Pada Senin (6/1), Pengadilan Manchester menjatuhkan vonis hukuman kurungan penjara seumur hidup atas Reynhard Sinaga. Dalam sidang keempat itu –yang mengawali sidang terbuka mengenai kasus ini– warga negara Indonesia (WNI) tersebut dinyatakan bersalah atas 159 pelanggaran seksual terhadap sebanyak 48 pria.
Dalam putusannya, Hakim Suzanne Goddard QC menggambarkan terdakwa sebagai individu yang sangat berbahaya serta tidak akan pernah aman (bagi masyarakat) untuk dilepaskan. Selama sidang berlangsung, pria itu sama sekali tidak menunjukkan raut wajah penyesalan.
Layaknya seorang psikopat dan predator seksual. Meski vonis sudah dijatuhkan, kepolisian Manchester tetap mengembangkan kasus ini.
Untuk diketahui, masih ada 70 korban lainnya yang belum diidentifikasi dan diinvestigasi. Penegak hukum setempat memperkirakan, Reynhard telah melakukan pelecehan seksual ter hadap 195 orang dalam rentang dua setengah tahun terakhir. Media-media menyebut perkara ini sebagai kasus pemerkosaan terbesar dalam sejarah Inggris.
Kasus kejahatan seksual yang dilakukan Reynhard Sinaga tentunya mencoreng nama baik Indonesia di mata dunia. Dengan ilmu yang dimilikinya, seharusnya pemuda itu dapat menapaki karier sebagai akademisi (sosiolog) atau praktisi keilmuan urban planningyang sukses.
Karier yang bersinar barangkali dapat mengharumkan nama Indonesia atau minimal keluarganya di Tanah Air. Namun, jalan hidup yang dipilihnya justru merugikan tidak hanya dirinya sendiri, melainkan juga masyarakat di sekitarnya.
Ternyata, berilmu tidak berarti otomatis bermoral. Di sinilah pentingnya berpegang teguh pada iman dan kualitas-kualitas lainnya sebagai seorang manusia yang normal.
Saya melihat dua persoalan serius di sini. Pertama, pemerkosaan –sesuatu yang secara universal tidak dibenarkan. Tidak ada masyarakat yang menormalkan pemerkosaan. Seorang pemerkosa biasanya minim pengendalian diri.
Nafsu hewani mengendalikan akalnya. Bukan sebaliknya. Lebih buruk lagi bila perbuatan bejat itu dilakukan berulang-ulang kali. Pada taraf ini, kemanusiaannya sudah mencapai titik nadir. Dia kehilangan empati. Tidak lagi bersedia merasakan penderitaan orang lain.
Dalam ajaran Islam, seorang laki-laki dan perempuan diimbau untuk menjaga pandangan. Tidak boleh menikmati yang bukan haknya, yakni pasangan resminya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpesan, Berilah jaminan kepadaku enam perkara, maka aku jamin bagi kalian surga. Bila salah seorang dari kalian berkata, maka janganlah berdusta; dan jika diberi amanah, maka janganlah berkhianat; dan jika dia berjanji, maka janganlah mengingkarinya; serta tundukkanlah pandangan kalian, cegahlah tangan-tangan kalian (dari menyakiti orang lain), dan jagalah kemaluan kalian.
Bila sudah mencapai usia dewasa, Islam menyarankan seseorang untuk menikah. Sebab, pernikahan bukan hanya dapat menyalurkan syahwat pada jalan yang benar dan diridhai-Nya. Interaksi antara pasangan suami-istri bahkan bernilai ibadah, sekalipun itu bersenggama. Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah kemanusiaan.
Kasus Reynhard lebih lanjut menunjukkan, pada zaman sekarang tidak hanya kaum perempuan, melainkan juga pria (dewasa) tak lepas dari ancaman predator seksual. Katakanlah, terdakwa sebelum melakukan aksinya tampil bak seorang kawan ramah yang mudah menginisiasi percakapan hingga obrolan akrab. Begitu calon korbannya –yang juga berjenis kelamin laki-laki– sudah merasa nyaman dan bersedia mampir ke tempat tinggalnya, tahap berikutnya pun dilakukan. Memberikan obat bius melalui minuman yang disuguhkan. Dalam keadaan nirsadar, korban diperkosa.
Persoalan krusial kedua ialah Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Bila merujuk pada kasus Reynhard, ada faktor konteks sosial yang mengemuka. Mengutip pemberitaan Republika, Kamis (9/1), yang melansir dari Channel News Asia. Seorang teman perempuan Reynhard ketika masih kuliah di Indonesia mengatakan, Penampilan Sinaga (Reynhard -Red) mulai berubah ketika dia pindah ke Inggris. Pindah ke Inggris dan jauh dari keluarganya membuat dia bebas dalam hal seksualitas.
Belajar dari Kasus Reynhard
Kasus Reynhard menunjukkan pria juga tak lepas dari ancaman predator seksual.
Red: Karta Raharja Ucu
Mungkin dengan dalih HAM pula -saya menduga- Reynhard merasa enteng-enteng saja ketika di kursi pesakitan selama sidang kasusnya digelar. Dia mengklaim, perbuatannya didasari hubungan suka sama suka antara dirinya dan para korban. Bantahan yang mengerikan. Sebab, salah satu korbannya sampai-sampai mengatakan, predator seksual itu telah menghancurkan hidupnya (BBC, Selasa 7/1).
Lantas, apakah suka sama suka membenarkan perilaku sodomi? Hubungan LGBT dianggap normal? Keyakinan bahwa kebebasan manusia (baca: individu) adalah segalanya menunjukkan hilangnya rasionalitas dan kesadaran moral, yang memandu tiap insan agar bisa membedakan antara benar dan salah. Dalam skala luas, LGBT justru membahayakan kelestarian komunitas. Sebab, pada fitrahnya suatu keluarga- sebagai unsur pembentuk masyarakat– terdiri atas laki-laki (suami) dan perempuan (istri).
Belajar dari kasus Reynhard, sudah sepantasnya kita masyarakat Indonesia, apa pun agamanya, membendung arus pengaruh kampanye pro-LGBT. Khususnya umat Islam, bentengi keluarga dengan pola pendidikan yang baik.
Alquran telah mengisahkan bagaimana kaum Nabi Luth diazab oleh Allah SWT. Sebab, mereka telah membiarkan maraknya dan bahkan melakukan sendiri perbuatan homoseksual.
Perbuatan bersifat tetap, sedangkan manusia yang melakukannya memiliki kemungkinan untuk berubah di masa depan. Maka dari itu, para pelaku LGBT tidak semestinya dimusuhi. Terhadap mereka, hendaknya dipergiat dakwah, nasihat, serta pendampingan dan/atau konseling yang dilakukan kalangan profesional.