Bulog Terjerat Utang Riba, Penjaminan Pangan Kian Sirna

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Dewi Fitratul Hasanah (Pegiat Literasi)

 

“Gali lobang tutup lobang
Menggali buat menutup utang
Sana rata sini lobang
Gali lobang tutup lobang
Tetap saja ada lobang
Lobangnya tak pernah hilang”

Lirik lagu milik Bang Haji Roma Irama di atas sangat pas mewakili kondisi sebuah permasalahan utang tak akan pernah hilang dan akan terus dialami oleh siapa saja yang senang bermain-main dengan utang.

Ya. Memiliki utang dengan jumlah yang menjulang sejatinya memang membuat pusing bukan kepalang. Terlebih jika utang itu bersifat riba yang penyelesaiannya tak sebatas pada utang pokoknya saja, melainkan akan bertambah bahkan bisa berlipat ganda.

Mencuat pemberitaan, bahwasannya Badan Urusan Logistik (Bulog), sebuah perusahaan milik negara yang bergerak di bidang logistik pangan, tengah terlilit utang yang jumlahnya mencapai Rp.13 triliun.

Rakyat bertanya-tanya, apa yang mengakibatkan Bulog bisa sampai terlilit utang? Padahal, bukankah selama ini rakyat telah dibebani aneka pajak dalam setiap sektor kehidupan?

Selama ini Bulog dalam melakukan penyerapan hasil petani dalam negeri, meminjam dana dari bank dengan pemberlakuan bunga. Sehingga semakin lama, nominal yang harus dibayarkan semakin menggunung bila tidak segera diselesaikan. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso membeberkan bahwa total utang pokok yang dimiliki Bulog saat ini mencapai Rp.13 triliun. Utang tersebut digunakan untuk belanja penyediaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1 juta ton (Kumparan.com, 29/12/2021)

Hingga saat ini negara masih memiliki utang senilai Rp4,5 triliun kepada Bulog. Sementara itu, Budi Waseso dalam konferensi pers menyatakan bahwa Bulog siap menambah utang lagi apabila ada perintah pemerintah (Liputan6.com, 28/12/2021).

Utang yang membengkak, secara tidak langsung akan mengurangi kemampuan Bulog dalam merealisasikan belanja CBP (Cadangan Beras Pemerintah). Awalnya berdalih utang demi berjalannya misi pelayanan pangan rakyat, pungkasnya justru malah akan memperburuk kondisi kelaparan.

Keterlambatan pencairan dana penugasan dari pemerintah sangatlah disayangkan. Apatah lagi dengan sikap Bulog sendiri yang justru kembali siap pasang badan untuk menambah utang. Miris.

Rp. 13 triliun rupiah bukanlah nominal sepele, apalagi jika ditambah dengan bunga bank yang dibebankan. Bukan hanya nominal yang semakin besar, namun dosa dan ketidakberkahannya pun sangat besar. Sebab riba sendiri adalah dosa besar. Naudzubillah.

Sebagaimana hadis dibawah ini:
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al-Hakim, 2: 37. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini sesuai syarat syaikhain Bukhari dan Muslim)

Sebenarnya, tak hanya utang yang menjadi permasalahan Bulog. Jamak diketahui, sering kali ketika mendapat bantuan beras dari Bulog, kualitasnya kurang bagus dan kurang layak makan. Sebab, sering terjadi penumpukan stok beras di gudang. Penumpukan tersebut adalah dampak dari kebijakan mengimpor beras meskipun produk dalam negeri memadai.

Bulog yang awalnya bertugas melayani dan menjamin pangan pun kian tak fokus melayani rakyat. Bulog justru merambah bisnis komersial seperti Shoppe untuk membuat panganan[dot]com. Seakan kesejahteraan masyarakat bukan prioritas utama.

Bulog kian menambah deretan panjang BUMN yang terlilit utang. Apabila utang tersebut menjulang dan tak mampu dibayar tentulah berujung pada kebangkrutan. Dari sini dapat ditemui benang merah bahwa persoalan yang terjadi bukan semata kesalahan dari manajemen pengelolaannya, namun sistem dasar atau landasannya lah yang butuh diresolusi.

Sistem ekonomi kapitalisme telah menjadikan pemerintah/negara sebagai jembatan atau fasilitator antara korporasi dengan rakyat. Sementara, pemerintah lebih memihak pengusaha karena mereka mendapatkan keuntungan di sana. Pemerintah selalu memberikan keuntungan dan jalan mulus untuk korporasi tanpa peduli meskipun justru rakyat yang rugi. Lagi-lagi rakyat yang terus terzalimi.

Tak sama, apabila sistem Islam yang diterapkan. Dasar yang digunakan dalam sistem Islam yaitu syariat Islam yang datangnya dari aturan Allah SWT, bukan dari akal pikiran manusia. Dengan dasar ini kesejahteraan pangan terwujud nyata. Karena peran negara sebagai riayah su’unil ummah benar-benar dijalankan tanpa silau akan materi yang di iming-imingi oleh korporasi.

Tidak akan ditemui kasus beras kurang layak akibat penumpukan stok beras di gudang, sebab pendistribusian akan di jalankan secara tertata dan merata . Takkan pula ditemui rakyat yang kekurangan beras apalagi sampai mati kelaparan. Semua ini berjalan dalam penjaminan negara yang memiliki kedaulatan kas yang kuat yakni baitul mal. Dengan demikian negara tak perlu berhutang apalagi hutang riba yang jelas haram dan jauh dari kata berkah.

Negeri yang baldatun thoyyibatun warobbbun Ghafuur , yakni negeri yang makmur dan penuh keberkahan dan ampunan Allah adalah dengan bertaubat dan tidak mencampakkan aturanNya dalam berkehidupan baik lingkup individual maupun global.

Sungguh dengan kembali menerapkan syariat Islam secara total termasuk bernegara. Maka, Badan Usaha milik Negara termasuk bulog akan terbebas dari utang Riba. Sehingga pelayanan terhadap rakyat tak sirna dan selalu terwujud nyata. Wallahua’lam bishshawaab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *