BUMN merugi, apa karena kurang bersinergi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Naely Lutfiyati Margia, Amd. Keb.

 

Telah kita ketahui bersama bahwa negara kita sampai saat ini masih memiliki utang. Rupanya bukan hanya utang negara, tapi juga utang BUMN. Berita terkait utang dan kerugian BUMN ini kembali mencuat dan kabarnya utangnya kian membengkak.

Menteri BUMN Eric Thohir mengungkapkan utang PT PLN (Persero) saat ini mencapai Rp 500 triliun. Erick mengatakan, salah satu cara yang dilakukan untuk membenahi keuangan PLN ialah menekan 50% belanja modal (capital expenditure/capex). (DetikFinance, 4/6/21)

Begitu juga dengan PT. Garuda Indonesia. Kinerja maskapai PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dalam kondisi tidak baik. Perusahaan menanggung rugi sampai US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,43 triliun (asumsi kurs Rp 14.300) per bulan karena pendapatan yang diterima tak sebanding dengan beban biaya yang dikeluarkan. (DetikFinance, 4/6/21)

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo atau biasa disapa Tiko mengatakan, beban biaya yang dikeluarkan tiap bulannya sekitar US$ 150 juta. Sementara, pendapatannya hanya US$ 50 juta. Meski menurut pengamat, Garuda Indonesia masih ada harapan untuk diselamatkan dengan penolokukuran atau benchmarking seperti kasus-kasus maskapai penerbangan di beberapa negara. Salah satunya dengan mendapatkan pinjaman dana atau penyuntikan modal dari pemerintah.

Hal yang sama dialami juga oleh PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Waskita mengalami kerugian hingga Rp7,3 triliun. Padahal, pada 2019 perseroan mampu mengantongi laba bersih Rp 938 miliar. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, laba perseroan terkontraksi dari Rp2,28 triliun menjadi kurang dari Rp185,76 miliar. Sementara itu, kinerja keuangan PT PP (Persero) mengalami penurunan dari Rp819,4 miliar menjadi Rp128,7 miliar. (OkeFinance, 5/6/21)

Dari beberapa fakta di atas, cukup menggambarkan bahwa ada yang salah dalam tata kelola BUMN. Kerugian yang dialami BUMN tak bisa lepas dari cara pandang kapitalis, yang hanya berfokus pada kepentingan bisnis sehingga kinerjanya hanya diukur dengan takaran untung rugi sebagaimana korporasi swasta.

Pengelolaan harta negara dalam pembangunan infrastruktur hari ini pun bukan berdasarkan hasil pengkajian yang matang, tapi karena logika proyek. Anggaran dalam sebuah pembangunan infrastruktur tentulah sangat besar, sementara pemerintah hanya dapat mendanai kurang dari 40%. Akibatnya BUMN yang menjadi salah satu roda dalam mewujudkan pembangunan, memiliki utang yang kian menggunung. Belum lagi utang dalam pandangan kapitalisme adalah sesuatu yang mutlak dibutuhkan dalam sebuah pembangunan.

BUMN yang seharusnya menjadi wadah dalam mewujudkan kemaslahatan rakyat banyak, justru dimanfaatkan oleh penguasa untuk memenuhi ambisinya. Inilah problem mendasar dalam pengelolaan harta kekayaan negara apabila menggunakan prinsip kapitalisme-neoliberal, di mana aset negara dapat dimiliki dan dikelola dengan bebas oleh individu maupun korporasi. Dan aset kekayaan tersebut dikeruk habis, sehingga manfaatnya hanya akan dirasakan oleh para pemilik modal.

Berbeda dengan Islam yang memandang kekayaan negara adalah kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum meliputi apa-apa yang berkaitan dengan hajat hidup manusia dan SDA (Sumber Daya Alam) yang tak terbatas, seperti air, hutan, tambang mineral, infrastruktur jalan dll. semua ini hanya boleh dikelola oleh negara, tidak boleh dimiliki korporasi swasta. Adapaun keterlibatan swasta diperbolehkan, namun sebagai pekerja dengan akad kontrak dan negara tidak boleh seperser pun mengambil keuntungan dari harta milik rakyat ini.

Adapun kepemilikan negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin, yang pengelolaannya menjadi wewenang Khalifah, seperti ghanimah, kharaj, fai’, jizyah dll. Dan Khalifah bisa saja mengkhususkannya untuk sebagian kaum muslim sesuai kebijakannya, sehingga tanah dan perkebunan dapat dikelola oleh semacam BUMN untuk kemsalahatan rakyat, namun dalam rangka pemberdayaan masyarakat, bukan semata-mata karena bisnis.

Pun dalam urusan pajak, dalam Islam negara tidak boleh memungut pajak kepada rakyat atas penggunaan fasilitas umum, karena hakikatnya itu adalah milik rakyat.

Dan kepemilikan dalam Islam ini tidak dapat berdiri sendiri, ia adalah bagian daripada sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah. Maka sudah seharusnya penguasa mengelola kekayaan negara dengan sistem Islam, mengingat kekayaan Indonesia yang sangat berlimpah, tentu akan sejahtera bila manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *