BULLYING ANAK MAKIN MARAK, IMBAS SISTEM PENDIDIKAN SEKULER

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

BULLYING ANAK MAKIN MARAK, IMBAS SISTEM PENDIDIKAN SEKULER

Oleh Halida almafaza

(Aktivis dakwah Deliserdang)

Sebulan ke belakang, terjadi beberapa kasus kekerasan terhadap anak yang membuat ramai jagat maya. Mirisnya, pelaku kekerasan juga merupakan teman sebaya dan sempat terjadi di lingkup satuan pendidikan. Seperti kasus perundungan yang terjadi pada siswa SMP di Cilacap. Kasus ini hangat diperbincangkan sebab video yang mempertontonkan korban tengah disiksa beredar luas. Kekerasan pada anak yang terjadi di lingkup pendidikan atau ruang publik bisa disebut sebagai fenomena gunung es.

Mengungkap dan membenahi akar kekerasan yang terjadi pada anak, menjadi penting diupayakan oleh segala pihak. Pasalnya, kasus kekerasan pada anak di sekolah saat ini, masih terjadi di semua jenjang pendidikan. Perlu menjadi sorotan bahwa beberapa kasus kekerasan pada anak di lingkup pendidikan tak lepas dari fenomena ‘geng’ di sekolah.

Maraknya kasus perundungan dan kekerasan terhadap anak di lingkup pendidikan juga menjadi sorotan KPAI. Mereka menemukan kasus perundungan yang terjadi di sekolah dengan berbagai jenjang, seperti di Jakarta, Cilacap, Demak, Blora, Gresik, Lamongan, dan Balikpapan. Data pelanggaran terhadap perlindungan anak yang masuk KPAI hingga Agustus 2023 mencapai 2.355 kasus. Anak sebagai korban perundungan (87 kasus), anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan (27 kasus), anak korban kebijakan pendidikan (24 kasus), anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis (236 kasus), anak korban kekerasan seksual (487 kasus), serta masih banyak kasus lainnya yang tidak teradukan ke KPAI. Kasus yang tidak terekspos atau tidak teradukan lebih banyak terjadi.

Terus Berulang Terjadi 

Setiap tahunnya, bahkan setiap hari, terus bermunculan kasus perundungan pada anak. Jika dahulu pelaku dan korban perundungan adalah pelajar tingkat SMP dan SMA, kini pelaku siswa SD pun mulai menjamur. Jenis perundungan yang kerap dialami korban beragam, baik fisik, verbal, sosial, ataupun secara daring.

Sepanjang 2022, KPAI mencatat ada kenaikan kasus perundungan, yakni sekitar 226 kasus atau meningkat empat kali lipat dibandingkan 2021. Perundungan di sekolah berpotensi terus terjadi. Survei Mendikbudristek memperkuat hal ini. Survei yang melibatkan 260 ribu sekolah di Indonesia di level SD/Madrasah hingga SMA/SMK terhadap 6,5 juta peserta didik dan 3,1 juta guru menyatakan bahwa terdapat 24,4% potensi perundungan di lingkungan sekolah.

Sungguh Indonesia sudah darurat bullying! Perundungan makin jadi ancaman bagi anak-anak kita. Mengapa hal ini terus berulang? Di mana letak masalah utamanya?

Sementara perangkat kebijakan pendidikan untuk mengatasi maraknya perundungan di sekolah sudah dilakukan.

Dampak dari Sistem Sekuler

Kasus perundungan hanyalah sebagian dampak penerapan sistem kehidupan sekuler yang makin menjauhkan generasi dari hakikat penciptaan manusia, yakni menjadi hamba Allah Taala yang taat dan terikat syariat. Banyak faktor yang memengaruhi maraknya kasus perundungan/bully.

Pertama, kebijakan negara, yakni kurikulum yang tegak di atas nilai-nilai sekulerisme, begitu banyak sekolah, baik berbasis Islam atau umum dengan sistem yang dinilai baik, tetapi nyatanya belum cukup mampu menangkal dan mencegah perundungan?

Bahkan nyatanya, perundungan bisa terjadi di sekolah mana saja. Inilah konsekuensi yang harus kita tanggung ketika negara lebih memilih penerapan kurikulum dan sistem pendidikan berbasis akidah sekularisme. Akidah mereka yang rusak sangat dahsyat. Lihatlah, betapa perilaku generasi kita yang makin hari kehari makin jauh dari karakter umat terbaik. Perundungan, kekerasan seksual, narkoba, perzinaan, tawuran, bunuh diri, pembunuhan, dan sebagainya, kerap mengintai generasi kita.

Kedua, pola asuh pendidikan sekuler masih mewarnai pendidikan di keluarga. Kebebasan berekspresi dan berperilaku kerap menjadi faktor pemicu anak-anak mudah mengakses tontonan berbau kekerasan dan konten porno. Beberapa kasus perundungan pada siswa SD karena pelaku mengakses konten pornografi dan kekerasan lewat ponsel. Faktor kebebasan ini pula yang menjadi model bagi orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Anak-anak mendapat banyak kemudahan dalam teknologi, tidak ada pengawasan, jadilah mereka mencontoh apa pun melalui dunia digital dan media sosial.

Begitu pola asuh mendidik ala sekulerisme mengakibatkan anak tidak kuat dengan suasana keimanan di rumah. Budaya liberalisme seperti kebolehan pacaran, perilaku permisif /serba boleh, tidak ada sanksi ketika berbuat salah atau menyalahi Islam, dan pembelaan buta terhadap kesalahan yang anak perbuat, terkadang menjadi bibit perilaku perundungan.

Ketiga, kehidupan masyarakat yang individualistis makin mengikis kepedulian antar sesama. Masyarakat cenderung acuh cuek dengan kondisi ketika terjadi kriminalitas atau perbuatan yang mengarah ke perundungan jika yang dirundung bukan anak mereka. Masyarakat tumbuh menjadi manusia yang mudah kalap, emosi dan marah, lalu saling membalas perilaku dengan kekerasan.

Terkadang, perilaku mencela dan menghina secara verbal masih dianggap wajar dan sekadar perilaku normal nakalnya anak-anak. Jika model masyarakat seperti ini terus berjalan, anak-anak kita juga yang akan terpengaruh dengan karakter masyarakat tempat mereka tumbuh dan berkembang. Maka ketiga poin di atas menunjukkan betapa pentingnya peran negara, orang tua, dan masyarakat dalam mencegah perundungan agar tidak makin menjadi.

Islam Sebagai Problem Solving

Perundungan adalah salah satu penyakit sosial hasil peradaban sekuler Barat. Ini karena sistem sekuler telah membawa generasi saat ini masuk dalam jurang kerusakan. Tentunya, apabila kita bercermin pada peradaban Islam, generasi saat ini dengan generasi dulu dimasa Islam berbeda sangat jauh, sangat bertolak belakang.

Dalam sistem Islam, akidah Islam adalah landasan dasar, paling utama dalam pendidikan. Maka tak heran, pada masa kejayaan Islam tampil sebagai peradaban mendunia melahirkan begitu banyak individu yang memiliki berkepribadian mulia, berakhlak karimah, serta sangat unggul dalam ilmu dunia. Maka ada faktor yang menjadi kunci kesuksesan yaitu:

Pertama, keimanan sebagai landasan dalam setiap perbuatan yang menjadi benteng dari perilaku jahat dan sadis. Seseorang yang memahami Islam dengan benar akan menjauhkan dirinya dari perbuatan tercela. Ia akan sadari dirinya sebagai hamba Allah adalah menaati seluruh perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya.

Kedua, penerapan sistem pendidikan Islam akan melahirkan individu yang berkepribadian dan miliki akhlak mulia. Negara menerapkan sistem pendidikan ini di semua jenjang sekolah dan satuan pendidikan. Tatkala sistem pendidikannya baik, maka generasi yang tercetak juga baik. Negara membuat media dan informasi yang mudah diakses anak-anak. Tidak boleh ada konten berbau kekerasan dan pornografi yang bertebaran di media mana pun.

Ketiga, dengan landasan akidah Islam, pola asuh orang tua dalam mendidik juga akan berubah. Suasana keimanan akan terbentuk dalam keluarga. Ketika anak mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua, ia tumbuh menjadi pribadi yang hangat, peduli sesama, dan tidak mudah mencela orang lain.

Keempat, penerapan sistem pergaulan sosial berdasarkan syariat Islam akan melahirkan masyarakat Islam yang bertakwa. Membangun masyarakat dengan budaya amar makruf nahi mungkar harus dengan sistem Islam secara kaffah. Berdakwah akan menjadi karakter bagi setiap individu, tidak akan menoleransi tindakan apa pun yang bertentangan dengan syariat Islam, termasuk perundungan.

Demikianlah dalam Islam melahirkan generasi hebat, mulia, unggul, tak tertandingi selama kurang lebih 13 abad. Menjadi umat terbaik dengan peradaban terbaik. Generasi terjaga dari bullying dan segala kerusakan lainnya.

Wallahu a’lam Bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *