Berburu Pajak dari Rakyat Jelata, Tax Amnesty Hanya untuk Pengusaha 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Sri Haryati (Ibu Rumah Tangga dan Member AMK)

 

Sudah jatuh tertimpa tangga, seperti itulah kondisi rakyat saat ini. Saat pandemi masih membayangi negeri, kehidupan ekonomi yang serba sulit, ujian bertubi-tubi yang dihadapi rakyat kian hari bertambah berat, kini ditambah lagi dengan adanya kenaikan pajak yang semakin membelit rakyat. Beratnya beban yang harus ditanggung rakyat, sementara kesejahteraan hidup semakin jauh dari harapan.

 

DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau RUU HPP menjadi undang-undang (UU). Dengan begitu, tarif PPN atau pajak pertambahan nilai juga akan naik bertahap dari 10% menjadi 11% per 1 April 2022.

 

Kenaikan tarif PPN tidak hanya terjadi tahun depan. Pemerintah merencanakan tarif PPN naik lagi menjadi 12% pada 2025. Pemerintah mengklaim tarif PPN yang baru ini masih lebih rendah daripada tarif rata-rata dunia sebesar 15,4%. Namun, Pemerintah lupa bahwa taraf kesejahteraan rakyat Indonesia juga jauh lebih rendah daripada mereka.

 

Menteri Hukum Yasonna Laoly mengatakan, “Kenaikan tarif PPN jadi 12 persen disepakati dilakukan secara bertahap. Yaitu 11 persen mulai 1 April 2022, dan menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025,” ucapnya usai pengesahan RUU HPP, Kamis (07/10/2021). (m.merdeka.com, 07/10/2021)

 

Selain kenaikan PPN dalam RUU HPP yang telah disahkan menjadi UU, ada pula pengaturan soal penggunaan NIK sebagai NPWP dan aturan soal pengampunan pajak. Aturan-aturan ini justru makin menampakkan keberpihakan negara bukan kepada rakyat, tetapi pada para oligarki. Dengan sinkronisasi antara NIK dan NPWP misalnya, rakyat harus siap-siap menjadi wajib pajak, meskipun memang tidak lantas mereka harus membayar pajak. Sementara untuk pengampunan pajak, jelas aturan ini mengakomodir kepentingan para cukong, pejabat, pengusaha dan konglomerat .

 

Melalui kenaikan PPN, Pemerintah berharap naiknya penerimaan pajak. Namun, kenaikan tersebut bukankah semakin membebani rakyat dan akan berdampak pada perekonomian yang semakin melemah? Karena dapat dipastikan harga-harga barang semakin mahal, sehingga mempengaruhi daya beli masyarakat, padahal beban ekonomi rakyat sudah sangat berat.

 

Alih-alih perekonomian naik dan Pemerintah untung, yang terjadi justru sebaliknya. Kenaikan PPN akan mengakibatkan perekonomian semakin terpuruk dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, disebabkan daya beli masyarakat belum kembali pulih seperti sebelum pandemi. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2021, terjadi deflasi sebesar 0,04 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,53.

 

Mirisnya, saat rakyat jelata diburu pajaknya, pemerintah justru menganakemaskan para pengusaha, konglomerat dan kalangan borjuis dengan program Tax Amnesty (pengampunan pajak). Program bernama Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak ini akan berlangsung dari 1 Januari—30 Juni 2022. Padahal para pengusaha, konglomerat dan kalangan borjuis jauh lebih berpotensi diburu pajaknya, dibandingkan dengan rakyat jelata. Meski sama-sama bayar pajak, mengapa tak ada pengampunan pajak untuk rakyat?

 

Sungguh kebijakan pragmatis yang bikin miris. Rakyat terpaksa menjadi “sapi perah” bagi negara yang seharusnya me-riayah. Sekalipun rakyat taat bayar pajak, tetapi mereka tak banyak merasakan dampak positif dari kebijakan penguasa, padahal mereka digaji dari pajak rakyat. Namun, tidak satu pun kebijakan pemerintah yang benar-benar dikaji serta dipertimbangkan untuk kesejahteraan rakyat.

 

Terbongkarnya skandal Pandora Papers yang juga menyeret dua nama pejabat menko Jokowi, harus diakui sejatinya pajak membebani rakyat baik kaya maupun miskin. Sehingga perilaku para konglomerat yang melarikan asetnya ke luar negeri adalah indikasi bahwa manusia mana pun tidak senang akan tarikan pajak. Perilaku konglomerat pejabat yang mengalihkan aset kekayaannya ke luar negeri demi menghindar dari kewajiban membayar pajak.

 

Sistem kapitalisme yang menjadi ideologi negara Indonesia menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Sistem kapitalisme pun hanya menawarkan sistem ekonomi yang tidak berkeadilan. Dimana rakyat dijadikan “sapi perah”, sedangkan para kapitalis mendominasi perekonomian. Meskipun kekayaan Indonesia sangat melimpah ruah tetapi rakyatnya banyak yang hidup miskin.

 

Kenaikan tarif PPN dan program pengampunan pajak bermuara pada satu kepentingan, yaitu menggenjot penerimaan pajak. Karena, negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme seperti Indonesia akan selalu menggantungkan penerimaan negara pada sektor pajak. Sejak tahun 2002, Pemerintah meningkatkan sumber penerimaan pajak di atas 70%, bahkan tahun 2019 hampir 80%, sedangkan sisanya dari sumberdaya alam. Padahal Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah. Yang terdapat di laut, gunung, dan perut bumi yang sangat mencukupi sebagai sumber pendapatan negara.

 

Sayangnya, pengelolaan SDA mayoritas diserahkan kepada asing, contohnya tambang emas di Papua yang dikuasai Freeport, geothermal di Gunung Salak yang dikuasai Chevron, dan lainnya. Kalaupun milik negara, mayoritas diprivatisasi oleh oknum-oknum tertentu, seperti tambang batu bara di Kalimantan yang dimiliki para pengusaha sekaligus penguasa negeri ini.

 

Semua itu dikarenakan liberalisasi kekayaan alam di Indonesia. Pemerintah dengan mudahnya memberikan kebebasan kepada pihak swasta baik lokal maupun asing untuk mengelola kekayaan alamnya. Kekayaan alam tersebut seharusnya dikelola negara dan digunakan untuk sebaik-baik kepentingan rakyatnya. Sehingga, pemerintah tidak perlu memungut pajak dari rakyat untuk pembiayaan operasional negara. Rakyat pun dapat menikmati kekayaan alam negerinya.

 

Bukan seperti saat ini, rakyat hanya gigit jari melihat kekayaan alam negerinya dinikmati para konglomerat dan para kapitalis asing dan aseng. Rakyat semakin menderita karena terbelit kewajiban pajak yang beraneka ragam jenisnya. Seperti pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak kendaraan (motor/mobil), pajak penghasilan (PPh), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), bea materai, dan lainnya. Ada pula pajak pendidikan dan pajak kesehatan melalui BPJS Kesehatan. Meski berganti istilah dengan premi, dan dengan slogan “Gotong Royong Semua Tertolong” penetapan premi BPJS Kesehatan tak jauh berbeda dengan upeti yang harus rakyat bayar setiap bulannya.

 

Sistem ekonomi kapitalisme tidak mengenal harta kekayaan milik umum sebagai sumber pendapatan utama. Ideologi ini hanya tahu bahwa, setiap barang dan jasa menjadi ladang bisnis perorangan atau badan usaha. Dalam prinsip kapitalisme, setiap individu berhak memiliki barang apa pun selama mendatangkan keuntungan baginya. Itulah sebab, mengapa banyak kita jumpai kebijakan dan regulasi selalu berpihak kepada kepentingan pemilik modal.

 

Tidak mengherankan bila kita saksikan, ada negara kaya SDA tetapi tidak maju-maju. Ada pula negara miskin SDA, tetapi berkembang dengan pesat. Semua itu berlaku hukum ekonomi kapitalisme, yakni eksplorasi dan eksploitasi kekayaan negara atas nama kapitalisasi dan liberalisasi.

 

Berbeda halnya dalam Islam, pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. Pemberlakuan dharibah hanya atas kaum muslimin yang kaya, dan secara insidental saja. Hanya sebagai solusi dalam keadaan darurat yaitu ketika kas Baitulmal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Apabila kebutuhan Baitulmal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus dihentikan.

 

Dalam sistem Islam, sumber penerimaan negara yang masuk ke Baitulmal (kas negara) diperoleh dari: (1) Fai [Anfal, Ganimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; dan (9) Harta orang murtad.

 

Hanya Islam yang mampu meletakkan kepemilikan secara adil. Ada kepemilikan individu (Milkiyah Fardhiah), dimana negara tidak berhak memungut kekayaan individu tanpa ada izin syar’i. Zakat mal adalah contoh pungutan bagi harta milik individu yang syariat izinkan. Namun, pungutan zakat hanya pada orang yang terkategori wajib zakat mal, bukan semua rakyat sebagaimana pajak hari ini.

 

Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Qur’an surat At-Taubah ayat 103, yang artinya:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

 

Adapun harta kepemilikan umum (Milkiyah ‘Ammah) seperti air, sumber energi (listrik, gas, batu bara, nuklir dsb), hasil hutan, sungai, pelabuhan, danau, lautan, jalan raya, jembatan, bandara, masjid, dan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti emas, perak, minyak, semua itu milik seluruh rakyat, hak pengelolaannya ada pada negara. Negara haram menjual atau menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum pada swasta, baik lokal maupun asing.

 

Jika kapitalisme memperbolehkan privatisasi, sebaliknya Islam justru melarang. Dalam Islam, pengelolaan SDA harus dilakukan oleh negara karena SDA adalah milik rakyat. Sebagaimana dalam hadis, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

 

Negara akan mengupayakan untuk mengelolanya secara mandiri demi kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Dengan pengelolaan yang benar dan tepat, negara tidak akan bingung mencari sumber pendapatan negara. Semua kebijakan ini hanya bisa diterapkan dalam sistem Khilafah, sistem yang membebaskan rakyat dari jeratan pajak. Bukan sistem kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara.

 

Tidak sepatutnya kita mempertahankan sistem rusak buatan manusia. Agar rakyat terbebas dari jeratan pajak dan SDA dapat kembali kepada yang berhak, hanya Islam yang dapat menyelesaikannya dengan bijak. Sudah saatnya beralih pada sistem Islam yang datangnya dari Sang Pencipta Allah Swt.. Sistem yang jauh dari kemudaratan dan kerusakan, selalu membawa rahmat serta kemaslahatan bagi manusia. Terbukti selama 13 abad, masyarakat di bawah kepemimpinan Islam hidup dalam kesejahteraan.

Wallahu a’lam bishawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *