Bullying Makin Marak, Darurat Perlindungan Anak! 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Bullying Makin Marak, Darurat Perlindungan Anak! 

Asa Azraka

Kontributor Suara Inqilabi 

 

Nahas, MHD (9th) tewas setelah mengalami perundungan. Korban sempat mengalami sesak napas dan kritis selama tiga hari di rumah sakit. Siswa di salah satu SD di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ini, sempat mengaku bahwa ia dikeroyok oleh kakak kelasnya sesaat sebelum menghembuskan napas terakhirnya. (Tribun 21/5)

Sebelumnya, publik dikejutkan oleh tewasnya MR (11), siswa SD asal Banyuwangi yang meninggal gantung diri lantaran kerap mengalami perundungan dari teman-temannya.

MR diduga mendapatkan perundungan di sekolah dan tempatnya mengaji karena tak memiliki ayah. Bapaknya meninggal setahun yang lalu. (Detik 5/3)

Bahkan dari data Asesmen Nasional(AN) 2021 atau Rapor Pendidikan 2022 menunjukkan bahwa 25 persen peserta didik di Indonesia mengalami bullying. Baik perundungan fisik, verbal, sosial, atau bahkan perundungan melalui interaksi di dunia nyata (cyberbullying). (Solopos 22/5)

Berbagai jenis perundungan itu, tentu menambah daftar catatan merah perilaku negatif kerusakan generasi. Miris!

Perundungan memang bukan hal yang baru. Tapi jika dilihat, setiap tahun penambahan kasusnya semakin bertambah. KPAI mencatat bahwa terdapat 226 kasus bullying atau meningkat empat kali lipat dibanding kasus pada tahun 2021.

Dari sisi pelaku dan korban juga mengalami perubahan. Jika sebelumnua pelaku dan korban adalah pelajar tingkat SMP dan SMA, kini pelaku dari siswa SD pun mulai semakin banyak.

Perundungan adalah bentuk ancaman bagi anak. Dengan adanya perundungan banyak anak mengalami berbagai masalah mental seperti stress berat hingga depresi, luka fisik, bahkan hilangnya nyawa. Bukan tak ada tindakan dari perangkat kebijakan, upaya sudah dilakukan. Tapi nampaknya, solusi yang diberikan belum berhasil memberikan hasil, bahkan masih menjadi PR besar.

Butuh Penyelesaian Tuntas

Bullying memang muncul sebagai akibat berlakunya hukum rimba. Yang menang akan mengalahkan yang kalah, bahkan pemenang merasa berhak untuk merundungnya.

Sejak dahulu, budaya bullying memang sudah ada, yang perlu ada adalah mekanisme yang tegas untuk memberikan perlindungan kepada semua pihak, terutama pihak-pihak yang lemah.

Dengan sistem kapitalisme saat ini, kita terbiasa dibentuk menjadi pribadi individualis yang mementingkan kepentingan dan keuntungan, bahkan tak sedikit yang menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Dan ini sebenarnya, bertentangan dengan fitrah keadilan yang ada pada manusia. Karena itulah, penting bagi kita untuk mengembalikan fitrah ini melalui berbagai upaya, diantaranya:

Pertama, membentuk pola asuh berdasarkan Islam, yang mengedepankan aqidah Islam sebagai pondasi. Dengan Aqidah islam, anak akan memahami hak dan kewajibannya, yang sekaligus mencegahnya berbuat dzolim. Orang tua juga akan mengontrol anak dari segala pengaruh jahat dan sadis pada anak, termasuk pengaruh dari konten negatif dan lingkungan.

Kedua, perlu adanya sistem pendidikan yang kondusif untuk membentuk karakter mulia secara komunal.

Ketiga, perlu adanya kontrol sosial di tengah-tengah masyarakat yang dibangun dengan asas amar makruf nahi mungkar. Masyarakat memiliki peran menjaga stabilitas dengan mengemban dakwah, yang akan melahirkan masyarakat yang bertakwa.

Keempat, perlu adanya peran negara dalam penyusunan kurikulum yang membentuk karakter takwa, berakhlak mulia, sekaligus memiliki ilmu yang mumpuni. Negara juga peran untuk melarang adanya konten kekerasan, pornografi, dan konten negatif lainnya yang berpengaruh pada kerusakan di tengah masyarakat khususnya anak-anak.

Penutup.

Kasus perundungan ini memang tidak akan bisa selesai hanya dengan solusi parsial, seperti seruan revolusi mental, pendidikan karakter, ataupun sosialisasi anti bullying di sekolah-sekolah. Masalah terbesar perundungan adalah adanya sistem kapitalisme sekuler yang menumbuhsuburkan kehidupan individualis, yang menjadikan kepentingan dan keuntungan pribadi sebagai standar utama, bahkan menjadikan kehidupan ala rimba kembali mendominasi. Yang menang menguasai yang lemah, bahkan berhak untuk mengeksploitasinya.

Karena itulah, agar masalah ini tuntas kita perlu untuk kembali kepada islam secara totalitas, yang memiliki konsep dalam pembentukan pola asuh, sistem pendidikan, pembentukan peran masyarakat serta negara, berdasarkan pada aturan Allah, aturan yang adil dan kembali kepada fitrah. Membentuk pribadi takwa, berakhlak mulia, adil dan hidup sesuai fitrahnya.

 

Wallahu’alam bishshawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *