Berharganya Satu Jiwa

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rindoe Arrayah

 

Jatuhnya pesawat terbang di minggu awal tahun 2021 merupakan peristiwa yang tiada pernah diduga oleh semua pihak. Banyak korban berjatuhan dalam tragedi tersebut. Pesawat Boeing 737-500 milik Sriwijaya Air jatuh setelah 10 menit lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno Hatta, di Cengkareng, Banten, Sabtu 9 Januari 2021.

Jatuhnya pesawat dengan nomor penerbangan SJ-182 itu kemudian mengundang pertanyaan berapa usia pesawat tersebut dan apakah masih layak terbang? Pesawat ini pertama kali beroperasi pada Mei 1994.

Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak yang diduga jatuh di kawasan perairan Kepulauan Seribu tersebut berusia 26 tahun. Hal ini disampaikan oleh Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Suryanto Cahyono.

“Umur pesawat dibuat tahun 1994, jadi kurang lebih antara 25 sampai 26 tahun,” kata Suryanto dalam konferensi pers dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Sabtu (kompas.com, 9/1/2021).

Merujuk Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) RI No. 115/2020 tentang Batas Usia Pesawat Udara yang Digunakan untuk Kegiatan Angkutan Udara Niaga, batas usia Sriwijaya SJ-182 lebih tua enam tahun dari batasan Kemenhub.

Praktisi Hukum, Husendro mengatakan, setiap pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran. Hal itu tertuang dalam Pasal 24 UU RI No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Dikatakan, salah satu syarat pendaftaran pesawat udara tersebut harus memenuhi ketentuan persyaratan batas usia pesawat udara yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan. Seperti tertuang dalam Pasal 26 ayat 1 huruf c UU Penerbangan tahun 2009.

“Untuk kategori pesawat peruntukan transportasi angkut penumpang berdasarkan Permenhub RI No. PM 160 Tahun 2015 tentang Peremajaan Armada Pesawat Udara Angkutan Udara Niaga dibagi atas jenis pesawat yang pertama kali didaftarkan dan dioperasikan di wilayah Republik Indonesia, maksimum berusia 10 tahun  (Pasal 2), dan maksimum 30 tahun untuk yang non pertama kali tetapi beroperasi di Indonesia (Pasal 3),” ujar Husendro, kepada Askara, Minggu (10/1).

Kemudian Permenhub PM 160/2015 itu diubah dengan PM 7 Tahun 2016, khusus hanya mengubah tentang pesawat kargo, untuk kategori transportasi penumpang normal tetap batas usia pesawatnya.

“Lalu, PM 160/2015 dan PM 7/2016, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan PM No. 155/2016 tentang Batas Usia Pesawat Udara yang Digunakan untuk Kegiatan Angkutan Udara Niaga,” jelas Husendro.

Berdasarkan PM 155/2016 tersebut, kata Husendro, usia batas pesawat untuk pendaftaran pertama berubah menjadi maksimum 15 tahun, dan non pendaftaran pertama menjadi 35 tahun.

Dengan alasan meningkatkan investasi di bidang penerbangan, PM 155/2016 dicabut melalui PM 27 Tahun 2020 yang ditandatangani pada 13 Mei 2020.

“Dengan kata lain tidak ada lagi pembatasan batas usia pesawat untuk jenis transportasi penumpang atau niaga, Padahal UU Penerbangan 2009 mengamanatkan adanya batas usia pesawat yang ditentukan Menteri agar dapat beroperasi di Indonesia,” terangnya (askara.co, 10/1/2021).

Konsep transportasi dalam sistem kapitalis-sekular menganggap bahwa transportasi hanyalah produk industri yang dipergunakan untuk menghasilkan keuntungan materi sebanyak mungkin. Sehingga, tidak mengherankan jika keamanan serta kenyamanan dalam bertransportasi tidak dipedulikan lagi.

Transportasi menjadi aset yang diswastanisasi dan berfungsi bisnis, bukan lagi sebagai fungsi pelayanan publik oleh negara yang aman dan tidak mengancam nyawa warga negara. Dalam hal ini, negara hanya sebagai fasilitator dengan kacamata komersial, bukan pengendali utama. Bagaimana sistem transportasi dalam sistem Islam?

Islam memiliki prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab utama negara, bukan diserahkan kepada swasta. Mindset negara Islam dalam menyediakan layanan transportasi yang aman dan terjangkau oleh warga negaranya adalah pelayanan negara yang sepenuh hati.

Ketika kepemimpinan Khalifah Umar bin al Khaththab ra. tatkala beliau menjadi kepala negara, beliau pernah berujar, “Seandainya, ada seekor keledai terperosok di Kota Bagdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban diriku di akhirat nanti.”

Kebijakan transportasi yang aman dan nyaman dalam sistem Islam berlangsung hingga abad ke-19 Khilafah Utsmaniyah.

Adanya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dalam membangun sarana dan prasarana transportasi. Contohnya untuk transportasi udara. Ilmuwan muslim seperti Abbas Ibnu Firnas dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arab, “Ibn Firnas was the First man in history to make a scientific attempt at flying.”

Selain itu, kaum muslimin telah menggunakan jenis kuda dan unta untuk menempuh perjalanan, untuk dilaut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1.000 ton dan kapal perang untuk 1.500 orang.

 

Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya. Pada abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji (sumut.antaranews.com, 3/7/2019).

Berdasarkan pemaparan di atas, tampak bahwa dalam logika kapitalisme keselamatan jiwa  bisa dinomorduakan demi kepentingan ekonomi dan pihak investor. Kapitalisme-sekularisme lebih mementingkan keuntungan yang nantinya akan didapatkan tanpa peduli berapa banyak jiwa yang akan dikorbankan. Sungguh kejam.

Berbeda halnya dengan Islam yang begitu memberi penghargaan terhadap jiwa melebihi nilai bumi dan seisinya. Satu nyawa yang hilang sangat berharga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 32)

Demikianlah penjagaan terhadap jiwa yang disebutkan dalam syariat Islam. Terbukti, bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi kemuliaan jiwa. Hanya syariat Islam yang mampu untuk melakukan itu semua. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah: 3)

 

Wallahu a’lam bishshowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *