Bullying Melanda Anak Muda

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Bullying Melanda Anak Muda

Oleh Sumiati
Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif

 

Adat rimba raya, siapa berani ditaat,
Kehidupan yang menggunakan kekerasan tidak mempunyai akal. Demikian kurang lebihnya gambaran anak muda saat ini yang suka membully teman atau juniornya. Mereka adalah generasi yang suka dengan kekerasan, manusia bak hewan yang melepaskan akal dalam dirinya. Sehingga, korban banyak yang berjatuhan. Bahkan kabar bullying di negeri tercinta ini terus bergulir. Bukan hanya di sekolah-sekolah umum, di masyarakat, di sekolah-sekolah Islam, tak ketinggalan di pesantren sekali pun.

Dari pembullyan ringan sekadar mengejek, mencela, mencaci, memaki dan lain sebagainya. Hingga pembullyan tingkat tinggi yang meninggalkan trauma bahkan menghilangkan nyawa. Miris, tetapi hingga hari ini, kasus pembullyan belum kunjung reda. Generasi muda saat ini pun yang mendapatkan gelar generasi strawberry, memang-lah demikian faktanya. Generasi yang rapuh dalam segala bidang. Sehingga sulit untuk diarahkan. Bahkan, para guru di sekolah-sekolah Islam pun sangat heran dengan generasi muda saat ini.

Pendidik di sekolah-sekolah Islam sudah sangat luar biasa mencurahkan tenaga, pikiran dan perhatian kepada mereka, tetapi tetap saja mereka rapuh, mudah menyerah dengan keadaan. Malas berjuang dan berkorban, demi meraih cita-cita. Malas untuk sedikit cape, sedikit meluangkan waktu untuk sebuah cita-cita. Nyaris keinginannya harus ia dapatkan dengan instan. Sedikit diminta berusaha, ia katakan lelah, susah, ribet, lama, dan lain sebagainya, sebagai alasan yang dilontarkan demi membenarkan kemalasan mereka. Padahal, sedikit saja mereka lengah dengan amanah, gagal, ujung-ujungnya bullyan yang mereka dapatkan dari rekan sendiri.

Kondisi ini, tidak lepas dari pendidikan dalam keluarga. Ketika seorang anak di rumah, saat melakukan kesalahan, ia segera dicela oleh orang tuanya, tanpa dicari tahu dulu, mengapa ia lakukan itu? Penyebabnya apa, motivasinya apa? Sehingga hal ini akan menyebabkan seorang anak takut untuk melakukan sesuatu, takut salah, nanti dimarahi ayah atau ibunya. Akhirnya ia tidak mau melakukan apa pun. Otomatis ia akan hidup menjadi anak yang tidak bisa apa pun. Karena kalau pun melakukan sesuatu, selalu disalahkan. Tanpa disadari, hakikatnya, orang tua-lah yang pertama kali membully anaknya.

Ketika mereka beranjak remaja, ia bergaul dengan yang lain, bisa jadi dibully karena segala tidak bisa, tetapi bisa juga jadi pembully, karena ia belajar dari orang tua-nya saat ia kecil. Meniru perilaku orang tua, atau balas dendam pada orang tua, dan yang menjadi sasaran adalah teman atau junior mereka. Hingga akhirnya, jadilah di dunia pendidikan ada istilah bullying yang sangat meresahkan masyarakat, terlebih para orang tua yang memiliki putra dan putri remaja. Takut dan was-was, putra dan putri mereka mengalami hal yang sama. Bahkan akhirnya ada yang tidak lagi percaya dengan dunia pendidikan, termasuk pondok pesantren yang di dalamnya ada juga pembullyan.

Hal ini makin menguat, saat peran media yang dibebaskan sistem mengabarkan berbagai berita ke tengah-tengah masyarakat. Bisa jadi, kasusnya hanya satu, tetapi disebar media, maka yang lain jadi tahu, dan meniru, hingga ada lebih dari satu kabar pembullyan. Akhirnya, kasus bully seolah viral atau lebih tepatnya diviralkan. Inilah yang menjadi penyebab lebih rumitnya urusan umat. Ditambah lagi negara tidak segera bertindak, seolah membiarkan kericuhan ini makin runcing, berita-berita tetap tidak difilter, apa adanya, bahkan tidak ada penegakan hukum yang tegas dalam segala bidang. Jadinya memperparah keadaan.

Bagaimana dalam pandangan Islam tentang hal ini?

Tentu saja, yang pertama disoroti adalah keluarga. Sesiapa yang hendak berumah tangga, mesti menyiapkan dulu calon miniatur keluarga kecil, dengan belajar agama, bagaimana menjadi ayah dan ibu, bagaimana penunaian hak dan kewajiban masing-masing. Kemudian ketika memiliki keturunan, bagaimana mengurus dan mendidik mereka, sehingga tidak ada anak yang merasa dilemahkan oleh orang tuanya sendiri. Karena sejatinya, orang tua-lah dan keluarga yang lain tempat kembali anak-anak yang paling nyaman, setelah beraktivitas di luar yang penuh dengan tantangan. Keluargalah yang harusnya menjadi peran utama untuk mengokohkan mental anak.

Selanjutnya peran masyarakat yang Islami, negara yang mengayomi, mendidik masyarakat, melindungi mental masyarakat, dengan menerapkan sistem Islam yang menyeluruh dalam aspek kehidupan. Sehingga, diberbagai lini, masalah tuntas, masyarakat merasa memiliki pelindung, negara bertanggung-jawab melindungi. Akhirnya terjalin antara masyarakat dan negara, ta’awun dalam ketaatan kepada Allah Swt. dan Rasulullah saw. sebagai teladan dalam kehidupan. Untuk meraih surga, yang luasnya seluas langit dan bumi, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa.

Wallaahu a’lam bish-shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *