan anggaran dana desa.

Mereka meminta alokasi dana desa sebesar 10% terhadap APBN atau mencapai Rp. 300 triliun dari total APBN 2023 yang mencapai Rp. 3.061,2 triliun. Permintaan tersebut tiga kali dari alokasi dalam APBN 2022 sebesar Rp. 68 triliun. Sejak berlaku pada tahun 2015, anggaran dana desa sebetulnya terus mengalami peningkatan. Total dari penyaluran dana desa hingga 2022 mencapai Rp. 468,9 triliun.

Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), terdapat 74.960 desa penerima dana desa pada 2022. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan 74.093 desa pada 2015. Rata-rata setiap desa memperoleh anggaran sebesar Rp. 907,1 juta pada 2022. Angka ini mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan 2015, yang hanya Rp. 280,3 juta.

Abdul Halim Iskandar selaku Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia menegaskan bahwa dana desa diperuntukkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia. Oleh karena itu, ia mengeklaim sudah membuat sejumlah sistem sehingga tingkat transparansi penggunaan dana desa sudah yang paling baik dibandingkan semua pendanaan di level pemerintahan.

Menurut Halim, distribusi dana desa sudah tepat sasaran. Bahkan, ia berani menjamin tidak akan ada pembangunan mangkrak di seluruh desa di Indonesia. Ia juga menjamin keamanan dana desa sudah dilakukan secara berlapis, baik inspektorat kementeriannya maupun aparat penegak hukumnya. (Tirto, 30-6-2023).

Namun, klaim tersebut tampak tertolak mengingat kasus korupsi yang marak menjerat para kepala desa. Dana desa seperti lahan basah korupsi. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2022, kasus korupsi di sektor desa merupakan yang terbanyak ditangani oleh aparat penegak hukum. Sejak UU 6/2014 tentang Desa terbit, ada tren kenaikan yang konsisten perihal kasus korupsi di desa.

Dari 155 kasus korupsi desa pada 2022, terdapat 133 kasus berkaitan dana desa dan 22 kasus berkaitan dengan penerimaan desa. Korupsi dana desa tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 381 miliar. Jika melihat berdasarkan pelaku/aktor, kepala desa menempati posisi ketiga yang paling banyak terjerat kasus korupsi, sedangkan posisi pertama dan kedua adalah pegawai pemerintahan daerah dan swasta. (Katadata, 8-4-2023).

Karut-marut dana desa akan terus berpolemik selama sistem demokrasi kapitalisme tetap berlaku. Sistem ini memang membuka banyak celah korupsi. Bayangkan saja, aturan dan UU bisa direvisi sesuai kepentingan, minim pengawasan, dan belum ada penindakan hukum yang tegas pada pelaku korupsi. Alhasil, korupsi makin menjadi dari tingkat pusat hingga desa. Sistem demokrasi sendirilah yang membuka angka korupsi makin menganga. Mengapa demikian?

Pertama, pelaksanaan pemilihan kepala desa tidak jauh berbeda dengan pilkada yang rentan dengan politik uang. Sudah jamak kita ketahui, terpilihnya seseorang dalam pemilihan model demokrasi kebanyakan tidak akan melihat kapasitas dan kapabilitas individunya, melainkan seberapa besar dukungan masyarakat dan citra yang dimunculkan sepanjang kompetisi dan kampanye. Dari sinilah terbuka celah praktik politik uang, yakni “membeli” suara masyarakat dengan pemberian sembako ataupun amplop uang.

Kedua, iming-iming gaji bagi kades terpilih akan memunculkan persaingan sengit antara komponen tokoh desa. Meski nominal gajinya tidak terlalu besar, tetap saja keinginan mendapat gaji layak sudah menjadi fitrah bagi setiap manusia di tengah impitan ekonomi yang serba sulit saat ini. Alhasil, mereka yang berhasrat menjadi calon kades selanjutnya akan membangun citra yang baik di mata masyarakat desa. Sebagaimana pendahulunya di tingkat pusat, politik pencitraan di tingkat desa akan menjadi habits bawaan pemilu demokrasi.

Ketiga, latar belakang pendidikan yang berbeda akan memunculkan masalah baru. Kades yang tidak memiliki basis pengetahuan dasar perihal pengelolaan dana desa yang jumlahnya miliaran akan kesulitan mengatur dana sebanyak itu. Di sinilah potensi dana desa tidak tepat sasaran akan terjadi. Begitu pula penyalah gunaan dana desa juga riskan terjadi. Dengan model pemilihan Kades yang mengacu pada sistem demokrasi, tentu membutuhkan dana kampanye yang tidak sedikit. Cara paling mudah dan tercepat untuk mengembalikan dana kampanye ialah dengan melakukan korupsi. Itulah sebabnya kasus korupsi tidak pernah bisa selesai tuntas.

Dalam pemerintahan islam (Khilafah), setiap penguasa yang berada di bawah komando khalifah akan dipilih secara langsung oleh khalifah, seperti wali (setingkat gubernur), amil (setingkat kab/kota), dan mudir (setingkat desa). Tidak ada pemilihan kepala per desa atau wilayah sebagaimana praktik pemilu demokrasi. Selain untuk efesiensi dan efektivitas waktu, hal itu mencegah terjadinya politik uang, transaksional, dan korupsi.

Terkait kasus korupsi, Islam memiliki tata cara memberantas korupsi dengan tuntas, di antaranya pertama, membangun integritas kepemimpinan di semua level pemerintahan, yaitu ketakwaan pada setiap individu. Dalam sistem Islam, loyalitas kepemimpinan harus bersandar pada ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan asas kepentingan kelompok, golongan, apalagi kerabat/ keluarga. Para pemimpin di tingkat pusat hingga desa menjalankan tugas dan amanah yang diberikan hanya untuk memenuhi kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya.

Nabi saw. bersabda,

“Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang ia pimpin.” (HR Al-Bukhâri, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Amr).

Kedua, memfungsikan Badan Pengawas Keuangan secara optimal. Mengapa kasus korupsi selalu terjadi? Salah satu faktornya ialah minimnya pengawasan dari negara. Dalam sistem Khilafah, terdapat Badan Pengawas/Pemeriksa Keuangan yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat negara. Aturan dan perundang-undangan yang berlaku adalah hukum Islam sehingga tidak ada celah untuk membuat, merancang, atau jual beli hukum karena hukum Islam bersifat mutlak dan baku.

Ketiga, menegakkan sistem sanksi Islam yang mampu memberikan efek jera dan pelajaran bagi mereka yang memiliki niat untuk korupsi atau bertindak kriminal lainnya.  Hukumannya tergantung wewenang khalifah, yaitu takzir dengan pemberian sanksi sesuai kadar kejahatannya. Bisa berupa penjara, pengasingan, hingga hukuman mati.

Dengan demikian penerapan Islam secara kaffah, korupsi bisa terselesaikan tanpa banyak drama dan episode yang berlarut-larut. Untuk membabat habis korupsi, haruslah dengan mencabut akar masalahnya, yaitu mengganti sistem demokrasi kapitalisme dengan sistem Islam sebagai solusi satu-satunya dalam menyelesaikan problematika kehidupan yang kian pelik.

Wallahu a’lam bish-showab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *