Childfree, Gaya Hidup Rusak yang Lahir dari Sistem Sekulerisme

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Childfree, Gaya Hidup Rusak yang Lahir dari Sistem Sekulerisme

 

Ummu Asma’

Kontributor Suara Inqilabi 

 

Kehidupan manusia kini mengalami perubahan yang signifikan. Mulai dari gaya hidup, pola pikir, hingga tujuan hidup mulai bergeser ke arah sekulerisme. Jika manusia tidak memiliki pondasi prinsip yang kuat, maka ia akan mudah tergerus terbawa arus gaya hidup dan pola pikir yang sedang tren. Banyaknya ide-ide barat yang terus dikampanyekan baik secara langsung maupun melalui media sosial, sehingga menyebabkan masyarakat terpengaruh dengan ide tersebut. Salah satunya, ide yang sudah dan masih terus dihembuskan adalah gaya hidup childfree atau tidak memiliki anak.

Fenomena childfree ini sebenarnya bukan hanya soal pilihan dan sikap tidak memiliki anak, tetapi di balik itu ada fenomena gunung es yang harus dibongkar. Secara historis, childfree ini lahir dari paham bukan Islam. Terlebih childfree dikampanyekan oleh beberapa publik figur dan influencer yang menggandrungi media sosial seperti instagram, tiktok, dan youtube. Sehingga pernyataan mereka mudah membius generasi yang lemah saat ini. Walaupun masih terjadi pro-kontra di tengah-tengah masyarakat, tetap hal ini harus menjadi perhatian serius dari segala lini, agar tidak terjadi kerusakan yang timbul dari gaya hidup childfree.

Marcela Munoz warga asal AS sebagai pemilik akun Childfree Millennial di TikTok, Instagram, dan YouTube, adalah satu dari semakin banyak influencer dengan konten yang dirancang untuk memvalidasi alasan mereka tidak pernah ingin memiliki anak. Dia meyakini anak-anak akan mengganggu hasratnya untuk melakukan perjalanan spontan, pelatihan sepak bola, atau sekadar rebahan sepanjang hari. (BBCNews.com, 25/2)

Parahnya, gaya hidup childfree terjadi bukan hanya pada orang-orang barat saja. Tapi sudah menjangkit pada generasi muslim. Gita Savitri misalnya, yang lebih dikenal dengan Gitasav selebgram Indonesia memutuskan untuk childfree karena merasa bahwa dirinya tidak layak menjadi seorang ibu. Berbagai alasan yang dilontarkan oleh orang-orang yang memilih childfree mencerminkan liberalisasi yang sudah menjamur di tengah-tengah umat. Mereka merasa keputusan untuk tidak memiliki anak adalah bagian dari hak asasinya untuk menentukan hidupnya. Orang-orang di sekitarnya bahkan negara pun tidak berhak melarang atas keputusan yang telah mereka ambil. Disini bisa kita lihat keegoisan yang ada pada diri mereka yang tidak peduli terhadap dampak yang akan terjadi kedepannya atas keputusan mereka ini.

Istilah childfree telah ada sejak awal 1900-an, meskipun baru pada tahun 1970-an para feminis mulai menggunakannya secara lebih luas, sebagai cara untuk menunjukkan perempuan yang secara sukarela tidak memiliki anak. Bagi kaum feminis, keputusan childfree diambil dalam rangka mencapai keadilan gender dan orientasi karir kaum perempuan. Hal ini terus digaungkan oleh mereka kaum feminis. Menurut mereka, perempuan berhak hidup bebas tanpa adanya gangguan yang menghalangi perempuan dalam menggapai cita-cita. Dan hal ini merupakan kesalahan dalam memahami keadilan. Dalam Islam, adil bukan berarti harus sama. Karena Islam memahami tabi’at laki-laki dan perempuan itu berbeda. Maka tugas dan peranannya pun berbeda. Masing-masing memiliki peranan penting dalam membangun peradaban. Sehingga bisa melengkapi dan mengokohkan satu sama lain. Maka harus segera disadari bahwa narasi childfree ini membahayakan generasi.

Gaya hidup childfree telah menyalahi fitrah manusia dan mencabut naluri dari manusia. Karena sejatinya, tatkala Allah menciptakan manusia disertai naluri-nalurinya. Salah satunya adalah gharizah nau’ atau naluri melestarikan keturunan. Dengan adanya gaya hidup childfree ini, manusia keluar dari fitrahnya untuk melestarikan keturunan, sehingga semakin rusaklah tatanan kehidupan manusia saat ini. Ketika banyaknya orang memilih childfree, maka akan terjadi krisis regenerasi, krisis demografi, dan yang lebih parah krisis peradaban.

Tak hanya itu, childfree ini telah menyalahi kodratnya perempuan. Dimana tabi’atnya perempuan itu lebih nyaman di rumah untuk mengurusi anak-anak dan keluarganya. Tapi dengan adanya ide ini, para perempuan lebih senang hidup bebas tanpa harus mendengarkan tangisan atau rengekan dari anak-anak. Jika kita melihat bagaimana dulu Siti Khadijah ketika sudah menikah dengan Rasulullah salallahu’alaihi wassalam, Siti Khadijah lebih memilih tinggal di rumah untuk merawat dan mendidik anak-anaknya. Beliau rela meninggalkan kariernya sebagai seorang saudagar militan, dan menyerahkan semua pekerjaannya itu kepada suaminya, yaitu Nabi Muhammad.

Inilah buah dari terus ditanamkannya ide sekuler-kapitalis, yang menjadi orientasi hidup para generasi muslimah hanya berkutat pada duniawi saja. Mereka tidak tahu tujuan atau hakikat hidup sebenarnya. Mereka tidak memahami bagaimana mulianya seorang ibu yang ikhlas mendidik dan merawat anak-anaknya, hingga harus mengorbankan waktu tidurnya dan terdapat banyak ladang pahala di dalamnya. Hal ini telah dilupakan oleh generasi muslim saat ini, bahwa ajaran Islam menyebutkan jika di dunia itu adalah tempatnya untuk berlelah-lelah, dan di akhirat adalah tempat untuk beristirahat yang sesungguhnya. Seperti yang tercantum dalam firman Allah Ta’ala:

لا يَمَسُّهُمْ فِيهَا نَصَبٌ وَمَا هُمْ مِنْهَا بِمُخْرَجِينَ

“Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya.” (QS. Al-Hijr: 48)

Islam memandang banyak kemuliaan bagi perempuan yang melahirkan anak, merawat dan mendidik anak. Seperti dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam,

“Barangsiapa diuji dengan anak-anak perempuan, kemudian berlaku baik kepada mereka, niscaya mereka menjadi penghalangnya dari neraka.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Bahkan Rasulullah menyukai jika diantara kaumnya banyak yang memiliki anak. Dalam Islam, jika ada wanita yang melahirkan dan Ia meninggal, maka matinya setara dengan mati syahid karena perjuangannya melahirkan seorang anak. Bahkan jika orang tua bisa mendidik anaknya menjadi anak sholeh, maka doa anak sholeh inilah yang akan terus mengalir kepada orang tua yang sudah meninggal.

Hanya dalam Islam, yang bisa memandang manusia seutuhnya sesuai dengan fitrahnya. Para pasangan suami istri berusaha untuk mendidik anak-anaknya supaya menjadi hamba yang bertaqwa. Kaum muslim paham bahwa memiliki anak itu terdapat ladang pahala disana. Ketika syariat Islam diterapkan akan mendorong kesadaran kepada kaum muslim bahwa hidup ini untuk beribadah kepada Allah, termasuk memiliki anak. Karena dengan adanya keturunan, bisa meneruskan perjuangan dakwah Islam ke seluruh dunia.

Wallahu’alam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *