‘Bayar Nanti’, Mantra Rentenir Gaya Baru

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Bayar Nanti’, Mantra Rentenir Gaya Baru

Oleh Aulia Rahmah

Kelompok Penulis Peduli Umat

 

Generasi Z yang konsumtif menjadi target bidikan rentenir gaya baru. Pasalnya, banyak sekali pemuda yang disibukkan dengan dunia digital, memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya dengan memainkan jari di layar gadgetnya. Untuk membeli laptop, makanan, pakaian, hingga berhutang pun mereka lakukan secara online. Apalagi ditambah adanya aplikasi Buy Now Pay Later (BNPL), seolah menjadi angin segar yang mendukung gaya hidup para pemuda yang serba instan.

Buy Now Pay Later, sebuah layanan pembayaran secara online, disediakan oleh sebuah aplikasi yang terhubung dengan lembaga pembiayaan seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan), legal maupun ilegal. Mereka menarik para pengguna aplikasi BNPL dengan mudah, hanya menunjukkan KTP dan foto diri saja. Dengan promosi “Beli sekarang bayar nanti” seolah menjadi kata kunci atau mantra para kapitalis untuk menjerat para pengguna.

Pengguna dibuat sesibuk mungkin menuruti keinginannya yang konsumtif, sekaligus melalaikan untuk membayar segera. Hari hari berlalu, batas pembayaran terlewati, bunga dan denda berjalan. Tunda dulu bukan tanpa konsekuensi, tunda dulu bagi penyedia aplikasi menjadi lahan keuntungan, bak rentenir tak pandang siapa pengguna, seberapa kekayaannya, bahkan tak memandang seorang pelajar dan mahasiswa yang minim pendapatan atau bahkan masih bergantung pada subsidi dari orang tua.

Kemudahan yang ditawarkan BNPL nyatanya lebih lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Terbukti, laman medsos kini dibanjiri  pemberitaan pengakuan pemuda yang terjebak dengan fitur BNPL.  Mereka menyesali kebiasaannya yang suka tergiur dengan  iming-iming e-commerce yang menawarkan berbagai produk ngetren lalu mereka beramai-ramai menggunakan ‘kemudahan’ BNPL. Padahal kemudahan ini berjangka dan ada konsekuensi bunga juga denda keterlambatan. Intinya BNPL memang memfasilitasi hutang, namun hutang riba, ada denda dan bunganya.

Melansir dari BBC.news.indo (29/12/2022), Toni, bukan nama sebenarnya, terkejut dengan tagihan bulanannya yang besarannya mencapai 4 kali lipat dari gajinya. Kebiasaan menunda pembayaran saat melakukan transaksi digital, membuat hutang Toni semakin membengkak. Ditambah bunga dan denda keterlambatan pembayaran utangnya tiap bulan, membuat Toni kini gali lubang tutup lubang. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dia harus berhutang.

“Sekarang harus nahan diri, memang ini godaan, kayak setan di depan mata tapi tidak terlihat. Ketika kita sadar bahwa uang kita nggak cukup lagi untuk bayar, baru disitu terasa menyesal”, keluhnya.

Tentu masih banyak pemuda lainnya yang telah tersihir dengan mantra ‘bayar nanti’ dari tarian jari para rentenir gaya baru.

Beginilah potret kehidupan suram yang terjadi di negara Sekuler Kapitalisme. Negara minim proteksi terhadap berbagai bentuk pemikiran, program, dan layanan yang diinisiasi oleh para kapitalis swasta dan asing. Negara hanya menjadi regulator dan pemberi izin semata, tanpa memikirkan efek negatifnya. Juga minim pengawasan membuat masyarakat memandang baik-baik saja melakukan penundaan pembayaran. Padahal dengan menunda ini hakekatnya netizen telah masuk pada jebakan para rentenir gaya baru.

Di era kekinian, intelektual muslim harus jeli menganalisa berbagai bentuk transaksi, termasuk transaksi di dunia digital. Jangan sampai hanya karena mengikuti tren halal haram ditinggalkan. Atau sampai terjebak pada jeratan riba dibalik ‘kemudahan’ dan ‘bayar nanti’ pembayaran. Sebab hutang piutang berbunga dan jual beli tempo mengandung riba. Rasulullah mengingatkan tentang banyaknya varian riba dan besarnya dosa riba. Beliau bersabda,

“Riba itu ada 73 pintu (dosa), yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinahi ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim).

Na’udzubillah min dzalik semoga kita terhindar dari dosa riba, aamiin….

Cara Efektif Memberantas Transaksi Riba

Maraknya masyarakat menggunakan ‘kemudahan’ seperti BNPL tak lepas dari peran negara yang menjadikan riba sebagai dasar keuangan. Juga kurikulum pendidikan yang tidak berdasarkan akidah Islam. Sehingga masyarakat kurang paham terhadap berbagai varian transaksi ribawi melalui dunia digital. Ditambah derasnya arus sekulerisasi dan liberalisasi di semua lini kehidupan, membuat masyarakat tidak butuh terhadap pemahaman pada Syariat Islam kaffah. Tentu kehidupan yang semacam ini akan berdampak kerugian, tak berhenti di kehidupan dunia bahkan sampai di kehidupan akhirat jika belum bertaubat.

Maka untuk memberantas riba yang dimainkan oleh rentenir gaya baru haruslah dilakukan oleh pemangku kekuasaan dan kebijakan, yakni pemerintah. Dengan cara memberikan edukasi kepada semua pelaku ekonomi, online maupun offline. Mereka pada masyarakat cara-cara transaksi yang sesuai Syariat Islam kaffah yang menjamin keberkahan dan kemudahan hidup.

Hanya negara dengan sistem Islamlah yang akan peduli dengan kebaikan hidup masyarakat.  Negara yang akan memberantas riba hingga ke akar-akarnya. Sangat berbeda dari negara Sekuler Kapitalisme saat ini yang justru membuka peluang  luas bagi pelaku ribawi. Tentu kita harus terus  waspada, mantra ‘bayar nanti’ akan semakin nyaring karena di sistem hari ini rentenir gaya  baru bak setan yang terus mengajak untuk menunda-nunda berbuat kebaikan.

Wallahu a’lam bi ash-showab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *