Carut Marut PPDB, Hak Pendidikan Terabaikan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ani Susilowati (Aliansi penulis rindu Islam)

Protes keras orangtua murid terjadi saat konferensi pers Dinas Pendidikan DKI Jakarta di Kantor Disdik DKI, Kuningan Jakarta Selatan, Jumat pagi (26/06/2020).

Hotmar Sinaga, orangtua salah satu murid ini marah karena anaknya yang berusia 14 tahun, gagal masuk ke SMA, karena terlalu muda. Hotmar menilai sistem zonasi yang diterapkan tidak sesuai dengan aturan soal jarak domisili ke sekolah yang dituju, tetapi mementingkan kriteria usia.

Dalam keterangan persnya, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Nahdiana menyarankan kepada orangtua yang anaknya gagal dalam jalur zonasi penerimaan peserta didik baru tahun 2020, untuk mengikuti jalur prestasi. Terkait penerimaan berdasarkan usia, Pemprov DKI menegaskan, hanya menjalankan peraturan kemendikbud berdasarkan surat keputusan kepala dinas pendidikan nomor 501 tahun 2020 tentang penetapan zonasi sekolah untuk penerimaan peserta didik baru tahun pelajaran 2020-2021.

Apabila jumlah pendaftar PPDB jalur zonasi melebihi daya tampung, maka dilakukan seleksi berdasarkan usia, urutan pilihan sekolah, dan waktu mendaftar.

Pada 23 Juni lalu, orangtua murid berunjuk rasa di Kantor Gubernur DKI Jakarta memprotes aturan PPDB zonasi di wilayah Jakarta. Mereka protes prioritas penetapan PPDB berdasarkan usia.
Meski ada jalur prestasi, Namun kuota untuk jalur tersebut minim. Sebagian akhirnya harus bersiap mencari sekolah swasta jika sekolah negeri di zona mereka tidak dapat menampung. Dan sudah umum diketahui sekolah swasta membutuhkan biaya yang cukup mahal, tentu hal ini sangat memberatkan.
Tak hanya warga DKI, daerah lain pun mengeluhkan PPBD zonasi yang banyak kendala. Baik karena faktor teknis, seperti kesulitan jaringan internet, persoalan akun, tak mendapatkan verifikasi dari sekolah dan sebagainya maupun tekait aturan zonasi.

Carut marut PPDB zonasi tahun ini benar-benar merisaukan banyak pihak. Saat bukan pandemi saja sudah sarat masalah, apalagi kini di tengah pandemi. Beginilah wajah dunia pendidikan Indonesia saat ini. Carut marut PPBD zonasi semakin menguatkan betapa lemahnya negara saat ini mengurus kebutuhan pendidikan rakyatnya. Padahal pendidikan adalah hak mendasar individu dan masyarakat.

Jika ditelusuri, problem PPDB Zonasi ini sejatinya tak lepas dari paradigma pengelolaan kekuasaan negara Neoliberal dimana negara dituntut memberi kesempatan seluas-luasnya kepada swasta (masyarakat) untuk terlibat dalam kewajiban yang seharusnya dilakukan negara, sehingga negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator.

Peranan sekolah swasta menjadi hal yang sangat diharapkan dalam proses pendidikan. Kemitraan Pemerintah dengan swasta dianggap solusi. Pemerintah akan mendorong pihak swasta penyelenggara pendidikan agar memahami kebutuhan masyarakat.

Dalam sistem Kapitalis, pendidikan kerap dijadikan alat pengeruk keuntungan. Berharap pendidikan murah berkualitas pada swasta dalam sistem kapitalis saat ini tentu tidak bisa menjadi kenyatanan. Karena itulah, peran negara pada penyelenggaran pendidikan dibutuhkan.

Paradigma Negara sebagai regulator dikuatkan oleh manajemen pemerintahan yang keliru, yakni otonomi daerah yang memicu problem aturan zonasi. Contoh, hanya karena kendala administrasi wilayah, ada sebagian warga masyarakat (terutama di perbatasan) yang tidak bisa bersekolah di sekolah yang paling dekat dengan tempat tinggalnya.

Problem kondisi sekolah dan kualitas guru di Indonesia yang belum merata kualitasnya, tentu terkait Otonomi Daerah. Menurut data terakhir Kemendikbud, ruang kelas yang kondisinya tergolong baik tidak mencapai 50% di seluruh Indonesia. Sehingga pemerintah daerahlah yang terus didorong untuk mengupayakan solusi masalsh ini.

Dengan kebijakan otonomi daerah ini, banyak wilayah yang sangat minim pendapatan daerahnya sehingga tak mampu menggaji guru honorer secara layak. Maka bagaimana mungkin pendidikan akan maju dan merata di setiap daerah?

Parahnya, ditambah lagi dengan kesalahpahaman masyarakat saat ini tentang pendidikan yaitu hanya sebatas mengejar nilai dan prestasi. Sehingga mereka berusaha mengejar prestasi demi memasuki sekolah favorit mereka. Semakin menambah runyam masalah pendidikan.

Berbada dalam sistem Islam, kepala negara (Khalifah) adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara. Negara hadir sebagai pelaksana (operator, bukan regulator atau fisilitator) dalam pelayanan pendidikan. Negara bertanggung jawab untuk memberikan sarana prasarana, baik gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya, guru kompeten, kurikulum sahih, maupun konsep tata kelola sekolahnya.

Negara juga harus memastikan setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pendidikan secara mudah dan sesuai kemampuannya. Birokrasi negara berpegang kepada tiga prinsip: kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas orang yang mengurusi. Dengan prinsip ini kerumitan mendaftar sekolah sangat bisa diminimalisasi.

Sebagai operator (pelaksana tanggung jawab), negara tidak boleh menyerahkan urusannya kepada swasta seraya berlepas tanggung jawab. Dalam negara Khilafah, sekolah swasta memang diberi kesempatan untuk hadir memberikan kontribusi amal salih di bidang pendidikan.

Mereka boleh mendirikan sekolah, lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal. Namun, keberadaan mereka tidak sampai mengambil alih atau bahkan menggeser tanggung jawab negara.
Berlimpahnya sekolah dengan kualitas terbaik yang diberikan negara cukup memberi ruang kepada seluruh warga negara untuk memilih sekolah sesuai dengan minat.

Khilafah juga juga tak mengenal otonomi daerah khas negara kapitalis. Kepala negara bertanggung jawab dengan membentuk Dewan mashalihun naas (semacam departemen) bidang pendidikan. Melalui lembaga ini, segala keperluan pendidikan dapat terurus dengan baik. Lembaga ini juga akan bekerja sama dengan pemerintahan tingkat daerah (perwalian). Sehingga terjadi kesinkronan dalam mengambil setiap kebijakan pendidikan.
Adapun persoalan anggaran pendidikan, maka negara Khilafah mengatur anggaran secara terpusat.

Dengan mekanisme pembiayaan yang dikelola baitulmal, negara mampu memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan. Negara Khilafah juga senantiasa membangun suasana takwa warga negaranya. Negara akan terus membangun paradigma pendidikan sahih di tengah-tengah masyarakat sehingga masyarakat memahami tentang pendidikan. Mereka hanya mengejar capaian sahih dari proses pendidikan, berlomba-lomba mencari derajat tertinggi di sisi Allah melalui ilmu yang diraihnya.

Pengaturan pendidikan seperti ini pernah terjadi di masa kegemilangan Islam dahulu. Tak ada yang bisa memungkiri kiprah para ilmuwan hasil pendidikan sistem Islam bahkan pengaruhnya dapat dirasakan sampai saat ini.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *